Minggu, 23 Januari 2011

PEMIKIRAN AUGUSTO COMTE

Pendahuluan
Selintas apabila melihat manusia yang satu ini pastinya semua akan berpikir, apakah manusia ini gila ataukah cerdas ? Begitupun saya pada awalnya yang mencoba mempelajari sosiologi dan pemikirannya manusia yang satu ini, Auguste Comte. Seorang yang brilian, tetapi kesepian dan tragis hidupnya.

Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798, adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga berdarah katolik. Namun, diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap kebangsawanannya juga kepada katoliknya dan hal tersebut merupakan pengaruh suasana pergolakan social, intelektual dan politik pada masanya.

Comte sebagai mahasiswa di Ecole Politechnique tidak menghabiskan masa studinya setelah tahu mahasiswa yang memberikan dukungannya kepada Napoleon dipecat, Comte sendiri merupakan salah satu mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak. Hal tersebut menunjukan bahwa Comte memiliki prinsip dalam menjalani kehidupannya yang pada akhirnya Comte menjadi seorang profesional dan meninggalkan dunia akademisnya memberikan les ataupun bimbingan singkat pada lembaga pendidikan kecil maupun yang bentuknya privat.

Hal-hal yang sebenarnya menarik perhatiannyapun dasarnya bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah social dan kemanusiaan. Dan, pada saat minatnya mulai berkembang tawaran kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris Simon sekaligus pembimbing karya awal Comte, Comte tidak menolaknya.

Tiada gading yang tak retak, istilah yang menyempal dalam hubungan yang beliau-beliau jalin. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi intelektual dari keduanya.

Sejak saat itulah Comte mulai menjalani kehidupan intelektualnya sendiri, menjadi seorang profesional lagi dan Comte dalam hal yang satu ini menurut pandangan Coser menjadi seorang intelektual yang termarjinalkan dikalangan intelektual Perancis pada zamannya.

Perkembangan Masyarakat
Kehidupan terus bergulir Comte mulai melalui kehidupannya dengan menjadi dosen penguji, pembimbing dan mengajar mahasiswa secara privat. Walaupun begitu, penghasilannya tetap tidak mecukupi kebutuhannya dan mengenai karya awal yang dikerjakannya mandek. Mengalami fluktuasi dalam penyelesainnya dikarenakan intensitas Comte dalam pengerjaannya berkurang drastis.

Comte dalam kegelisahannya yang baru mencapai titik rawan makin merasa tertekan dan hal tersebut menjadikan psikologisnya terganggu, dengan sifat dasarnya adalah , seorang pemberontak akibatnya Comte mengalami gejala paranoid yang hebat. Keadaan itu menambah mengembangnya sikap pemberang yang telah ada, tidak jarang pula perdebatan yang dimulai Comte mengenai apapun diakhiri dengan perkelahian.

Kegilaan atau kerajingan yang diderita Comte membuat Comte menjadi nekat dan sempat menceburkan dirinya ke sungai. Datanglah penyelamat kehidupan Comte yang bernama Caroline Massin, seorang pekerja seks yang sempat dinikahi oleh Comte ditahun 1825. Caroline dengan tanpa pamrih merawat Comte seperti bayi, bukan hanya terbebani secara material saja tetapi juga beban emosional dalam merawat Comte karena tidak ada perubahan perlakuan dari Comte untuk Caroline dan hal tersebut mengakibatkan Caroline memutuskan pergi meninggalkan Comte. Comte kembali dalam kegilaannya lagi dan sengsara.

Comte menganggap pernikahannya dengan Caroline merupakan kesalahan terbesar, berlanjutnya kehidupan Comte yang mulai memiliki kestabilan emosi ditahun 1830 tulisannya mengenai “Filsafat Positiv” (Cours de Philosophie Positiv) terbit sebagai jilid pertama, terbitan jilid yang lainnya bertebaran hingga tahun 1842.

Mulailah dapat disaksikan sekarang bintang keberuntungan Comte sebagai salah satu manusia yang tercatat dalam narasi besar prosa kehidupan yang penuh misteri, pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang baru dalam karya-karya filsafat yang tumbuh lebih dulu. Comte dengan kesadaran penuh bahwa akal budi manusia terbatas, mencoba mengatasi dengan membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan ilmiah. Tiga hal ini dapat menjadi ciri pengetahuan seperti apa yang sedang Comte bangun, yaitu: 1. Membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan, 2. Mengumpulkan dan mengklasifikasikan gejala itu menurut hukum yang menguasai mereka, dan 3. Memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu dan mengambil tindakan yang dirasa bermanfaat.

Keyakinan dalam pengembangan yang dinamakannya positivisme semakin besar volumenya, positivisme sendiri adalah faham filsafat, yang cenderung untuk membatasi pengetahuan benar manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu pengetahuan. Disini Comte berusaha pengembangan kehidupan manusia dengan menciptakan sejarah baru, merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak (teologis) maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif (metafisika).

Comte bukan hanya melakukan penelitian-penelitian atas penjelasan-penjelasan yang perlu dirombak karena tidak sesuai dengan kaidah keilmiahan Comte tetapi layaknya filsuf lainnya, Comte selalu melakukan kontemplasi juga guna mendapatkan argumentasi-argumentasi yang menurutnya ilmiah. Dan, dari sini Comte mulai mengeluarkan agitasinya tentang ilmu pengetahuan positiv pada saat berdiskusi dengan kaum intelektual lainnya sekaligus

Uji coba argumentasi atas mazhab yang sedang dikumandangkannya dengan gencar. Positivisme. Comte sendiri menciptakan kaidah ilmu pengetahuan baru ini bersandarkan pada teori-teori yang dikembangkan oleh Condorcet, De Bonald, Rousseau dan Plato, Comte memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang lebih dulu timbul. Pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya bukan hanya berguna, tetapi merupakan suatu keharusan untuk diterima karena ilmu pengetahuan kekinian selalu bertumpu pada ilmu pengetahuan sebelumnya dalam sistem klasifikasinya.

Asumsi-asumsi ilmu pengetahuan positiv itu sendiri, antara lain : Pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat obyektif (bebas nilai dan netral) seorang ilmuwan tidak boleh dipengaruhi oleh emosionalitasnya dalam melakukan observasi terhadap obyek yang sedang diteliti. Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang berulang kali. Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti tentang fenomena atau kejadian alam dari mutualisma simbiosis dan antar relasinya dengan fenomena yang lain.

