Selasa, 24 Agustus 2010

Paradigma Pendidikan Islam

Pendahuluan
Penididikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menjuju kedewasaan, baik secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan Khaliq-nya dan juga sebagai Khalifatu fil ardh (pemelihara) pada alam semesta ini.
Dengan demikian, fungsi utama pendidikan adalah mempersiapkan generasi penerus (peserta didik) dengan kemampuan dan keahliannya (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ketengah lingkungan masyarakat.
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa diaktualisakan dan diaplikasikan tepatnya pada zaman kejayaan Islam, yang mana itu semua adalah sebuah proses dari sekian lama kaum musliminin berkecimpung dalam naungan Ilmu-ilmu ke-Islaman yang bersumber dari Quran dan Sunnah. Hal ini dapat kita saksikan, dimana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang jazirah Arab, Afrika, Asia Barat hingga Eropa timur. Untuk itu, adanya sebuah paradigma pendidikan yang memberdayakan peserta didik merupakan sebuah keniscayaan. Kamajuan peradaban dan kebudayaan islam pada masa ke-emasan sepanjang abad pertengahan, dimana kebudayaan dan peradaban Islam berhasil memberikan Illuminatif (pencerahan) jazirah Arab, Afrika, Asia Barat dan Eropa Timur, hal ini merupakan bukti sejarah yang takterbantahkan bahwa peradaban Islam tidak dapat lepas dari peran serta adanya sistem pendidikan yang berbasis Kurikulum Samawi.
Ilmu pengetahuan.
Kaum intelektual telah mengamati bahwa salah satu karakter khas peradaban Islam adalah perhatiannya yang serius terhadap pencarian pelbagai cabang ilmu. Pada awal era modern, para pemikir dan pemimpin Muslim bahkan telah menyadari pentingnya pendidikan sebagai upaya mamajukan umat, terutama untuk menghadapi hegemoni sosial-ekonomi dan kebudayaan Barat. Namun, kegagalan serangan dinasti ‘Utsmaniyyah terhadap Vienna pada 1683, tidak hanya menandai runtuhnya superioritas militer Islam yang waktu itu sangat ditakuti, tetapi juga menandai pudarnya kebanggan dan rasa percaya diri terhadap supremasi peradaban umat Islam.
Keadaan ini semakin diperburuk dengan ditandatanganinya perjanjian Carlowitz (1699) dan Passorwitz (1718). Keruntuhan yang sama juga terasa di Imperium Moghul, India. Kekalahan tentara Nawab Siraj Al-Daulah dari tangan EIC (english East India Company)
Dalam sesbuah peperangan di Plassey pada 1757 menandai kemunculan kondisi serupa dengan yang dialami oleh Imperium ‘Ustmani. Kecuali dalam beberapa kasus, perjanjian Kutruch Quinarji pada 1774, antara Dinasti ‘Utsmaniyyah dan Rusia,juga turut menyumbang pada keruntuhan kekuatan militer pada peradaban ‘Utsmani di mata Eropa hingga hari ini.
Di mesir, keberhasilan agresi militer yang dipimpim Napoleon pada 1798 semakin menyingkap kelemahan kekuatan militer Islam.
Disebabkan latar belakang Inilah, para pemimpin politik umat Islam dari sultan Salim III (1789-1807), Sultan Mahmud II (1807-1839 M ) hingga Pasya Muhammad Ali di Mesir (1803-1849 M) beranggapan bahwa cara yang terbaik untuk menghadapi kekalahan ini adalah dengan mengadakan reformasi pendidikan, terutama dalam bidang militer, ilmu teknik, kemudian diikuti oleh cabang ilmu-ilmu yang lain.
Bagi Al-Attas, ilmu dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang sangat prinsipil. Pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pencapaian tujuan-tujuan sosial-ekonomi, tetapi secara khusus juga berperan dalam mencapai tujuan-tujuan spiritual manusia. Hal ini tidak berarti bahwa tujuan aspek-aspek sosial-ekonomi dan politik tidak penting, tetapi kedudukannya lebih rendah dan lebih difungsikan sebagai pendukung aspek-aspek spiritual. Konsekuensinya kita perlu mendefiniskan Ilmu dalam kaitannya dengan realitas sepiritual manusia.
Penekananan disini adalah pentingnya ilmu pengetahuan dalam usaha memenuhi kebutuhan spiritual dan meraih kebahagiaan, dan bukan sekedar komoditi sosial-ekonomi, diilhami secara langsung oleh ajaran Islam dan tradisi keagamaan dan intelektual Islam. Yang mana menunjukkan bahwa kebahagiaan menurut Islam bukanlah sekedar konsep, tujuan sementara, kesenangan fisik yang temporer ataupun keadaan mental dan pikiran. Lebih dari itu, kebahagiaan menurut Islam adalah kualitas spiritual yang permanen, yang secara sadar dapat dialami dalam masa sekarang ataupun masa akan datang.

Definisi Ilmu Pengetahuan.
Mendefiniskan suatu objek ilmu pengetahuan sama artinya dengan melibatkan diri dalam usaha intelektual, suatu usaha yang sangat dihargai oleh semua aliran pemikiran Islam kecuali oleh segelintir individu.
Secara Lingtuistik, perkataan ‘Ilm berasal dari kata ‘ain-lam-mim yang diambil dari perkataan ‘alamah,yaitu “tanda, penunjuk atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri-ciri; indikasi; tanda-tanda”. Dengan demikian, ma’lam (jamak: ma’alim) berarti “rambu-rambu jalan” atau “Sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Seiring dengan itu, ‘alam juga bisa diartikan sebagai “penunjuk jalan”. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan kata ayah (jamak : Ayat) dalam Al-Qur’an yang secara literal berarti “tanda” merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an dan fenomena alam. Diesbabkan hal seperti inilah, sejak dahuku umat Islam menganggap ‘ilm (ilmu pengetahuan) berarti Al-Qur’an; syariat; Sunnah; Islam; Iman; ilmu spiritual (‘ilm al- ladunniyy), hikmah, dan ma’rifah, atau sering juga disebut dengan cahaya (nur); pikiran (fikrah), sains (khususnya ‘ilm yang kata jamaknya ‘ulum), dan pendidikan yang kesemuanya menghimpun hakikat ilmu. Dari sinilah umat Islam kemudian mendefinisikan ilmu secara rasmi, deskriptif.

Makna dan Tujuan Pendidikan.
Makna dan tujuan pendidikan adalah dua unsur yang saling berkaitan, yang telah menarik para filosof dan pendidik sejak dahulu. Adanya perbedaan konseptualisasi dan perbedaan kedua unsur ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam memahami hakikat, peranan, dan tujuan hidup manusia di dunia, yang ternyata sangat berkaitan dengan serentetan pertanyaan mengenai hakikat ilmu pengetahuan dan Realitas Mutlak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita menjumpai perbedaan pendapat di kalangan filosof dan pendidik, terutama yang ada di Barat, mengenai tujuan dan kurikulum pendidikan.
Secara umum, ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoretis yang pertama berorintasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu, yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung dan minat pelajar.
Selanjutnya, sistem pendidikan yang diterapkan di negara-negara yang ada di dunia ini berorientasi kemasyarakatan, kenegaraan. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education (1978) menyatakan hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara, karena pendidikan itu terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyrakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan secara simultan. Sedangakam secara mikro pendidikan senantiasa memperhitungkan individualitas atau karakteristik perbedaan antara individu peserta didik.
Al-Attas, pemikir muslim kontemporer Muslim yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Hal ini yang diuraikannya secara jelas dalam bukunya, Islam and Secularism;
“ Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaanya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaanya bagi negara, masyarakat, dan dunia.

Proses pendidikan.
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma (paradigm shift) dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena itu, arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan demi terbentuknya masyarakat madani tersebut.
Arah perubahan paradigma pendidikan dari pendidikan lama menuju ke paradigma baru, terdapat berbagai aspek mendasar dari upaya perubahan tersebut, yaitu, pertama; paradigma lama terlihat upaya pendidikan lebih cenderung pada: sentralistik, kebijakana lebih bersifat top down, orientasi pengembangan pendidikan lebih bersifat parsial, pendidikan didisain untuk sektor perkembangan ekonomi, stabilitas politik, keamanan, serta teknologi perakitan. Peran pemerintah sangat dominan dalam kebijakan pendidikan, dan lemahnya peran intuisi pendidikan dan intuisi non-sekolah.
Kedua; paradigma baru, berorientasi pada: disentralistik, kebijakan pendidikan lebih bersifat bottom up, orientasi lebih bersifat holistik; artinya pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berfikikir, menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif dan produktif, dan kesadaran hukum. Peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif dalam upaya pengembangan pendidkan, pemberdayaan intuisi masyarakat, seperti keluarga, LSM, Pesantren, lembaga-lembaga kerja dan pelatihan. Dalam upaya pengelolaan dan pengembangan pendidikan, yang diorientasikan kepada terbentuknya masyarakat indonesia yang berperadaban, berkualitas dan Kritis

Penutup.
Berdasarkan pandangan diatas, pendidikan yang dikelola lembaga-lembaga Islam sudah harus diupayakan untuk mengalihkan paradigma yang berorientasikan ke masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi kemasa depan, yaitu mengalihkan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Demi tegaknya peradaban Islam yang lebih kokoh.