Bentangan aktualisasi dari pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga tahap” atau dikenal juga dengan “hukum tiga stadia”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh Comte.

Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian. Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah penyakit kutukan!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris. Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap.

Comte jelaslah dapat terlihat progresivitasnya dalam memperjuangkan optimisme dari pergolakan realitas sosial pada masanya, dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis. Comte dikelanjutan sistematisasi dari observasi dan analisanya, Comte menjadikan ilmu pengetahuan yang dikajinya ini terklasifikasi atas dua bagian, yaitu: sosial statik dan sosial dinamik.

Sosial statik dan sosial dinamik hanya untuk memudahkan analitik saja terbagi dua, walaupun begitu keduanya bagian yang integral karena Comte jelas sekali dengan hukum tiga tahapnya memperlihatkan ilmu pengetahuan yang holistik. Statika sosial menerangkan perihal nilai-nilai yang melandasi masyarakat dalam perubahannya, selalu membutuhkan sosial order karenanya dibutuhkan nilai yang disepakati bersama dan berdiri atas keinginan bersama, dapat dinamakan hukum atau kemauan yang berlaku umum. Sedangkan sosial dinamik, ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perkembangan masyarakat atau gerak sejarah masyarakat kepada arah kemajuannya.

Pemandangan Comte rasanya dapat terlihat dalam penjabarannya mengenai ilmu pengetahuannya, yang mengidamkan adanya tata yang jelas mengedepankan keteraturan sosial dan kemajuan perkembangan serta pemikiran masyarakat ke arah positif. Sebagai seorang ilmuwan Comte mengharapkan sesuatu yang ideal tetapi, dalam hal ini Comte berbenturan dengan realitas sosial yang menginginkan perubahan sosial secara cepat, revolusi sosial.

Comte terpaksa memberikan stigma negatif terhadap konflik, letupan-letupan yang mengembang melalui konflik dalam masyarakat karena akan menyebabkan tidak tumbuhnya keteraturan sosial yang nantinya mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial, anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial (sejarah manusia) harus sesuai perkembangan pemikiran manusia dan pada tiap proses fase-fasenya (perkembangan) bersifat mutlak dan universal, merupakan inti ajaran Comte.

Comte memainkan peran ganda pada pementasan teater dalam hidupnya, pertama-tama Comte yang menggebu dalam menyelematkan umat manusia dari “kebodohan”, menginginkan adanya radikalisasi perkembangan pemikiran dengan wacana positivisme dan progresiv dalam tata masyarakat. Kedua, Comte menolak keras bentuk anarkisme sosial yang merusak moral dan intelektual.

Comte adalah seorang yang radikal tetapi, bukanlah seorang yang revolusioner, Comte seorang yang progresiv namun bukan seorang yang militansinya tinggi (walaupun, sempat mengalami kegilaan/paranoid). Comte berjalan di tengah-tengah, mencari jalan alternatif melalui ilmu pengetahuan yang dikembangkannya guna menyiasati kemungkinan besar yang akan terjadi.

Pluralitas Ekstrim
Follow up atas radikalisasi Comte, antara progresivitas untuk menciptakan perubahan sosial dengan penjagaan atas keteraturan sosial menjadi bahan kontemplasi dan observasinya. Comte sangat berjuang keras dengan idealismenya (positivisme) agar tercapai dan dapat mengatasi keguncangan akibat kecemburuannya, harapan dan kenyataan yang mungkin tidak akan sama nantinya yang akan terjadi pada manusia.

Pada saat tertentu Comte ulas balik kembali untuk mencari sumbangan sosial para intelektual sebelum Comte, dan terdapati oleh Comte tentang konsensus intelektual. Konsensus intelektual selalu menjadi dasar bagi tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Dan nilai tersebut, diadopsi dari khasnah masyarakat teologis oleh Comte. Comte melihat agama memiliki ikatan emosional yang tinggi bersandarkan sistem kepercayaan yang satu dan itu mendorong kebersamaan umat manusia menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial dan konsensus.

Menurut Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu formulasi untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi, perubahan secara cepat atau revolusi sosial. Namun Comte, tidaklah dapat mengandalkan agama yang konvensional apabila ingin mengadakan sinkronisasi dan konsisten dalam pengembangan ilmu pengetahuannya, positivisme.

Rutinitas Comte yang sangat ajek ternyata tidak mengaburkan Comte dari sense of romance-nya, Comte bertemu seorang perempuan yang bernama Clotilde de Vaux di tahun 1844. Walaupun, Comte sangat mencintainya hingga akhir hayat Clotilde tidak pernah menerima cinta Comte karena sudah memiliki suami, walau suaminya jauh dari Clotilde. Comte hanya sempat menjalankan hubungan yang platonis, 1845 Comte menyampaikan hasratnya dan hal tersebut tahun yang fantantis bagi Comte. Clotilde de Vaux meninggal pada tahun 1846 karena penyakit yang menyebabkan tipis harapan sembuhnya dan Clotilde masih terpisah dengan suaminya.

Pada saat itulah mungkin Comte mulai memikirkan perihal keluarga, keluarga dianggap kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran sedari awal bagi manusia-manusia baru (pasangan suami-istri). Internalisasi nilai-nilai baru, tentunya yang positif. Comte yang percaya bahwa perubahan tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya dalam masyarakat. Comtepun percaya akan humanitas keseluruhan dapat tercipta dengan kesatuan lingkungan social yang terkecil, yaitu keluarga. Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga yang mengenalkan pada lingkungan social, eskalasi keakraban yang meninggi akan menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.

Hal tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, terarah atas ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah dicapai dalam perspektif keluarga bentuk mikrokosmik. Dalam diri manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan altruisma (sifat peribadi yang didasarkan pada kepentingan bersama). Kecenderungan pertama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua makin bertambah kuat. Sehingga manusia makin memiliki sosialitas yang beradab, akibat bekerja bersama sesuai pembagian kerja berdasarkan pengalaman adanya pertautan kekeluargaan yang mengembang. Tidak dapat dikatakan tidak ini juga karena adanya sosialisasi keluarga terhadap keluarga lainnya.

Rupa-rupanya Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber keteraturan social, dimana nilai-nilai cultural pada keluarga (kepatuhan) yang disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan, menumbuhkan persamaan dalam mencapai suatu kebutuhan.

Seiring dengan kontemplasi dan observasi Comte dalam mencari jalan tengah serta persentuhannya dengan romantisme platonis, perang terus menerus dan individualitas mengembang bagai jamur di musim hujan pada zaman post-revolusi Perancis semakin menentukan arah pemikiran Comte yang empirik itu.

Pendobrakan besar-besaran dilakukan Comte terhadap realitas sosial yang terus mencoba menghegemoni umat manusia pada zamannya melalui institusi gereja, hal yang kudus dan ketabuan yang dibuat oleh manusia (khususnya, pastur/pendeta/pemuka agama) mendapatkan kritik keras karena menjajakan doktrin, dogma dan melakukan pembodohan yang berakibat, yang kaya tetap kaya lalu yang miskin akan tetap miskin.

Dalam pada itu Comte yang telah meyakini ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis, dimana konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas sehari-hari umat manusia. Begitupun kesatuan organis terkecil di masyarakat, amat mempengaruhi Comte sebagai institusi yang dapat meradiasi pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada masyarakat luas. Comte mulai merilis suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia, Comte menciptakan agama baru yang sesuai dengan idealismenya.

Idealisasinya berbentuk agama yang dapat dikatakan sekuler dan lengkap bersama ritus, hari rayanya, pemuka agama serta lambangnya, dilengkapi oleh Comte. Agama gaya baru ini dinamakan agama humanitas, dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia. Menurut Comte mencintai kemanusian, inilah yang menyebabkan lahirnya keseimbangan dan keintegrasian baik dalam pribadi individu maupun dalam masyarakat. Kemanusianlah yang kudus dan sakral, bukanlah Allah karena banyak penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif, hanya memberi impian. Institusi agamapun hanya menjadi alat propaganda kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.

Comte menciptakan agama tersebut, terlihat seakan mengalami romantisisme terhadap pengalamannya yang lalu bersama Clotilde de Vaux dan menghasilkan hubungan yang berbuih saja dan realitas sosial yang juga turut membentuknya. Dari sini pada saat Comte, membentuk ceremonial keagamaannya dengan mengadakan penyembahan terhadap diri perempuan, Comte dikatakan oleh para intelektual lainnya kehilangan konsistensi terhadap ilmu pengetahuan yang dikembangkannya karena pemikirannya sudah terbungkus dengan perasaan. Comte dikatakan tidak ilmiah.

Namun permasalahan pemujaan Comte, terhadap perempuan diadopsi dari rentang sejarah ceritra bunda Maria, bukan karena adanya penolakan perasaan cintanya dari Clotilde de Vaux. Dalam hal ini Comte dapat juga dikatakan mengadakan sublimasi terhadap obsesinya, yaitu kebebasan berpikirnya atas idealismenya agar dapat menyiasati secara strategis. Menciptakan masyarakat positivis di masa depan, dalam kontekstual hubungan seks antara pria dan perempuan tidak perlu ada lagi dan “kelahiran manusia-manusia baru akan keluar dengan sendirinya dari kaum perempuan”. Di era sekarang hal tersebut merupakan pemandangan umum, perkembangan reproduksi melalui tekhnologi kedokteran telah berhasil mengaktualisasikan ide tersebut.

Comte bersama ahli-ahli bidang lainnya yang sepakat dengan pemikirannya menjadi perangkat institusi keagamaan yang dibuatnya dan mulai mensosialisasikan kepada kalangan elit-elit politik, Comte mengarang buku kembali dan diberikan judul Positivist Catechism dan Appeal to Conservatives.

Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir hayatnya, Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.

Kesimpulan
Auguste Comte adalah, manusia yang berjalan di tengah-tengah antara ideologi yang berkembang ( progressiv vs konservatif ), berada pada ruang abu-abu ( keilmiahan ilmu pengetahuan ). Comte memberikan sumbangsih cukup besar untuk manusia walaupun, ilmu pengetahuan yang dibangun merupakan ide generatif dan ide produktifnya. Comte turut mengembangkan kebudayaan dan menuliskan : “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika dan sebagai manusia dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”.

KELAHIRAN POSITIVISME

Kelahiran Positivisme:Para Filsuf Pasca-Revolusi dan Auguste Comte - Suatu Pengantar

Situasi intelektual di Prancis abad ke-19 sangat berbeda dari situsai Pencerahan abad ke-18. Kalau pada zaman Pencerahan terdapat kecenderungan yang kuat untuk melawan agama, di abad ke-19 para filsuf Prancis mulai menghargai kembali peranan dimensi rohani manusia. Dalam hal ini mereka banyak menyerap pengaruh cita-cita spiritual idealisme Jerman yang berkembang pada abad yang sama. Sebuah aliran terpenting pada abad ini adalah positivisme, dengan tokoh Auguste Comte. Aliran ini menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau sosiologi. Sekilas tampak perbedaan mencolok antara idealisme dan positivisme. Idealisme mendukung metafisika, sedangkan positivisme menolak metafisika. Kalau dipelajari lebih jauh, akan jelas bahwa kedua-duanya sama-sama spejulatif. Di balik kedok “filsafat positif”, aliran yang anti metafisika itu tidak jauh dari metafisika. Dengan demikian perbedaan keduanya bersifat ideologis. Sementara idealisme Jerman dengan sifat konservatif berusaha memodifikasi metafisika tradisional dengan wajah rasional, positivisme – dengan semangat sekularistis progresif hasil Pencerahan – berusaha merekonstruksi sebuah sistem pengetahuan ilmiah yang dapat menjelaskan realitas sebagai keseluruhan (ini pretensi metafisis). Di balik perbedaan itu diam-diam keduanya sepakat untuk menemukan sebuah sistem integritas yang bersifat rohaniah yang dapat mengutuhkan kembali kebudayaan dan masyarakat yang mengalami krisis akibat modernisasi.

Sebelum kita memperbincangkan positivisme Comte, lebih dulu kita tilik secara umum situasi intelektual Prancis pasca-Revolusi 1789 yang ikut merintis kelahiran positivisme.