A COMPARISON OF THE ASSUMPTION OF ANDRAGOGY AND PAEDAGOGY

INTRODUCTION

The assertion that first, there was pedagogy and then came andragogy, is simultaneously true and misleading. What is pedagogy? What is andragogy? Which preceded the other? And what, if anything,does any of this have to do with medical education? In this article, we will explore the answers tothese questions, review the historical bases for the pedagogical and andragogical paradigms.

THE ASSUPMTIONS OF PEDAGOGY

Pedagogy is derived from two words, paid meaning “child” (paediatrics/pediatrics derive from the same stem) and agogus meaning “leader of.” Thus, it literally means the art and science of teaching children. The roots of pedagogy can be traced back to seventh century Europe during the introduction of organized education at monastic schools which were also known as cathedral schools (Knowles et al., 1998). The primary purpose for the establishment of these institutions was the induction of young men into the priesthood. The model of pedagogy first emerged at this time and was founded on several assumptions about learners. These assumptions were to have a major impact on the designof the educational model. The first pedagogical assumption was the dependent personality of the learner. This implied that the learner not only did not know but could not know his or her own learning needs. The second assumption on which pedagogy was founded was that learning needed to be subjected-centered. Hence, instructional curricula were organized around subjects, such as arithmetic and geography. A third assumption emphasized extrinsic motivation as the most important driving force for learning. Therefore, learners needed to be motivated with prizes and punishment. The last foundational assumption of pedagogy was that the prior experience of the learner was irrelevant. This is the concept of the blank slate or tabula rasa. In this model, the teacher need not consider the student’s prior experience as consequential (Knowles et al., 1998). Later in the eighteenth and nineteenth centuries, as secular and public schools emerged in large numbers, pedagogy was readily adapted because it was the only existing educational model at the time. Today, many contend that the entire educational system has been frozen in the pedagogical approach, ever since the initial application of pedagogy in the eighteenth century. It should be noted that pedagogy is fundamentally a teacher-centered model, where the teacher determines what will be learned, how it will be learned, when it will be learned, and if it has been learned.

THE ASSUMPTIONS OF ANDRAGOGY
In 1833, a German grammar school teacher named Alexander Kapp coined the term andragogy (van Enckevort, 1971). Kapp used the word to describe the educational paradigm employed by the Greek philosopher Plato. The terminology never quite caught on until 1926 when Eduard C. Lindeman wrote extensively about andragogy (Gessner, 1956). In describing his theory of adult learning, Lindeman stated that The approach to adult learning will be via the root of problem solving, not subjects. I am conceiving adult education in terms of a new process by which the adult learns to become aware of and to evaluate his experience. To do this, he cannot begin by studying “subjects” in the hope that this information will be useful. On the contrary, he begins by giving attention to situations in which he finds himself, to problems which include obstacles to his self-fulfillment. Facts and information from the differentiated spheres of knowledge are used, not for the purpose of accumulation, but because of need in solving problems. In this process the teacher finds a new function. He is no longer the oracle who speaks from the platform of authority, but rather the guide, the pointer-out who also participates in learning in proportion to the vitality and relevance of his facts and experiences (Lindeman, 1926). Beginning in 1959, Malcolm Knowles expanded on the work of Eduard C. Lindeman. Extensive work by Knowles and other educators resulted in the development of new assumptions about adult learners (Cross, 1981; Knowles 1950, 1970, 1972, 1973, 1975, 1977, 1980, 1984, 1986, 1989, 1990; Knowles et al., 1998; Tough 1967, 1971, 1979, 1982):

I. The Need to Know. The first assumption is that adults need to know the utility and value of the material that they are learning before embarking on learning. As an example, Tough (1979) demonstrated that when adults undertake to learn something on their own, they invest considerable energy probing into the benefits they will gain from learning it and the negative consequences of not learning it.

II. The Learners Self-Concept. Adults have a deep psychological need to be seen by others and treated by others as being capable of self-direction. They resent and resist situations in which they feel that others are imposing their wills on them. However, an educational system that does not nurture this need for autonomy and self-direction is likely to produce adults who assume the role of dependent and passive learners.

III. The Role of Experience. Adult learning practitioners believe that prior experiences are the richest resources available to adult learners. Adults tend to come into adult education activities with a greater volume and higher quality of experience than younger children. Consequently, practitioners of adult learning theory tend to employ experiential techniques, such as simulation exercises, problem solving activities, case methods, laboratory methods, and group discussions.

IV. Readiness to Learn. In adults, readiness to learn is dependent on an appreciation of the relevancy of the topic. Adult learners tend to become ready to learn things that they believe they need to know or be able to do in order to cope effectively with real life situations and problems.

V. Orientation to Learning. In contrast with pedagogy, where orientation to learning is subject-centered, adult learning theory is of the view that an adult’s orientation to learning is problem-centered, task-centered, or life-centered. Adults are motivated to learn to the extent they perceive that the knowledge will help them perform tasks or solve problems that they may face in real life. Thus, adults learn best when new knowledge, skills, and attitude are presented in the context of real-life situations.

VI. Motivation. A sixth assumption of adult learning addresses the motivation to learn. While adults are responsive to extrinsic motivation, they are most driven by internal pressure, motivation, and the desire for self-esteem and goal attainment. Tough (1967, 1971, 1979, 1982) documented in his studies that all normal adults were motivated to keep learning, growing and developing.

One may conclude that andragogy and pedagogy are opposed to each other, but in fact, these are not necessarily mutually exclusive paradigms. It is true that the assumptions of pedagogy do not acknowledge the principles of andragogy (or adult learning theory), but rather focus on the dependent personality, subject-centeredness, extrinsic motivation, and irrelevant prior experiences. However, it should be noted that andragogy contains an appreciation and acceptance of pedagogy in many instances. Thus, an individual who is learning to fly an airplane for the first time and who has no prior aviation experience may be viewed as a dependent learner. In such a circumstance, it is entirely appropriate to employ the pedagogical approach and provide information in a dependent way. However, whereas adherents of pedagogy may sustain this approach indefinitely, practitioners of andragogy would gradually move the learner away from the dependency of pedagogy toward increasing autonomy and self-direction.
So, which came first, pedagogy or andragogy? At first glance, it might seem that the approach to adult learning is a relatively new concept, especially given that pedagogy was formally established in the seventeenth century and the term “andragogy” was only introduced in the nineteenth century. To the contrary, however, all of the great teachers of ancient times were teachers of adults, not children. The great teachers of ancient times all used the process of mental inquiry and believed in active participation of the learner, not passive reception of information. Additionally, they invented and perfected techniques for engaging adult learners. For example, Confucius, Lao Tse of China, the Hebrew Prophets, and Jesus in Biblical times separately invented what is described today as the “case method” (Knowles et al., 1998). In this process, the leader or one of the group members describes a situation (often in the form of a parable) and, together, the group explores its characteristics and possible resolutions. In ancient Greece, Aristotle, Socrates, and Plato invented and practiced the Socratic dialogue, which is quite similarto “problem-based learning” (Knowles et al., 1998). This was a process whereby the facilitator or a participant posed a question, dilemma, or problem, and the group pooled its thinking and experience to seek an answer or solution. Likewise in ancient Rome, Cicero, Evelid, and Quintillian invented a confrontational method in which they forced group members to state their theses or positions, and then to defend those positions (Knowles et al., 1998). Thus, it is evident that the great teachers of ancient times all employed principles of adult learning much earlier than the formal development of the model of pedagogy. These great teachers approached adult learning from an apparent understanding that adults had a need and capacity to be self-directing and autonomous. They also understood, perhaps intuitively, that adults had a need to organize learning around problems, not subjects. Our current understanding of adult learning comes not only from the practices of the great teachers of ancient times but also from groundbreaking work in the social sciences

CONCLUTION

In summary, andragogy is premised on several crucial assumptions about the nature and characteristics of adult learners . These assumptions are different from those that form the foundation of pedagogy, which are assumptions about child learners. Adult learning theory contends that as a person matures, his self-concept moves from dependency to self-directedness and autonomy. It maintains that adults accumulate a growing reserve of experiences, which form the richest resource for their learning. It argues that readiness to learn is increasingly oriented toward tasks associated with social roles. Adult learning theory also asserts that an adult’s time perspectivechanges from postponed application of knowledge to immediacy of application and accordingly, orientation to learning shifts from subject-centered to problemcentered. The Table summarizes the principles of adult learning derived from analyses and integration of all the bodies of work in this field.