Situasi Filsafat Prancis Pasca Revolusi
Revolusi Prancis memang diwarnai banyak teror dan pertumpahan darah, tetapi sebuah cita-cita lama kebudayaan Barat dicapai dalam Revolusi ini, yakni: penegasan akan kebebasan manusia. Dipandang dari sudut modernis, Revolusi memperluas Reformasi religius pada abad ke-16 ke bidang sosial dan politik. Cita-cita modernitas yang sudah mulai didasarkan pada zaman Renaisans seakan-akan terwujud secara sosial-politis dam Revolusi ini. Realitas yang sama ternyata bisa dinilai dari dua sudut pandang yang bertolak belakang. Demikianlah juga, di Prancis muncul para pemikir yang disebut “Tradisionalis”. Dari sudut pandang tradisionalis, Revolusi merupakan ancaman serius terhadap integrasi sosial dan dasar-dasar religius bagi moralitas manusia. Meski berlainan, baik kaum pendukung maupun pengkritik Revolusi sebenarnya sama-sama produk Pencerahan.

Kaum Tradisionalis
Di antara kaum Tradisionalis, terdapat tokoh-tokoh masyhur seperti: De Maistre, De Bonald, Chateaubriand, Lamennais. Count Joseph De Maistre (1753-1821) adalah seorang tokoh konservatif yang sangat getol menyerang konsep kemajuan. Dalam Soirees de St. Petersbourg, ia antara lain berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hanya sahih untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisik, dan bukan untuk menjelaskan agama. Yang bisa menciptakan tatanan dan kemajuan bukan ilmu, melainkan iman, lebih khusus lagi iman Katolik. Disini ia ingin menemukan sebuah dasar religius yang hilang karena modernisasi. Atas dasar anggapan ini dia menganggap Reformasi sebagai kejahatan terbesar umat manusia. Dia juga mengecam pedas para filsuf Pencerahan, khususnya Voltaire. De Bonald (1754-1840), dalam Primitive Legislation, lebih jauh lagi berusaha menemukan sebuah “basis religius” yang dia temukan dalam bahasa. Bahasa adalah “fakta primitif”. Bahasa lalu dilihatnya sebagai sarana transmisi pewahyuan Ilahi yang pada gilirannya mendasari masyarakat dan manusia. Chateaubriand (1768-1848) juga terhitung diantara kaum Tradisionalis. Dalam Genie du Christianisme, dia membela agama Kristen dengan pertimbangan-pertimbangan estetis. Agama Kristen itu benar karena indah dan iman Kristen itu menghibur. De Lamennais (1782-1854) juga sejalan dalam membela agama Kristen. Dia berpendapat bahwa agama adalah basis moral masyarakat, dan tanpanya masyarakat akan hancur.

Mereka yang Disebut “Les Ideologue”
Para pendukung Revolusi yang paling menonjol adalah apa yang menamakan diri “les ideologues” (kaum ideolog). Julukan ini diambil dari buku salah seorang tokohnya, Destutt de Tracy (1754-1836). Elements d’ideologie. Istilah ini belum memiliki makna peyoratif seperti sekarang. “Ideologi” dimengerti sebagai studi-studi mengenai asal-usul ide-ide yang terungkap dalam bahasa dan penalaran. Bersama dengan rekan-rekannya, De Volney (1757-1820) dan Cabanis (1757-1808), de Tracy meneruskan gagasan-gagasan Pencerahan, khususnya dalam pikiran Condillac. Akan tetapi, mereka tak setuju dengan Condillac, karena dia mempelajari ide-ide dengan cara mereduksi segala proses mental (perasaan, memori, memutuskan, menghendaki) kepada sensasi-sensasi. Proses mental itu bersifat dasariah dan reduksi atasnya hanya dibuat-buat saja. Manusia sebenarnya aktif dan tidak pasif dalam menghasilkan pengetahuannya. Dari kemampuan menghasilkan putusan terbentuklah gramatika dan logika. Jadi, bagi mereka aktifitas dan kehendak itu penting bagi pengetahuan, lebih dari sekedar sensasi-sensasi. Dari kemampuan menghendaki dan merasakan lahirlah etika. Kaum ideolog ini lalu mempengaruhi pemikiran Maine de Biran (1766-1824). Filsuf ini juga menekankan metode introspeksi. Dia mengganti diktum Cartesian “Saya berpikir, maka ada” menjadi “Saya merasa, maka ada”.

Ide-Ide Sosialistis dan Re-Organisasi Sosial
Ada kelompok intelektual lain yang juga mendukung Revolusi. Jika kaum ideolog mendukung dengan gagasan-gagasan yang “metafisis”, kelompok ini ingin memberi saran praktis untuk pembaruan masyarakat. Mereka disebut “kaum sosialis”. Menurut mereka ini, Revolusi sudah sukses menghasilkan kebebasan (liberte), namun persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) harus diwujudkan melalui teori sosial. Mereka adalah Fourier, Saint-Simon dan Proudhon.

Francois Marie Charles Fourier (1772-1837) mengikuti Rousseau dengan pandangannya bahwa kebudayaan borjuis adalah cacat kemanusiaan, karena di dalamnya berkuasa egoisme dan kepentingan diri yang akan menghancurkan masyarakt. Masyarakat borjuis diciptakan dari represi dan nafsu, sehingga juga melenyapkan dua nafsu penting untuk kohesi sosial; cinta dan kekeluargaan. Akibatnya, harmoni masyarakat terancam runtuh. Saran yang diajukan Fourier adalah reorganisasi masyarakat yang memungkinkan penyaluran nafsu-nafsu sosial. Dia lalu memberi contoh organisasi kelompok masyarakat yang disebut “phalanx”. Yang diutopikan dengan “phalanx” disini adalah sebuah kelompok dengan anggota antara 1500-2000 orang dengan berbagai kemampuan. Dalam kelompok ini setiap individu bebas memilih pekerjaan yang disukainya atau meninggalkan yang tak disukainya. Di dalamnya ada kompetisi, tapi harmoni tetap dominan, sehingga tak akan ada perang. Pandangan ini adalah utopianisme.

Claude-Henri de Saint-Simon (1760-1825) berpendapat bahwa filsafat Pencerahan abad ke-18 sudah menghancurkan sistem religius dan feodalisme. Karena itu filsafat abad ke-19 harus menciptakan sebuah sistem integrasi baru yang cocok dengan masyarakat ilmiah dan industrial. Ide pentingnya di sini adalah ‘reorganisasi’ masyarakat menurut kaidah-kaidah ilmiah yang sudah disuburkan oleh Pencerahan. Menurutnya, ilmu pengetahuanlah yang menghancurkan kekuasaan Gereja dan menghasilkan sekularisasi, maka untuk reorganisasi sosial ilmu-ilmu alam harus diperluas ke bidang-bidang sosial kemanusiaan. Dia lalu mengusulkan sebuah ilmu baru, yaitu “fisiologi sosial”, sebuah perluasan dari fisika Newton pada masyarakat. Perluasan ini menurutnya, akan menyelesaikan transisi dari sistem integrasi intelektual tradisional ke sistem integrasi ilmiah modern. Meskipun masyarakat abad ke-19 berada dalam situasi transisi, Saint-Simon optimis bahwa masyarakat industri akan menjadi sebuah masyarakat yang penuh kedamaian dan haroni asal diorganisasikan secara ilmiah.

Meskipun mendukung Revolusi, sikap Fourier dan Saint-Simon sebenarnya senada dengan kaum Tradisionalis. Kedua pihak sama-sama mengusulkan sebuah reorganisasi sosial, hanya bentuk integrasinya berbeda: kaum Tradisionalis kembali pada institusi-institusi tradisional, dan kedua sosialis ini memandang ke depan ke institusi-institusi masyarakat industrial. Kecenderungan untuk menciptakan integrasi baru ditolak oleh Piere-Joseph Proudhon (1809-1865), sehingga dia dikenal sebagai “anarkis”. Dia menolak sebuah organisasi sosial dengan pemerintahan sentral. Peranan negara harus dihapus dalam ekonomi. Dalam bukunya System of Economics Contradictions, dia menegaskan hak milik sebagai “pencurian” yang secara spontan menciptakan masyarakat, tapi sekaligus juga dapat membentengi masyarakat dari Negara. Hak milik melindungi otonomi dan kesamaan. Menurutnya, Revolusi berhasil menciptakan kebebasan politis, namun gagal memberi kebebasan ekonomis. Karena itu sesuadah Revolusi, organisasi politik harus dialihkan ke organisasi ekonomis. Organisasi ekonomis itu tidak dilakukan oleh Negara, melainkan melalui kontrak-kontrak bebas oleh individu-individu swasta. Istilah ‘anarki’ baginya lalu dimengerti sebagai penghapusan peranan Negara dalam ekonomi. Dia membayangkan masyarakat dapat menyelaraskan kepentingan individu dan kepentingan umum dan harmoni itu tidak perlu dijaga oleh Negara, sebab masyarakat industri sendiri akan memeliharanya dengan kontrak-kontrak bebas.

Marx kemudian hari menilai Proudhon dan kaum sosialis Prancis sebagai “utopis”. Meski demikian, pemikiran mereka, khususnya Saint-Simon, mempersiapkan kelahiran sebuah aliran penting yang dirintis oleh Comte, yaitu positivisme.

Bapak Positivisme: Auguste Comte (1789-1857)
Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog, tapi juga Hume dan Condorcet. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826, Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Untuk selanjutnya, dia juga tak pernah menduduki jabatan resmi di kampus. Dia juga sempat sakit keras karena kerja keras, dan perkawinannya gagal. Bahkan dia sempat mencoba bunuh diri, tapi gagal. Adikaryanya yang paling termasyhur adalah Cours de Philosophie Positive dalam enam jilid. Dalam tulisan-tulisannya dia mengusahakan sebuah sintesis segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivisme, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab pada tahun 1857 dia meninggal dunia. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang didirikannya, Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus positivisme, yakni imam agung kemanusiaan.

Istilah Positivisme
Istilah “positivisme” diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “ positif diartikannya sebagai “teori yang bertujuan untuk ‘penyusunan fakta-fakta yang teramati’ ”. dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika disini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, Immanuel Kant masih menerima adanya “das Ding an sich”, obyek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.

Fakta dimengerti sebagai “fenomena yang dapat diamati”, maka sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme. Akan tetapi, sementara empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, positivisme menolaknya sama sekali. Yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam Pencerahan Prancis.

Perkembangan Sejarah Manusia Melalui Tiga Tahap
Sejak abad ke-17, dan meruncing pada abad ke-18, perkembangan ilmu-ilmu alam dengan model fisika Newton mempengaruhi pemikiran filosofis. Di atas sudah kita singgung bahwa kehancuran tatanan feodal dan Gereja tradisional, dan juga sistem metafisika, membuat para pemikir abad ke-19 cenderung menemukan sistem integrasi baru. Salah satu caranya adalah membuat sebuah rekonstruksi historis tentang sistem pengetahuan manusia melalui tahap-tahap sehingga secara reflektif jelas kesatuannya dalam setiap tahap. Asumsi pokoknya adalah bahwa perkembangan pengetahuan, seperti yang tampil dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, berjalan progresif, niscaya, dan linear. Filsuf Prancis abad ke-18 Condercet dan Turgot, sudah mencoba rekonstruksi macam itu, dan di abad ke-19, Saint-Simon juga membuat. Rekonstruksi macam itu menemukan bentuknya yang paling komprehensif dalam filsafat Comte.

Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif”. Ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, memalui masa remaja, ke masa dewasa. Baiklah kita ikuti tahap demi tahap.

Dalam tahap teologis, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut dewa atau Allah, dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Zaman ini lalu dibagi menjadi tiga sub-bagian. Pada sub-tahap yang paling primitif dan kekanak-kanakan, yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa, berkehendak, berhasrat. Pada tahap berikutnya, politeisme, kekuatan-kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Akhirnya, pada tahap monoteisme, dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang disebut Allah.

Dalam tahap metafisis, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya: konsep “ether”, “causa”, dst. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-konsep abstrak mengenai Alam secara keseluruhan. Tidak ada lagi Allah dan dewa-dewa; yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.

Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif. Pada zaman ini umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang faktual yang sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum, misalnya hukum gravitasi. Baru pada tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, tapi juga bersifat pasti dan berguna.

Comte juga mencoba menghubungkan tahap-tahap mental tersebut dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya dengan absolutisme, misalnya otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap metafisis, absolutisme raja dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak abstrak rakyat dan hukum. Akhirnya, pada tahap positif, organisasi masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona, dan kekuasaan elite intelektual muncul. Mereka ini menduduki peran organisator sosial, dan bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat industri.