Pengertian Belajar dan Perubahan Perilaku dalam Belajar

Belajar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dan berperan penting dalam pembentukan pribadi dan perilaku individu. Nana Syaodih Sukmadinata (2005) menyebutkan bahwa sebagian terbesar perkembangan individu berlangsung melalui kegiatan belajar. Lantas, apa sesungguhnya belajar itu ?
Di bawah ini disampaikan tentang pengertian belajar dari para ahli :
• Moh. Surya (1997) : “belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya”.
• Witherington (1952) : “belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”.
• Crow & Crow dan (1958) : “ belajar adalah diperolehnya kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru”.
• Hilgard (1962) : “belajar adalah proses dimana suatu perilaku muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons terhadap sesuatu situasi”
• Di Vesta dan Thompson (1970) : “ belajar adalah perubahan perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman”.
• Gage & Berliner : “belajar adalah suatu proses perubahan perilaku yang yang muncul karena pengalaman”
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1.Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin bertambah atau keterampilannya semakin meningkat, dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya, seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan. Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi Pendidikan.
2.Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga, pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah belajar Psikologi Pendidikan tentang “Hakekat Belajar”. Ketika dia mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”, maka pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang “Hakekat Belajar” akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti perkuliahan “Strategi Belajar Mengajar”.
3.Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh : seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan prinsip – prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan. Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar tentang “Teori-Teori Belajar”, disamping memperoleh informasi atau pengetahuan tentang “Teori-Teori Belajar”, dia juga memperoleh sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan “Teori-Teori Belajar”.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika. Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan dalam menghadapi pemecahan masalah.
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan mengendalikan ingatan dan cara – cara berfikir agar terjadi aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan pada pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sementara itu, Moh. Surya (1997) mengemukakan bahwa hasil belajar akan tampak dalam :
1. Kebiasaan; seperti : peserta didik belajar bahasa berkali-kali menghindari kecenderungan penggunaan kata atau struktur yang keliru, sehingga akhirnya ia terbiasa dengan penggunaan bahasa secara baik dan benar.
2. Keterampilan; seperti : menulis dan berolah raga yang meskipun sifatnya motorik, keterampilan-keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi.
3. Pengamatan; yakni proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera secara obyektif sehingga peserta didik mampu mencapai pengertian yang benar.
4. Berfikir asosiatif; yakni berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainnya dengan menggunakan daya ingat.
5. Berfikir rasional dan kritis yakni menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan kritis seperti “bagaimana” (how) dan “mengapa” (why).
6. Sikap yakni kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan.
7. Inhibisi (menghindari hal yang mubazir).
8. Apresiasi (menghargai karya-karya bermutu.
9. Perilaku afektif yakni perilaku yang bersangkutan dengan perasaan takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was dan sebagainya.

Peranan Pendidikan Dalam Permbentukan Budaya Politik Di Indonesia

Mochtar Buchori
Sebuah fenomena sejarah, bahwa antara periode sampai 1908 sampai 1945 ditandai oleh kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan untuk membuat Indonesia menjadi negara Indonesia merdeka.
Dan generasi politik dari periode 1959 sampai 1998 lebih mengutamakan kepentingan sendiri daripada kepentingan bangsa. Terasa sekali, bahwa selama periode ini segenap aspek kehidupan didominasi oleh elite politik yang berkuasa. Terlihat dari maraknya kesewenang-wenangan yang yang terjadi dimana-mana, yang dilakukan oleh berbagai kelompok penguasa, baik dari kalangan sipil sampai kalagan militer, tanpa ada satu kekuatan pollitik yang mampu menghentikannya.
Ada tiga generalisasi yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan kontras dalam periode 1908 sampai 1945, sebagai berikut:
Pertama, perbedaan dalam perilaku politik ini disebabkan oleh perbedaan dalam mutu pendidikan dasar yang mereka terima sebelum memasuki kehidupan politik.
Kedua, perbedaan ini disebabkan oleh karena pada era sebelum kemerdekaan dnia politik dihuni oleh “the education minority”, yaitu kelompok minoritas anggota masyarakat yang sempat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi, sedangkan era pasca-kemerdekaan dunia politik dukuaisai oleh golongan penduduk yang relatif kurang terdidik, tetapi mampu menggalang dukungan dari masyarakat.
Ketiga, adanya perbedaan dalam Zitigeist, perbedaan dalam “semangat zaman” antara era sebelum kemerdekaan dengan pasca-kemerdekaan. Dalam periode 1908-1945 “semangat melawan dan membebaskan” tumbuh dengan kuat, sendangkan dalam periode 1959-1998 semangat melawan dan membebaskan ini diperlemah secara sistematis dan akhirnya menjadi lumpuh sama sekali. Semangat zaman ada selama era orde Baru ialah semangat “mengabdi penguasa”.
Dari ketiga generalisasi di atas , terlihat bahwa pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menjadi sumber dari timbulnya perbedaan yang bersifat intergeneraional dalam budaya politik.
Berpolitik menuntut kemampuan memimpin masyarakat untuk mengejar dan mewujudkan suatu masyarakat ang didambakan bersama. Maka timbul tiga implikasi, yaitu:
Pertama, berpolitik menuntut kemampuan untuk membentuk gambaran mengenai jenis masyarakat yang ingin diwujudkan bersama.
Kedua,berpolitik menuntut kemampuan memperoleh kepercayaan masyarakat, kemampuan mempengaruhi pikiran masyarakat. Ini adalah masalah kekuasaan.
Ketiga, berpolitik yang baik mununtut kemampuan untuk mempergunakan kekuasaan kepercayaaan yang diterima dari masyarakat dengan baik.
Untuk membentuk reformasi pendidikan kepada generasi muda kemampuan intelektual umum yang memadai, yang akan memberikan kepada mereka learning capability yang cukup tinggi. Reformasi pendidikan untuk memungkinkan terjadi restorasi budaya politik sekali-kali tidak boleh dilakukan melalui “manipulasi politik” terhadap kurikulum, misalnya dengan memasukkan “muatan-muatan politik” ke dalamnya. Disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena tugas sekolah bukan hanya memberikan persiapan untuk hidup berpolitik, tetapi juga persiapan untuk jenis-jenis kehidupan yang lain, karena sekolah mempunyai tugas yang majemuk (multipurpose). Kedua, karena fungsi mepersiapkan generasi muda untuk kehidupan politik bukan hanya menjadi tugas sekolah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab dari lembaga-lembaga lain di luar sekolah, antara lain keluarga, organisasi pemuda dan partai politik.

Pendidikan Tinggi dan Demokrasi
Wuri Soedjadmiko
Demokrasi yang ideal adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kemerdekaan dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Demokrasi justru ada karena pengakuan terhadap pluralisme, terhadap pendapat yang berbeda dan kesanggupan menyelesaikan konflik untuk tujuan bersama. Demokrasi adalah suatu pola hidup bersama dan akumulasi pengalaman-pengalaman yang terkomunikasi bersama.
UNESCO menyatakan bahwa demokrasi ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Anggota suatu masyarakat menghormati hukum dan tatanan. Artinya, demokrasi menghargai pendapat orang lain yang berbeda.
2. Kebebasan yang disertai tanggung jawab, dalam kebebasan mengemukakan pendapat ada pengakuan akan hak-hak warga lain dan hak pribadi pihak lain.
3. Persamaan dengan keyakinan akan martabat manusia serta pengakuan akan hak-hak orang lain, khususnya pihak minoritas dan yang tertindas.
4. Disiplin diri sendiri yang diwujudkan dalam tata krama berinteraksi antar sesama, dan apabila ada konflik , penyelesaian diambil tanpa menggunakan kekerasan.
5. Menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab meliputi kesiapan untuk menjadi sukarelawan dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang sadar akan kewajiban sebagai warga negara yang baik.
6. Keterbukaan akan kebenaran ilmiah dan kebenaran universal dan kesediaan untuk berdialog, berkonsultasi segera bernegosiasi.
7. Berpikir kritis dalam mencari kebenaran yaitu menggunakan pikiran yang kritis dan jernih, dan melakukan keputusan berdasarkan informasi yang cukup dan shahih, bukan atas prasangka.
8. Solidaritas menggaris bawahi kerja sama yang baik dalam tim, penggambilan keputusan bersama serta mencari penyelesaian masalah dengan damai.
Pemerataan pendidikan yang demokratis adalah kesempatan bagi semua yang “memiliki kapabilitas” untuk memasuki pendidikan tinggi.
Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skill melaporkan bahwa para pemberi kerja menyebutkan lima keterampilan pokok yang diharapkan ada dalam diri calon pekerja yang selama ini tidak ditransfer melaui pendidikan formal. Lima keterampilan tersebut adalah:
1. Mengidentifikasi, mengorganisasikan, merencanakan dan mengalokasikan sumber daya.
2. Bekerja sama dengan orang lain.
3. Memperoleh dan memanfaatkan informasi.
4. Memahami hubungan timbal-balik yang kompleks.
5. Bekerja sama berbagai teknologi.
Pendidikan demokrasi mendidik seseorang sehingga ia yakin bahwa ia dapat berpikir secara independen dan dapat menggunakan informasi, pengetahuan dan teknlogi untuk menggambil keputusan.
Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia dan Empat Pilar Pendidikan dalam aplikasinya:
1. Pendidikan kewarganegaraan.
2. Mata kuliah keilmuan dan keterampilan
3. Mata kuliah keahlian berkarya.
4. Mata kuliah perilaku berkarya.
5. Mata kuliah berkehidupan bersama.
Pendidikan tinggi sangat diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan. Khususnya, pendidikan tinggi di Indonesia diharapkan untuk berperan dalam pendidikan demokrasi agar makna demokrasi yang masih simpang siur dari ekstrem kiri ke ekstrem kanan dapat mencari pola demokrasi khas Indonesia. Pendidikan tinggi sudah tidak lagi dapat bekerja sendiri, tetapi harus menjangkau ke masyarakat luas, ke industri dan bekerja sama dengan mereka menyiapkan mahasiswa dengan pendidikan berkualitas.

Arah Pendidikan Nasional dalam Prespektif Historis
Diana Nomida Musnir
Pada tanggal 28 Oktober 1928, tokoh-tokoh pemuda yang mewakili organisasi-organisasi pemuda yang ada di Indonesia pada waktu itu mengikrarkan ”Sumpah Pemuda”. Ikrar sumpah pemuda merupakan kelanjutan dari kerja gerakan inteletual yan pada waktu itu mengeluarkan manifesto politik. Dan lahirnya manifesto poltik ini tentu saja merupakan akibat dari adanya sejumlah fakta sejarah.
Kata kunci untuk memaknai kesadaran sejarah secara berurutan adalah kebenaran sejarah, kearifan dan kebijaksanaan. Artinya dengan menelaah, menemukan, memahami serta menghayati adanya kebenaran sejarah maka seseorang atau kelompok masyarakat akan dapat mengambil keputusan bertindak yang bijaksana dengan penuh kearifan untuk menghadapi hidup dan kehidupan mereka, baik sebagi individu, kelompok masyarakat, pimpinan masyarakat, elite politik, elite pemerintah, pimpinan negara, ataupun pimpinan pemerintah.
Terkait dengan kehendak untuk melihat wajah pendidikan Nasional sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang (55 tahun) maka perlu tersedia data rinci fakta tindakan pendidikan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam rentang waktu 55 tahun setelah kemerdekaan Proklamasi tersebut. Memanfaatkan seperangkat informasi yang keberadaan dan kebenarannya telah secara umum diakui.
Fakta pertama yang terkait dengan pendidikan nasional yang kita miliki adalah adanya pesan atau perintah Undang-Undang Dasar terhadap pemerintah Indonesia untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Fakta kedua yang merupakan salah satu tonggak utama sejarah pendidikan nasional, adalah adanya rumusan tentang tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam UU No.2 tahun 1989, Bab II Pasal 4 yang berisikan butir-butir: 1) mencerdaskan kehidupan bangsa, 2) mengembangkan konsep manusia Indonesia seutuhnya, 3) konsep manusia yang bermoral religius, berbudi pekerti luhur, berpengetahuan, cakap, sehat, dan sadar sebagai warga dan bangsa.
Fakta ketiga adalah fakta penilaian para ahli terhadap hasil atau akibat dari program pendidikan selama 55 tahun setelah proklamasi kemerdekaan
1. Negara bangsa Indonesia yang berdiri berdasar cita-cita budaya demokrasi, berperan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diharapakn akan membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat yang mana harapan bangsa ini diletakkan di atas potensi pendidikan.
2. Sistem pendidikan yang seyogyanya bisa membebaskan anak-anak menjadi manusia utuh bermartabat justru menjadi alat penyiksa.
3. Sistem pendidikan yang ada telah tergilas atau terhanyut oleh kekuatan-kekuatan atau sisem-sistem yang lain sehingga secara pasti tidak memungkinkah arah perjalannya dapat menuju ke tujuan pendidikan nasional apalagi ketercapaian dari tujuan pendidikan nasional itu.
4. Secara lebih spesifik dengan kurikulum 1994, suatu diskusi panel menyatakan bahwa di dalam kurikulum 1994 dapat diketahui bahwa hampir semua mata pelajaran pada kurikulum ini sangat berbasis materi yang dapat pula diartikan sebagai tidak berbasis atau tidak jelas berbasis pada tujuan-tujuan yang seharusnya diturunkan oleh tujuan pendidikan nasional.
Sebab akibat yang kita dapatkan dari “Quo Vadis”, yaitu:
1. Quo Vadis termasuk pastilah merupakan implikasi dari adanya upaya membandingkan antara tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai dan hasil atau rantai hasil yang senyatanya dicapai.
2. Di sisi lain, bila terjadi quo vadis pastilah adanya penyebabnya. Penyebabnya yang mungkin ditunjuk pastilah tertelak di antara tujuan yang dirancang dan hasil pencapaian tujuan.
3. Input termaksud adalah segala hal yang nyata digunakan untuk merencanakan dan melaksanakan pencapaian tujuan yang dirumus dalam context.
4. Selain proses termaksud akan berjalan dengan kenyataan input yang ada, namun ia juga ditentukan oleh kondisi yang senyatanya ada tentu saja belum tentu teramalkan apalagi terancangkan sebelumnya, khususnya kondisi-kondisi di luar program itu sendiri.
5. Bahwa apabila hendak dicari penyebab terjadinya quo vadis pendidikan di Indonesia, maka fokus sasarannya arus diarahkan kepada faktor input dan proses.
Pandangan mengenai quo vadis pendidikan di Indonesia, hampir semua kegagalan atau rendahnya kinerja pendidikan anak bangsa ini disebabkan oleh adanya berbagai arogansi, misalnya: arogansi kekuasaan, arogansi lembaga, arogansi etnis, arogansi sektor, dll. Bahkan Diana Nomida Musnir memberi nama era kita sekarang ini sebagai “era aroganisasi”.
Bahwasanya sistem pendidikan nasioanal ke depan akan menghadap berbagai masalah yang mendasar. Namun upaya yang harus dimulai, perlu memanfaatkan pendekatan futuristic-fundamental-scientific. Prinsip futuristic akan mengarahkan kepada kondisi masa depan bangsa, fundamental akan menjamin agar tidak selalu berubah karena hal-hal yang tidak mendasar dan scientific menjamin adanya objektivitas dari kenyataan dan kebenaran yang ditelaahnya.

Menolak Diskriminasi, Mendukung Otonomi
Al. Purwa Hadiwardoyo
Menurut Al. Purwa Hadiwardoyo tentang dikriminasi adalah perlakuan berbeda yang landasannya salah, misalnya pembedaan yang berdasarkan jenis kelamin, suku, ras dan agama, sedangkan pembedaan yang landasannya benar tetap dapat kita kembangkan, misalnya perlakuan yang berbeda atas dasar perbedaan semangat dan prestasi kerja. Dan yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi dalam melaksanakan tridharma-nya, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian bagi masyarakat.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 menyatakan pada pasal 16 bahwa tujuan dari pendidikan tinggi adalah “untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian”. Pertama, agar alumni perguruan tinggi memiliki kemampuan akademik atau profesional. Kedua, agar alumni dapat menerapkan, mengembangkan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian.
Penolakan terhadap diskriminasi di bidang pendidikan sudah ditegaskan oleh Undang-Undang nomor 2 tahun 1989. Pada pasal 5 dinyatakan bahwa ”setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh penididikan:, sedangkan pada pasal 7 dikemukakan bahwa ”penerimaan orang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi”.