Rekonstruksi historis Comte ini di kemudian hari mulai ditanggapi secara kritis. Kebanyakan kritikus mempersoalkan kenetralan rekonstruksi itu. Comte memang mahir dalam menafsirkan sejarah Eropa dari abad ke abad dengan sebuah pretensi untuk menjadi objektif. Akan tetapi, kalau diperhatikan lebih jauh akan jelas bahwa dia membaca sejarah Eropa dari sudut pandang tertentu, yaitu sudut pandang positivistis. Pertama, dia menilai sejarah masa lalu dengan kriteria pengetahuan ilmiah yang baginya adalah satu-satunya kebenaran yang dituju segala bentuk pengetahuan. Kedua, seperti Hegel, dia juga ingin memandang filsafat positif sebagai tujuan sejarah, sehingga dia tidak siap menerima kemungkinan adanya tahap post-positivisme. Demikianlah di samping munculnya neo positivisme Lingkungan Wina, banyak filsuf abad ke-20 mengambil sikap kritis terhadap positivisme.

Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Sudah kita ikuti bagaimana Comte melukiskan kemajuan pengetahuan manusia. Kemajuan itu bagaimanapun harus ditunjukkan pada perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan konkret. Karena itu Comte juga berusaha mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang ada. Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan faktual, dan karena kenyataan faktual itu berbeda-beda, harus ada perbedaaan sudut pandang dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan. Untuk menetapkan ilmu-ilmu khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang bersifat fundamental, artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan. Dalam adikaryanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu fundamental, yakni: matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (atau sosiologi).

Keenam ilmu dasar itu diurutkan sedemikian rupa sehingga mulai dari yang paling abstrak ke yang paling konkret, yang lebih , kemudian tergantung pada yang terdahulu. Misalnya, matematika lebih abstrak dari astronomi, dan astronomi tergantung pada matematika. Fisiologi dan biologi menyelidiki hukum-hukum umum yang mengatur makhluk hidup, dan keduanya tergantung pada kimia yang menyelidiki perubahan zat, tapi juga lebih abstrak daripada sosiologi dan diandaikan oleh sosiologi. Sebagai ilmu pengetahuan terakhir, menurut Comte, sosiologi baru berkembang sesudah ilmu-ilmu lain menjadi matang. Sebaliknya sebagai pangkal, matematika bagi Comte adalah model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi baru dalam sosiologi, menurut Comte, ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya, yakni: secara penuh memakai metode ilmiah untuk menyelidiki fakta yang paling konkret, yakni: perilaku sosial manusia. Dalam hal ini dia mengklaim dirinya sebagai orang yang membawa ilmu pengetahuan ke tahap positifnya dalam sosiologi (istilah ‘sosiologi’ ini dari Comte).

Dalam hierarki ilmu-ilmu di atas kita tidak melihat psikologi, dan etika. Dalam anggapannya, psikologi yang ilmiah itu mustahil, sebab psikologi adalah refleksi manusia atas rohnya sendiri, dan roh ini bukan fakta positif, melainkan pengalaman subjektif. Pada zaman Comte psikologi lebih dipahami sebagai psikologi introspektif. Dia belum melihat perkembangan psikologi menjadi psikologi eksperimental. Lalu, bagaimana dengan etika? Etika dalam arti ilmu normatif tentang apa yang seharusnya ada jelas melampaui yang faktual. Dalam arti ini etika tidak bisa masuk dalam hierarkinya. Akan tetapi, Comte lalu memperlakukan etika sebagai ilmu tambahan untuk merumuskan hukum-hukum yang memungkinkan kita meramalkan dan merencanakan susunan sosial. Dalam arti ini, etika menjadi tambahan untuk sosiologi.

Sosiologi Sebagai Titik Kulminasi Perkembangan Ilmiah
Sudah disinggung bahwa sosiologi adalah puncak perkembangan ilmu. Pernyataan ini mengandung dua arti. Secara historis, sosiologi adalah ilmu pengetahuan terakhir yang muncul. Karena muncul dalam tahap positif, sosiologi ini sudah bersih dari macam-macam kepercayaan teologis dan filosofis. Dia menjadi ilmu otonom yang paling matang dalam menjelaskan realitas. Secara metodologis, sosiologi juga berada di puncak, sebab ia menyelidiki manusia dalam kehidupan sosialnya beserta aneka kebutuhannya. Artinya, segala pendekatan ilmiah mengabdi sosiologi untuk menjelaskan objeknya. Dengan anggapan ini, Comte sama sekali tidak memaksudkan bahwa ilmu-ilmu lain lebur dalam sosiologi, melainkan bahwa sosiologi dapat mengorganisasikan mereka untuk berfungsi menjelaskan objek kajiannya.

Selanjutnya Comte membagi sosiologi menjadi dua, yaitu: statika sosial dan dinamika sosial. Masyarakat adalah kenyataan yang tertata tetapi juga yang berubah. Statika sosial mempelajari tatanan sosial itu dengan segala hukum yang mengaturnya. Misalnya soal pembagian kerja, koordinasi kepentingan umum, solidaritas sosial. Dinamika sosial mempelajari huku-hukum perubahan dan kemajuan sosial. Bagian ini erat kaitannya dengan statika sosial, sebab perubahan tanpa tatanan melahirkan anarki, dan tatanan tanpa perubahan adalah stagnasi. Kemajuan, bagi Comte, melekat pada tatanan sosial. Soalnya sekarang bagaimana memprediksi perubahan. Dinamika sosial berusaha menemukan jawabannya. Dengan demikian, buat Comte, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang memiliki ‘maksud praktis’. Maksudnya, dengan mengetahui tatanan (statika sosial), sosiologi dapat mengarahkan perkembangan masyarakat ke sebuah susunan yang lebih baik (dinamika sosial). Termasyhur semboyan Comte dalam hal ini: “Voir pour prevoir” (Melihat untuk meramalkan). Dengan kata lain, ide tentang ‘rekayasa sosial’ sudah terkandung dalam filsafatnya, dan ini erat kaitannya dengan tema re-organisasi sosial masyarakat industri yang sudah muncul dalam pikiran Saint-Simon.

Agama Kemanusiaan atau Agama Positivitas
Filsafat positif Comte pada akhirnya memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat industri diorganisasikan. Di atas sudah disinggung bahwa menurut Comte, para organisator dalam masyarakat industri adalah elite intelektual, yakni para filsuf positivistis dan para ilmuwan. Mereka ini dianggapnya sebagai pemilik pengetahuan sejati. Di sini jelas bahwa Comte tidak mendukung demokrasi. Massa-rakyat pada dasarnya tidak tahu apa-apa, maka kehendak mereka didasari ketidaktahuan itu. Bahkan Comte melihat manfaat dalam sistem paternalistis Gereja abad pertengahan. Perana elite rohaniwan Gereja itu dalam masyarakat positif digantikan oleh elite positivistis. Artinya, mereka ini memegang peranan absolut sebagai organisator dan pengontrol masyarakat. Dan memang Comte lalu melukiskan kedudukan elite baru ini dengan kosa kata agama Katolik Roma. Misalnya, elite itu dilukiskan sebagai imam-imam agung ilmu pengetahuan yang menggantikan posisi paus dan uskup dalam Gereja.

Masyarakat positif Comte pada gilirannya menjadi masyarakat agama baru, dan memang Comte sendiri terang-terangan ingin mendirikan agama baru yang disebutnya “agama kemanusiaan” atau “agama positivistis”. Dalam agama baru itu, moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian pada kemanusiaan. Allah abad pertengahan diganti dengan “le Grand Etre” (Ada Agung), yakni: Kemanusiaan (dengan huruf besar). Dia juga bahkan menyusun sebuah kalender untuk merayakan “para santo Kemanusiaan”, membayangkan tempat-tempat ibadah, patung-patung, sakramen-sakramen sosial, dst.; semua ini paralel dengan unsur-unsur ritual agama Katolik.

Metafisika Implisit dalam Positivisme
Dari filsafat Comte ini kita dapat menyaksikan sebuah gejala yang ganjil dari pikiran manusia. Pertama-tama kita menyaksikan bahwa metode positivistis memang ampuh untuk menghancurkan metafisika dan teologi tradisional. Dengan mengklaim bahwa pengetahuan yang benar itu hanya mengenai yang faktual, positivisme seolah-olah sudah menumbangkan metafisika. Kalau kita periksa lebih jauh akan kelihatan, klaim bahwa pengetahuan yang benar hanyalah mengenai yang faktual pada gilirannya akan menjadi radikal dalam klaim bahwa kenyataan itu adalah yang faktual. Radikalisasi macam ini memang tampak dalam rekonstruksi historis Comte, bahwa tahap positif merupakan tahap paling final untuk memahami kenyataan. Kenyataan adalah yang faktual. Dengan klaim implisit ini Comte sebenarnya melakukan sebuah ‘metafisika implisit mengenai yang faktual’. Klaim implisit itu lalu malah menjadi lebih jelas lagi dalam ajaran agama positivitasnya tentang “le Grand Etre”. Istilah bagi Allah baru ini adalah sebuah abstraksi atas manusia-manusia individual, lalu seluruh realitas. Kalau sedang tidak berteologi, sekurang-kurangnya dengan ajaran ini Comte diam-diam bermetafisika. Jadi, dia surut kembali ke tahap metafisika yang dikritiknya sendiri.

Bibliografi:
Copleston, Frederick, A History of Philosophy (Late Medieval and Renaissance Philosophy), Image Books, New York 1953

Helferich, Christoph, Geschicte der Philosophie. Von den Anfangen bis zur gegenwart und Oestliches Denken, DTV, Munchen, 1992

http://siddharthasutrisno.multiply.com/journal/item/18

http://www.abdulkadirsalam.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=140

POSITIVISME DAN PERKEMBANGANNYA

Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.

Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).

Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:

1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.

2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.

3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.

Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.

Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.

Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.

Auguste Comte dan Positivisme
Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis.

Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri.

Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sehjarah Condorcet).

Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu :

1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta
2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus meneurs dari syarat-syarat hidup
3. Metode ini berusaha ke arah kepastian
4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan.

Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan.
Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis

Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas positivisme logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut positivisme logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan.

Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif.

Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar secara mutlak.

Daftar Pustaka

Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Collins, James, A History of Modern European Philosophy, The Bruce Publishing Company, Milwaukee, 1954
Feibleman, James K., Understanding Philosophy :A Popular History of Ideas,Billing & Sons Ltd, London, 1986
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper, PT. Gramedia, Jakarta, 1989
Walsh,W.H., Philosophy of History : An Introduction, Harper Torchbooks, USA, 1967
Wuisman, J.J.J.M, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, jilid 1, Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta, 1996
http://staff.blog.ui.edu/arif51/2008/03/31/positivisme-dan-perkembangannya/

Selasa, 11 Januari 2011

SEKILAS TENTANG SEKULARISME

Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin) yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini. Sehingga, sungguh tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya. Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Oleh karena itu, sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri. Namun sebelum lebih jauh mengenal sekularisme secara terminologi dan epistemologinya, ada hal penting yang harus diketahui dan difahami terlebih dahulu sebagai “pintu masuk” untuk bisa menjawab pertanyaan yang mendasar, mengapa sekularisme itu “terlahir” ke dunia ini. Pintu masuk tersebut tiada lain adalah sejarah dan latar belakang lahirnya sekularisme.