Globalisasi dan Pendidikan Nilai
J. Soedjati Djiwandono
Globalisasi bukan hanya gejala abad ke-20 atau 21. Proses itu sudah mulai berabad-abad yang lalu ketika manusia berhasil mengelilingi dunia oleh para pionir seperti Marcopolo, magellan dan Columbus. Jadi, globalisasi berawal dari tranportasi dan komunikasi. Tetapi, dampaknyasegera terasa dalam bidangekonomi dan perdagangan, yang mungkin pada awalnya memang menjadi tujuan utama kmunikasi dan tranportasi global.
Globalisasi telah menciptakan dunia yang semakin terbuka dan saling ketergantungan antarnegara dan antar bangsa. Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan saja saling terbuka satu sama lain, tetapi juga saling tergantung satu sama lain, kalaupun saling keterganrungan itu akan senantiasa bersifat asimetris, artinya satu negara lebih tergantung pada negara lain daripada sebaliknya. Karena saling ketergantungan semua negara pada prinsipnya akan terbuka terhadap pengaruh globalisasi. Tetapi karena saling ketergantungan dan saling keterbukaan itu tidak simetris, pengaruh globalisasi atas berbagai negara juga berbeda kadarnya.
Dampak globalisasi, secara tidak langsung sebagian dari kebiasaan baru itu dapat juga mempunyai implikasi moral. Kebiasaan konsumtif baru untuk mengunjungi rumah-rumah makan fast food seperti McDonald’s, Kentucky Fried Chikhen dan sebagainya, misalnya merupakan beberapa contoh. Ironisnya makanan-makanan seperti itu di negara-negara maju seperti AS dan Inggris, sering disebut sebagai junk food (makan sampah). Hasilnya untuk mengunjungi rumah-rumah makan tersebut dapat membantu menonjolkan kesenjangan sosial-ekonomi.
Yang lebih serius implikasi dan pengaruhnya adalah arus dan semakin menyebarnya nilai-nilai tertentu seperti materialisme, konsumerisme dan hedonisme, penggunaan kekerasan dan narkoba, yang jelas dapat merusak moral masyarakat dan kehidupan bangsa di negara-negara berkembang, terutama generasi mudanya.
Pendidikan nilai ditujukan, pertama, pada penanaman nilai-nilai untuk menangkis pengaruh nilai-nilai negatif atau yang cenderung mendorong nilai-nilai negara dalam artian moral yang merupakan akibat arus globalisasi. Untuk memerangi kecenderungan materialisme, konsumerisme dan hedonisme, misalnya yang dapat dibawa atau sekurang-kurangnya didorong oleh arus globalisasi, kita menanamkan pada generasi muda nilai sederhana dan cinta kasih kepada sesama, sekurang-kurangnya dalam bentuk kepedulian pada orang lain, kepada sesama.
Kesulitan dalam negara berkembang yang berkembang atau majemuk dalam pengertian etnis, rasial dankeagamaan adalah menemukan dan mengembangkan nilai-nilai moral yang universal, yang merupakan nilai bersama, kendati perbedaan latar belakang keagamaan atau perbedaan adat istiadat karena latar belakang rasial atau etnis. Pendidikan nilai-nilai moral yang universal merupakan proses belajar terus-menerus bagi semua orang dan semua golongan.
Dalam UU No:2 1989, pasal 11, ayat 6 dikatan bahwa “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pesert didik untuk dapat menjalankan peranan yang menunutut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”, dengan penjelasan yang sebenarnya tidak bersifat penjelasan melainkan tambahan, “Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan”, artinya sampai orang menjadi dewasa . yang jelas, UU tidak memberikan kesempatan pengajaran agama sebagai ilmu atau pengetahuan bagi peserta didik, terlepas dari agama yang danutnya.

Praksis Pendidikan Berwawasan Ekologi
Djohar
Apabila dipandang dari segi ekologi pendidikan, maka penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya adalah upaya penciptaan berbagai kondisi yang banyak berdampak terhadap perubahan perilaku anak, yakni perubahan cara berpikir, perubanahan cara pengendalian diri dan cara pengendalian berinteraksi dengan orang lain dan terhadap pekerjaan. Maka penyelenggaraan pendidikan diharapkan menimbulkan sentuhan-sentuhan terhadap selain kemampuan multiintelejen anak, juga terhadap reaksi pisiknya atas rangsangan sentuhan-sentuhan itu.
Kondisi mendidik sangat diwaranai oleh paradigma pendidikan itu diakui. Apabila pendidikan dilakukan hanya dengan orientasi agar anak dapat mengikuti terus jenjang dan tingkat pendidikannya, maka tekanannya akan cenderung kepada penguasaan bahan pelajaran sebagai bagunan pengetahuan, tanpa mempedulikan aspek objek dan persoalan ilmunya maupun metodelogi dari ilmu serta kepentingan anak sebenarnya. Sebenarnya aspek objek dan persoalan serta metodelogi ilmu yang sebenarnya akan mampu membangkitkan berbagai potensi anak.
Pengajuan kompenen ekosistem itu pada dasarnya dapat untuk menunjukkan bahwa komponen sekolah bukan satu-satunya komponen yang mewarnai keberhasilan pendidikan anak, sehingga tuduhan terhadap rusaknya masyarakat tidak terus-menerus hanya diarahkan kepada peran sekolah saja, meskipun mungkin benar. Tapi apa saja yang teramasuk sebagai komponen ekosistem pendidikan? Yang dimaksud dengan ekosistem pendidikan dapat disadari bahwa lingkunganyalah anak terdidik, termasuk lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau teman dan ekositem sekolah, lingkungan masyarakat dengan berbagai karekteristik sosoial dan budayanya, lingkungan alam dan karekteristik geografinya, lingkungan sejarah masyarakat, linkungan politik negaranya, lingkungan kemajuan ilmu dan teknologi masyarakat dan lngkungan globalnya. Sekolah dengan karakterstik ekosistemnya hanya menjadi satu bagian saja dari ekosistem pendidikan anak, meskipun demikian sekolah diharapkan mempunyai kontribusi besar terhadap perubahan perilaku anak dengan dasar perbedaan menggunakan kurikulum.
Sebelum menentukan cara mengukur hasil pendidikan, yang perlu lebih awal dipikirkan adalah mengenai kriteria hasil pendidikan. Terutama terhadap pendidikan disekolah, ada yang memandang hasil pedidikan didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh anak, dan ada yang memandang hasil pendidikan didasarkan pada perubahan perilaku anak yang diperoleh dari proses pendidikan. Apabila digunakan klasifikasi pencapaian pendidikan menurut aspirasi Bloom, maka pusat perhatian hasil pendidikan diarahkan kepada pencapaian ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Apabila digunakan konsep UNESCO maka hasil pendidikan didasarkan pada pengalaman belajar anak, yaitu: 1) belajar mengetahui (learning to know), 2) belajar berbuat (learning to do), 3) belajarhidup bersama (learning to live together), 4) belajar menjadi seseorang (learning to be). Cara belajar menurut Bloom hanya memikirkan pengukuran pendidikan dari segi hasilnya, akan tetapi menurut UNESCO pendidikan justru diawali dari caranya memperoleh pengalaman. Kiranya inilah yang lebih sesuai dengan konsep pendidikan berwawasan ekologi, karena dari pengalaman itulah kemampuan anak dilatih untuk memiliki potensi dalam melaksanakan tarik-menarik antara dirinya dan ekosistemnya.
Ukuran hasil pendidikan yang bermakna adalah hasil pengamatan yang terus-menerus terhadap perubahan perilaku anak oleh guru dan sekolah bersama-sama orang tua. Ukuran melek ilmu bukan untuk mengukur hasil pendidikan, akan tetapi lebih bermakna untuk mengukur kemajuan ilmu dan teknologi yang terjadi di lingkungan anak sebagai salah satu komponen ekosistem pendidikan anak. Bahkan, melek ilmu lebih bermakna untuk mengukur kemajuan ilmu dan teknologi suatu daerah atau negara yang juga menjadi salah satu komponen ekosistem pendidikan anak di daerah atau negara tertentu.

Mengenal Rasionalisme Descartes

Pendahuluan
Pada masa dewasa ini banyak bermunculan orang bahkan suatu komunitas yang menggunakan akal dan rasionya sebagai tolak ukur. Sebagai contoh suatu komunitas yang menamakan dirinya pengikut aliran Isa Bugis, yang mana kelompok ini menyatakan bahawasanya kita tidak perlu melakukan shalat karena shalat itu menurut mereka adalah cukup dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Jadi tidak perlu melakukan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar umat muslim. Mereka berdalil bahwasanya zaman ini adalah zaman sebelum hijrah, jadi shalat yang dilakukan adalah dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, sedangkan perintah untuk shalat sebagaimana yang dilakukan sebagian besar umat muslim adalah setelah hijrah.
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwasanya, pemikiran rasional telah mendorong seseorang untuk menggunakan akal dan rasionya sebagai landasan berfikir dan mengabaiakan segala hal yang bersifat metafisika dan mengabaikan kebenaran yang sudah menjadi kebenaran umum dengan lebih mengutamakan pendapat pribadi.
Pengertian Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.

Kehidupan dan Karya René Descartes
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la mĂ©thode pour bien conduire sa raison et chercher les vĂ©ritĂ©s dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalis Descartes
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada” .
Tentang Subtansi
Descartes berargumentasi dengan wujudnya ragu atas diri, Sementara manusia sebelum mencapai terminal ragu, terlebih dahulu dia harus temukan dirinya. Dan Descartes sendiri yang berkata "Aku ragu" dari sini akan menjadi terang bahwa Descartes tidak menemukan "ragu mutlak" akan tetapi "ragu bersyarat". Sebelum dia menemukan "keraguan", terlebih dahulu dia jumpai dirinya sendiri. Maksudnya adalah Descartes sebelum dia memberikan hukum dan berkata "ergo sum" dia telah menetapkan dirinya pada kata "to". Dan tak tercapai lagi gilirannya ketika dia mengejar "ergo sum". Karena keraguan tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya seorang peragu yang meragukan sesuatu. Dan di sinilah peran seorang peragu. Dirinya yang ia temukan sebelum segala sesuatu. Dimana dalam kasus Descartes, "Aku" adalah sedemikian jelas dan presentifnya . Jadi keraguan yang timbul dari cogito bukanlah keraguan skeptik yang tidak mungkin untuk diperoleh kebenaran darinya. Tapi, keraguan yang timbul disini adalah keraguan yang bersyarat yaitu membutuhkan suatu usaha untuk mencapai kebenaran.
Dari prinsip dasar Cogito tersebut, yang dikenalkan dengan istilah subtansi, ada tiga ide bawaan yang diajarkan oleh Descartes, yaitu :
a. Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir (cogito), maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakekat saya. Karena berpikir memiliki kemampuan untuk memeriksa secara detail dan terus-menerus meragukan sesuatu sampai pada kebenaran tanpa keraguan.
b. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna (Cogito), mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Jadi konsepsi itu tidak berasal dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan itu ada. Dan Tuhan dipikirikan sebagai subtansi yang tidak membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa, agar “ada” sendiri.
c. Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi. karena adanya kegiatan berpikir dan Tuhan menjamin adanya kegiatan tersebut, maka apa yang dipikir, yaitu materi, pastilah ada juga secara riil.
Pikiran itu sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak mengambil tempat karena ia tidak dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tapi dunia luar adalah materi yang cenderung melakukan perluasan dan mengambil ruang, karennya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.
Metode Clear and Distinct
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain :
a. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar :
a. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
b. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
c. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
d. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
Tentang Jiwa dan Materi
Descartes secara garis besar membagi dua dunia yang paralel tapi independen, yakni dunia jiwa dan dunia materi, yang masing-masing dapat dipelajari tanpa mengacu pada lainnya. Bahwa jiwa tidak menggerakkan tubuh secara implisit dan tubuh tidak menggerakkan jiwa. Dan seorang pribadi adalah penyambung bagi dua substansi yang berbeda tersebut. Dan pembedaan tersebut memberikan suatu bidang khusus pada ilmu, yang berkenaan pada dunia fisik dan agama. Jadi tubuh dan jiwa seperti sebuah koin yang satu menghadap keatas maka yang satu menghadap kebawah. Dan hal inilah yang menunjukkan sifat dualisme dalam pemikiran Descartes.
Ciri-Ciri Filsafat Descartes
1. Keraguan Mendasar
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingikat kesalahan yang lebih tinggi.
2. Pengalaman Sebagai Perangsang Pikiran
Oleh Descartes pengalaman bukanlah sebagai sumber kebenaran, tapi pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
3. Hanya Percaya Pendapat Sendiri
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat.......Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Kritik Terhadap Rasionalisme Descartes
a. Dualisme pemikiran Descartes mengenai tubuh dan jiwa.
b. Tidak adanya kebenaran absolut dalam pemikiran Descartes.
c. Kecenderungannya pada akal telah melemahkan filsafatnya. Hal ini dikarenakan akal manusia itu terbatas.
d. Filsafatnya banyak dipengaruhi fisika dan matematika.
e. Inkonsistensi Descartes dalam filsafatnya. Ia menyatakan kebenaran hanya diperoleh melalui akal tapi pada kenyataannya ia masih tergantung pada keputusan Tuhan.

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.

B. Mendorong Tindakan Belajar
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik.
Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.
Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11).
1. Faktor Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor Psikologis
Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar
jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara
terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1. Perhatian
Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2. Pengamatan
Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3. Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan.
2.4. Berfikir
Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5. Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.

http://www.andragogi.com/document/psikologi_pendidikan.htm

The sociological perspective

Religion is a social phenomenon and is in an interactive relationship with the other social units that constitute a society. This seemingly obvious assertion, which lies at the very foundation of the sociology of religion, is actually not nearly as simple as it may seem. Nor is it si readily accepted as one might expect.
Many people, particularly the religiously committed, think of religion in an entirely different way some prefer to see religion as the context of people’s communion with the supranatural, and religious experience as something ourside of ordinary experience, while others see religion as an expression of an instinctual reaction of cosmic forces. Still others see religion as an explicit set of messages from a deity. These viewpoints certainly de-emphasize, ignore, or even reject the sociological dimensions of religion. Nevertheless, whether we are talking about religion in general, or a particular religious family such as Chiristianity or Buddhism, or a specific religious group such as the First Baptist, religion will be seen to interact with other social institutions and forces in society and will follow and illustrate sociological principles and law.
In other words, whatever else it is (or is not), religion is a social phenomenon and such is in a continual reciprocal, interactive relationship with other social phenomena. That, in brief, is what the sociology of religion is all about; and this book is concerned with the specification and elaboration of this point in a variety of dimensions and on a number of levels.
Characteristics of the sociology of religion
Asserting that religion is a social phenomenon suggest several things. In the first place the statement has a nonevaluative intent. Thus we are not going to be able to, or even want to. Speak about the truth or falsity of religion. Speaking of religion in terms of the good, the true, and the beautiful may be worthwhile and even stimulating for philosophers and theologians-or anyone, for that matter (even sociologists); but such as considerations have nothing to do with sociology. Sociology that claims to describe reality accurately demands that its practioners approach their subjects-religion no less than any other (and perhaps more than most)- with all the neutrality and objectivity they can muster.
Of course, no sociologist can always (if ever) be perfectly neutral and objective with regard to his or her subject, let alone one so value laden and emotionally charged as religion. Recent studies in the sociology of knowledge, as well as honest discussions that have punctured the myth of a “value free” sociology, have been sufficient to discourage any such pretentions. Nonetheless, a conscious, deliberate striving for neutrality and objectivity must be present-indeed, it should be evident-in any sociological investigation.
The sociology of religion is also empirical – it can only study and reach conclusions about phenomena that are observable. In order to confirm or refute any particular theory, the sociologist must test that theory with relevant empirical observation, or data. And since data are by their nature limited to the observable, the measurable, the quantifiable, whatever elements of religion are spiritual or supernatural, in the sense that they cannot be seen with the eye or otherwise measured or recorded, are by definition beyond the purview of sociology.
Our characterization of sociology of religion so far, as objective and empirical, can be summed up by stating that the sociology of religion is conducted according to the scientific method. By the scientific method we mean (1) the systematic search for verifiable data “facts” firmly rooted in prior knowledge and theoretical formulation; (2) the production of evidence as opposed to hearsay, opinion, intuition, or common sense; and (3) the following of procedures that others can verify and replicate (reproduce under essentially identical condition).
It is at this point that the sociologist of religion encounters probably the most strenuous objection from the religion primarily to the supernatural – that is, to forces that are usually unseen - and involves matters of the hearts as well, anything the sociologist can say about religion, limited as he or she is to describing the observable, will be at best superficial and unimportant, at worst false and misleading. J. Milton Yinger has supplied some useful imagery in speaking to this issue. He frames the objection to the empirical study of religion with the question. “how is it possible to see a stained-glass window from the outside?” that is, the beauty and the message or picture of a church’s stained-glass window is visible only when one is inside and can see the sunlight shining through. Professor Yinger suggesting begoes on to note, howevee, that the view from inside constitutes only part of what can be learned about the window. Only from the outside, for example, can the viewer appreciate the exterior framework or context within which that window exist. Furthermore, there are, as Yinger suggest, pieces of information potentially important to understanding the significance of the window that have nothing to do with viewing it from the inside (or from the outside, for that matter): who built it, who installed it, who provides for its repairs, who goes in to view it from the inside. We can also consider the reason it was installed, what “outsiders” think of it, how it resembles or differs from other windows, whether the style of newer windows is the same or is changing and so on.
Rather than belabor the obvious parallel that we are suggesting between this situation and the study of religion, it is enough to note that question like these can be answered empirically, that they are important questions, and that the answer to them amplify our understanding. Granted, empirical data do note constitute the only information of any importance about religion. Nor can we claim that empirical or observable measures of religion reveal its “essence”. Studying religion empirically places a certain restriction on our enterprise, but no more severe a restriction than is placed on the position of those who claim religion to be strictly concerned with spiritual matters and therefore off-limits to empirical investigation. Each “side” of this issue can contribute to an understanding of the total phenomenon.
Central sociological assumptions
Having established that the scientific study of religion is a legitimate endeavor, it remains for us to indicate why, for the sociologist, it is an important one – that is, hoe it furthers sociology’s task of understanding the dynamics of people living in groups. For this purpose it will be helpful to identify some of central assumptions of sociology, whether applied to the study of religion, the family, the class system, or any other social phenomenon.
The sociological perspective
In the first place, what exactly is sociology? Very briefly stated, sociology is the study of the interaction of people in groups and of the influence of those groups on human behavior generally and on society’s other institutions and groups. Thus sociology has a rwofold goal: (1) understanding the dynamics of group life – what groups are, how they function, how they change, how they differ from one other; and (2) understanding the influence of groups on individual and collective behavior. One fundamental assumption of sociology implied by this is that all human activity us influenced by groups. Throughout a person’s lifetime groups impinge on her or his biological “raw material,” shaping it, modifying it, influencing it – socializing it, to use the sociologist term. This process begins with the family and proceeds through the hundreds of educational, associational, peer, and work groups that a person participates in and has contact with throughout his or her lifetime.
In both fundamental sense of the sociological enterprise – explaining group dynamics and explaining group influence – religion qualifies perfectly as a field of sociology study and analysis. Leaving aside for now the question of whether religion is also (or even primarily) an individual phenomenon, it is obviously at least a group phenomenon. Thus to the extent that religions organize themselves into groups – congregations, denominations, dioceses, cells, fellowships, and so on. – an important task for sociology is the study of the structure and functioning of these groups simply as groups. In other words, we want to determine how and to what extent religious groups follow sociological laws governing group life in general. In that ways does a congregations, for example, operate like any other voluntary association – like, say, the League of Women Voters? Or how and to what degree do major religious denominations function like other large bureaucracies – like, say, General Motors or the United States Army?.
Insofar as religion is organized into groups, it exerts influence not only on its members, but also on nonmembers and on other groups and institutions. The second dimension of our preliminaty definition of sociology – as a study of group influence – thus suggest that religious groups that center around one’s family, peers, or workplace. The question is not so much whether such influence exists but to what degree, in what ways, and how it can be measured.
Human nature
A number of assumption in sociology center around the definition of human nature. Here we shall emphasize three of these assumptions.
First, and perhaps most obviously, a human being is a biological organism – a creature with physiological drivers, needs, potentials, and limitations. The socializing influence of groups is thus both directed at and limited by biological factors. Religion is of course among those socializing agents that attempt to influence or modify biological nature. For example, different religious groups have different approaches to, and provide or allow different outlets for, sexual drives. And insofar as people in fact internalize these different emphases – whether they be permissive, compensatory, restrictive, or whatever – to that extent people will have different personalities and evidence rejects notions of biological determinism, it recognizes as openly as possible that human being has potentialities and limitations that are biological provided.
Another sociological assumption regarding human nature that is worth mentioning is the apparently unique ability of people to symbol. By this we mean the ability arbitrarily to attach specific meanings to things, sounds, words, acts, - meanings that are not intrinsic to the items themselves but that people have created. By establishing consensus on these meanings, groups are able to communicate and to accumulate knowledge. Using language as the prime symbolic mechanism, people can deal with abstract concepts and emotions, such as love, justice, and equality as easily as they can ask someone to pass the potatoes at the dinner table.
The ability to express meanings symbolically is primarily responsible for the variety of groups, cultures, ideologies, and technologies throughout history. There is no activity in which people are engaged that does not involves acts of symbolizing – whether lecturing, voting, making love, or “being religious.” Religion in fact consists entirely of symbols and of activities that are interpreted and mediated by symbols. This is true whether the symbols have empirical referents or not. God, hell, salvation, Star of David, nirvana, guru, mana – all have meaning to those initiated into particular symbolic system. The meaning of each of these is not inherent in the word itself or in the combination of sounds, but it supplied by the believer. Even it divine truths have been expressed in human language, or are immediately translated into human language – otherwise the message would have no meaning for people.
Yet other primary sociological assumption about human nature is that people become human only in groups – admittedly, a dramatic way of stating that the influence of groups on the human organism through socialization is crucial and far-reaching. We do not propose to debate the academic question of whether the newborn baby is in fact human. The point is simply that the newborn infant is not yet very much of what it is going to become, and that what it does become will be largely attributable to socializing influences. One of those socializing influences is religion, whish in fact affects everyone, whether or not they are born into a “religious” family or attend Sunday school or are married by a member of the clergy, and so on. For religion also exerts an indirect influence on people, if only in an inverse way as a negative reference group or through its influence on secular institutions.
Human action is directed toward problem solving
A fundamental assumption of sociology is that every human action is in some form and to some degree a problem-solving act or mechanism. Whether working at a job, getting married, planning a party, or genuflecting, the human being is engaged in the process of solving or resolving some existing (present) or anticipated (future) problem. The problem may be how to satisfy a biological need for nourishment, how to achieve victory on the athletic field, or how to get God to help you pass an exam this afternoon. In any case, the person perceives a problem that she or he must solve, either now or, if he or she fails to take appropriate action, in the future.
Religious behavior is problem-solving like any other social activity. Praying, attending church services, observing religious laws, and having and talking about “mountaintop experience,” for example, are all religious activities that contribute in some way (at least from the perspective of the religious participant) toward solving a problem, either existing or anticipated. Note that we are not suggesting (or denying) that religion in fact either solves problems or creates them. Rather, our point is that people often engage in religious activities in the belief that such behavior can solve problems. Lest there be any misunderstanding, once again we will emphasize that throughout this book no attempt is made to determine or question the truth or falsity, the efficacy or inefficacy, of religion in general, of any specific religion in particular, or of anyone’s personal religious beliefs. Engaged we are in sociological investigation, we are concerned solely with that can be observed, including what people believe exists and happens.
All social phenomena are interrelated
The final sociological assumption that we need to clarify before delving in detail into the sociology of religion is that all social phenomena within a given group or society are interrelated. That is, all social phenomena are continually interacting, and every part becomes linked with every other in at least an indirect way. More specifically, part A may not be influence through a chain of other factors or social phenomena called B, C, D, and E. most important for our purposes, religion interacts with – is in a dynamic reciprocal relationship with – every other social phenomenon and process. Religion both influences them and is influenced by them; religion both acts and reacts, is both independent variable and dependent variable, both cause and effect. This principles of the continual dialectic involving religion and other social phenomena is a central theme of this book, for determining the nature and extent of these mutual influences are key tasks in the sociology of religion.
We have now identified in at least an introductory way what sociology is. Now, what is religion – the second term in our subject, the sociology of religion?
A sociological definition of religion
Everyone of course “knows” what religion is. For our purposes, however, such knowledge needs to be systematized. We need to achieve some consensus on the boundaries of our subject matter, which we all recognize as having great diversity, before we can proceed to analyze it. Without denying the validity of any individual’s private definition, we need to establish some ground rules that we can follow throughout this text. Clearly there is nothing absolute about a definition – no definition, of any phenomenon, religion included, is inherent in the phenomenon itself. What we require, then, is a working definition of religion – specially, a definition that we can be fairly sure includes the major ideas of this concept, a definition that is moreover flexible and responsive to changing conditions and new evidence – so that we can communicate fairly sensibly not include everything that anyone has ever thought religion might be, we will try to isolate the core or essential elements.
The characteristics of religion
The English word religion has a Latin root; that much is certain. But there is disagreement over whether the Latin root word is religare, meaning “to bind together” (suggesting possibly the concept of a group or fellowship) or relegere, meaning “to rehearse, to execute painstakingly,” referring probably to the repetitious nature of liturgy. Either word makes sense as a root, and each taps a dimension of religion that we will include in our definition. Yet it is clear that etymology by itself will not provide us with an ultimate answer to our problem of definition.
Religion is a group phenomenon
Let us start with the concept suggested by the Latin word religare – the concept of the group or fellowship. The assertion that is a group phenomenon is significant both for what it says and for what it fails to say, for what it excludes. What it excludes is of course the individual aspect. Certainly religion is an individual matter in any number if ways: in that it involves personal emotions and thoughts; or insofar as one’s religion is a matter of personal beliefs; or insofar individuals are free to commit themselves to whichever religious system they prefer. Still, it would not make sense to expect that one could somehow systematically study every individual’s personal religious beliefs. Sociology, being committed to systematic study of group behavior, has no such problem in that it concentrates on the group dimension of religion.
Throughout history and in every corner of the world, people have engaged in religious behavior. Congregations, ceremonial gatherings, denominations, prayer meetings, family pilgrimages, ecumenical councils – all are examples of religious activity. Even when a lone figure is acknowledge to have experienced visions or received supernatural dispensations, she or he frequently attracts others – that is, he or she becomes leader (perhaps even a prophet) with a following, often whether the person seeks it or not. True, we also see occasional isolated by mystics and religious hermits in mountaintop seclusion. Even most of these, however, belong to some subgroup of a major religion (such as Catholicism or Buddhism), which may encourage or even structure and coordinate such activity.
Elaborating our admittedly arbitrary division of religion into its personal and group dimensions, J Paul Williams suggests that there are at least four types or levels of religiousness: (1)the secret level, which person keeps to himself or herself and does not divulge or discusses;
(2) the private, which she or he divulges or discusses with only a few carefully chosen intimates ; (3) the denominational, which the individual shares with many others in a large group; and
(4) the societal, which the person shares with the members of society at large. William’s first to categories will occupy very little of our time-not because they fail to involve religion ( they obviously do), but simply because of the reasons already mentioned for narrowing our range of coverage, and also, to some extent, because solid sociological research into individual aspects of religion has only recently begun. For example, chapter 4, while it does not deal with precisely what William means by “ secret “ religiousness, focuses on what we might call the social-psychological dimension of religion-the process of individual internalization of religion. Our primary attention, however, will be on what Williams identifies as denominational and societal religion, with particular emphasis on the former, again reflecting the fact that most research in the sociology of religion has been in this area.
So much for what is excluded by our characterization of religion as a group phenomenon. Now we may ask, what is included in this aspect of our definition? Answering this question requires that we specify exactly what a group is; in this regard, fortunately, sociologists are very explicit.
According to one definition that most sociologists would accept, a group has six major features. The first and most basic is that a group is composed of two more people (members) who have established certain patterns of interaction (including communication) with one another. Such interaction does not necessarily take place continually, or even daily. Nor those every member of a group interact with every other member. Nor is this interaction necessarily face to face. The point is simply that the people who constitute a group – group members – are aware of one of one another (perhaps can know one another) and have established patterns of interaction characteristic of their group.
The second major of a group, according to our definition, is that group members share certain common goals – in fact, this is the reason they came together in the first place (although they may not have known it then). The process of forming a group thus involves the fundamental sociological concept, introduced earlier in this chapter, that all human behavior consist of some sort of problem-solving activity. Saying that a group has common goals implies that individuals who are confronted with common problems have made contact and have agreed to work together reward the goal of solving those problems. Imagine, for example, five individuals, each deeply concerned about industrial-waste pollution in a certain trout stream, who through casual conversation (perhaps whole trying to fish the stream) “discover” one another and subsequently form a group called STEP (save Trout From Environmental Pollution), whose primary goal is reducing pollution in this and other trout streams. Thus what was originally the separate concern of five individuals has become a group concern, which in turn implies a certain common goals that they share with one another.
Third, as a result of the above, a group is guided by shared norms. For once a group defines its goals, it then determines how to reach them; that is, the group specifies that such and such it what its member will do, as well as when, where, and how. All such specifications are norms – more or less formal expectations concerning appropriate behavior by one or all members of the group.
Fourth, every group member has a role, or ser of functions, to fulfill. As such, a role consists of a set of specific norms the group wants carried out. The development of different roles within the group gives rise to what is known as the division of labor. Thus, whenever a member leaves the group or adopts a new role, the group may need to keep the division of labor in balance by recruiting someone else – either another member or an outsider – for that particular role.
Fifth, a group functions collectively in accordance with a status system, a hierarchy in which different amounts of power, authority, and prestige are accorded to different roles and to the individuals in them. Different groups, of course, have different criteria for establishing status rankings. Roles involving group coordination, decision making, and interpretation, for example, which inherently carry the greatest authority and prestige, are often assigned to those individuals who are believed to perform these tasks most ably, although such other factors as seniority, wealth, and kinship can also be influential.
Sixth, group members feel and express a sense of identification with the group: “I belong,” “This Is My Group,” “Yes, I’m an active member of STEP.” The degree of group commitment, dedication, and identification varies from member to member, and most groups are able to tolerate some such variability. But without a certain minimum amount of identification and commitment on the part of its members, a group will soon disintegrate.
These six characteristic features of a group obviously apply to religious groups no less than to any other kind. Thus in studying religion as a group phenomenon, we already know many things to expect and even some questions to ask: How does a given religious group differ from all others in terms of these six aspects? What, for example, are the religious group’s goals, its norms, its roles, its status criteria?
Religion is concerned with the sacred and supernatural
A second characteristic that we wish to include in our definition of religion is its involvement with what Durkheim identified as the “sacred,” with what Rudolf Otto termed the “holy” or the “wholly other,” and essentially what Mircea Eliade refers to as “sacred space” that is qualitatively different from all other “homogenous” space in which regular, every day occurrences and activities take place. There is universal tendency for religion to express awe, reverence, and fear with regard to certain things, being or situations and to distinguish them from the ordinary, the mundane – or, as Durkheim defines it, the “profane.” Old Testament Jews removed their sandals upon entering the temple, many Christians make the sign of the cross when praying to God, Hindus give cows the right of way, Muslims undertake pilgrimages to Mecca, American Indians avoided disturbing holy plots of ground. All such behavior express the recognition of a sacred place or situation. In each instance people acknowledge being in the presence of something special – something above and beyond them that demands adopting special attitudes, performing certain actions, and perhaps articulating special words as well.
For many people – for whole religious systems, for that matter – that “something special,” the sacred, in fact involves the supernatural, a power or being no subject to the laws of the observable universe. Such a power may be personified by Jesus, by Vishnu, by Allah, or by any number of gods, devils, goblins, or spirits. Or perhaps it is simply a vague and diffuse power, such as that identified by the Polynesian term mana (which we shall discuss shortly).
In these beliefs a dichotomy of reality is being expressed. On the one hand there are the “profane” (ordinary) events and the visible environment of the routine workday world. On the other hand there is the invisible largely uncontrollable, out of the ordinary realm. To a greater or lesser degree, people can control and predict familiar everyday situations – the choice of daily tasks, conversations with others, the acts of eating and copulating, the seeking of nightly rest, and so on. But most people seem to believe that there is no more to life than such ordinary situations and events. What about the big bang in the sky last week and the twisting dagger of light that preceded it? What about my friend who dropped dead while running beside me? What about the place in the swamp where a whole hunting party was swallowed up in the mud? Such things are out of the ordinary; they cannot be taken for granted; they elicit fear, awe, respect. We are here in the presence of Otto’s “wholly other” – an entirely different order of existence.
It should be emphasized that the experiences that people define as sacred vary considerably and the objects of their awe and reverence are infinitely diverse. Yet every society has its list of such awesome and mysterious things and events. Religion deals with them. Religion provides explanations and answers; religion prescribes methods of placation and of expressing appropriate reverence. The sacred, the holy, the supernatural, together with people’s relationship to them, thus constitute the prime subject matter of religion.
Although the term sacred may occasionally connote little more than “deserving or demanding respect,” with no necessary thought of a supernatural power being involved, it is usual for the two concepts to go together. That which is considered sacred is so precisely because some supernatural forces or activity arouses the feeling of awe that surrounds the sacred object, person, place, or situation. While they are not strictly synonymous concepts, the sacred and the supernatural are in most societies so intimately related that most of the time we shall regard them as almost inseparable for the purposes of our definition of religion.
However, in the interests of precision and clarity of the concepts sacred and supernatural, we shall regard only the sacred only the sacred as essential to religion. This allows us to include several thought system that most people would almost intuitively think of as religious systems, yet upon close examination are found to express no concept of the supernatural at all. We would mention as examples Jainism, Ethical Culture, early Buddhism, and early Confucianism.
Religion involves a Body of beliefs
A third characteristic of religion, one that is much more straightforward and easy to describe, is that it invariably includes or implies a body of beliefs. This characteristic proceeds directly from the foregoing considerations of the sacred and the supernatural. For in the act of endeavoring to deal with or justify these phenomena and experiences, religious groups develop explanations, work out rationales, and discover “facts” that are eventually systematized into a body of beliefs.
Every major religion has its sacred book or books that spell out or at least provide the basis for determining the beliefs the group holds. Some examples are the Bible, the Koran, the Book of Mormon, and the Bhagavad-Gita. Furthermore, every major religion has beliefs in addition to those contained in such “official” or basic writings – the interpretations and extensions of lesser prophets and of other successors to the founder (s) of the religion, for example. Then, too, there is in every religion (and not just in those of preliterate societies) the oral tradition – unwritten explanation, in the form of myths, sagas, and proverbs, handed down to each new generation by word of mouth.
Borhek and Curtis describe seven features of most belief systems. First, there are values – definitions of what is good or valuable; second, criteria of validity by which to judge new observations and messages; third, a “logic” that relates one substantive element in the belief system to others fourth, a perspective that identifies how the group stands in relation to other groups and world views; fifth, substantive beliefs such as “Jesus will come again to reign a thousand years” or “Vishnu is an avatar of the Buddha,” sixth, prescriptions and proscriptions so far as behavior is concerned; seventh, a technology that consist of means and techniques for obtaining valued goals.
It should be pointed out that we are dealing here with a characteristic that is not unique to religious groups, for groups of all kinds have belief systems. Although we can view beliefs as attitudes or opinions so far as the individual concerned, group beliefs properly fall under the heading of the norms established or accepted by the group. Norms, in other words, specify not only how a group’s members are expected to behave but also what they are expected to believe, how they are to interpret and relate to things and events. The distinctiveness of religious groups so far as beliefs and norms are concerned rests simply with the subject matter of those beliefs. The beliefs of religious groups specifically concern the sacred and very likely also the supernatural.
Religion involves a set of practices
A fourth characteristic of religion is that it universally involves specific practices, which consist of acting out certain normative expectations. One of the most obvious features of any religion – obvious because it consist of