Sejarah Sekularisme
Sejarah munculnya sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama kristen saat itu (abad 15 an). Di mana kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mereka mendapatkan sesuatu yang berharga, yaitu inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi kawah candradimuka lahirnya renaissance beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka menerjemahkan buku-buku filsafat yunani berbahasa arab dan karya-karya filosof Islam lainnya ke dalam bahasa latin.
Pada saat Eropa mengalami the dark age, kristen yang sudah melembaga (baca: Gereja) saat itu menguasai semua ranah kehidupan masyarakat Eropa. Politik, ekonomi, pendidikan dan semuanya tanpa terkecuali yang dikenal denga istilah ecclesiastical jurisdiction (hukum Gereja). Semua hal yang berasal dari luar kitab suci Injil dianggap salah. Filsafat yang notabene sebagai al-umm dari ilmu pengetahuan dengan ruang lingkupnya yang sangat luas, mereka sempitkan dan dikungkung hanya untuk menguatkan keyakinan mereka tentang ketuhanan yang trinitas itu. Mereka menggunakan filsafat hanya sekedar untuk menjadikan trinitas yang irasional menjadi kelihatan rasional. Dengan demikian secara otomatis filsafat yang seharusnya menjadi induk semang dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada menjadi mandul dan tidak berfungsi.
Padahal sebenarnya apa yang dilakukan kristen saat itu sudah bertentangan dengan falsafah kristen itu sendiri. Di mana dalam falsafah kristen mengenal adanya dua kerajaan. Kerajaan dunia dan kerajaan langit (baca: kerajaan tuhan). Manusia hidup di dunia ini hanya sekedar menjalani hukuman atas dosa warisan nenek moyang manusia, Adam. Sehingga kerajaan langit adalah satu-satunya tujuan manusia dengan cara membebaskan diri dari segala dosa. Sampai akhirnya tuhan sendiri yang turun/menurunkan anaknya dan mengorbankannya sebagai penebus dosa seluruh manusia. Maka sesuai dengan sabda Yesus sendiri yang dikisahkan Injil, “Berikan kepada kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan juga kepada tuhan apa yang menjadi haknya”. Sabda ini secara gamblang menyatakan bahwa urusan kehidupan dunia diatur oleh penguasa negara.
Tetapi pada tatanan praktis selanjutnya teori “two swords” yang menjadi bagian dari falsafah agama kristen itu dilanggar, dengan menjadikannya “one sword” (satu kekuasaan saja, kekuasaan kristen, ecclesiastical jurisdiction). Dua sisi ruh (spiritual) dan materi (keduniaan) yang dimiliki manusia yang mana ruh dikuasai/diperintah oleh kekuasaan kristen (baca: Gereja) dan materi diatur oleh kekuasaan raja/penguasa negara, dijadikan satu yaitu sisi ruh dan materi manusia diatur oleh kekuasaan kristen saja. Padahal kristen itu sendiri adalah ajaran ruhi an sich dan tidak memiliki ajaran materi (bagaimana mengatur urusan manusia dalam sisi materinya seperti syari’ah di dalam Islam). Tentu hal tersebut mengakibatkan “kekacauan” pada tatanan kehidupan manusia selanjutnya. Bagaimana tidak, sisi manusia yang bersifat materi yang identik dengan rasionalitas, immanent, profan harus diatur dan diperintah oleh kekuasaan yang bersifat ruhi an sich yang identik dengan irasionalitas, permanent, sakral. Yang pada akhirnya kekacauan falsafah inilah yang menenggelamkan masyarakat Eropa ke dalam jurang the dark age berabad-abad lamanya.
Ilmu pengetahuan yang menopang majunya sebuah peradaban malah dimusuhi. Ketika ada penemuan baru yang dianggap bertentangan dengan isi injil dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus ditebus dengan nyawa. Sebagaimana yaang dialami Copernicus yang menyatakan teori heliosentrisnya yang notabene bertentangan dengan injil yang mengemukan teori geosentris.
Sesuai dengan teori arus air, jika ia ditahan maka lama kelamaan akan menjadi tenaga yang begitu dahsyat untuk mengahancurkan penahannya. Begitu juga yang terjadi di Eropa pada abad 15 dengan apa yang disebut renaissance sebagai lambang dari pembebasan masyarakat Eropa dari kungkungan kristen. Gerakan renaissance ini mulai digerakkan di berbagai lini, seni, gerakan pembaruan keagamaan yang melahirkan kristen protestan, humanisme dan penemuan sains. Yang selanjutnya diteruskan dengan masa enlightenment pada abad ke-18 satu abad setelah lahirnya aliran Filsafat Moderen pada abad ke-17.

Tirani Gereja
Kristen—sebagaimana yang kita ketahui—merupakan agama yang cinta damai, welas asih dan agama cinta kasih. Ini bisa dilihat dari perkataan Yesus yang memerintahkan murid-muridnya untuk memberikan pipi kanan jika dipukul pipi yang kiri. Namun, pada kenyataannya Gereja sebagai kristen yang melembaga justru menjadi tirani bagi bangsa Eropa pada abad pertengahan, yang membuat Eropa terpuruk selama berabad-abad dalam masa yang disebut the dark age. Maka timbulah pertanyaan, apa sebenarnya yang membuat Gereja menjadi tirani di Eropa saat itu.
Hal tersebut sebenarnya kembali kepada masa-masa ketika kristen baru lahir atau semenjak wafatnya Yesus di tiang salib—yang setelah tiga hari bangkit kembali, menurut keyakinan mereka. Pada masa-masa awal lahirnya kristen, umat kristen harus terus bersembunyi (baca: menyembunyikan iman mereka) dari pemerintahan Romawi. Terutama para murid Yesus yang terus menyebarkan ajaran guru mereka dengan sembunyi-sembunyi. Dan pada periode yang penuh tekanan inilah injil ditulis dengan gaya bahasa mereka (baca: murid-murid Yesus, baik yang langsung ataupun tidak) masing-masing. Sehingga bercampurlah di sana antara firman tuhan dan persepsi mereka sendiri tentang ajaran Yesus.
Kristen terus menyebar dengan cara seperti itu, di mana injil hanya dikuasai oleh para murid Yesus saja dan terus turun temurun kepada murid-murid mereka. Sehingga akhirnya injil hanya boleh dibaca oleh para pemuka agama kristen saja. Orang biasa tidak diperbolehkan untuk langsung membaca injil dan memahaminya sendiri. Karena, di samping bahasa asli injil itu sendiri yang tidak bisa dipahami oleh orang biasa, ditambah lagi dengan kondisi saat itu yang masih di bawah tekanan Romawi, sehingga para penyebar kristen harus berhati-hati dalam mengajarkan ajaran Yesus tersebut.
Monopoli pemahaman dan penafsiran injil itu oleh para pemuka kristen (rijâlu ad-dîn) terus berlaku sampai akhirnya kristen mejadi agama resmi Romawi. Justru semenjak itu pula kristen melembaga menjadi institusi Gereja. Monopoli kitab suci semakin menjadi. Yang mana monopoli kitab suci tersebut berbuah kepada monopoli keberagamaan kristen. Monopoli itu pula menjadikan umat kristen sangat bergantung kepada institusi Gereja. Dan justru ketergantungan itu malah menambah keangkuhan para pemuka kristen sehingga menjadi tirani di Eropa.
Kekuasaan Gereja saat itu tidak hanya terbatas dalam bidang agama saja, lebih dari itu seluruh aspek kehidupan dikuasai seluruhnya oleh Gereja.
Aspek keagamaan
Dalam aspek keagamaan, kristen setelah menjadi sebuah agama resmi yang formal (baca: melembaga) melalui counsil Nicea pada tahun 325 M. Di mana secara resmi para pemuka kristen—terutama Gereja barat—menobatkan Yesus sebagai tuhan anak. Dan siapa saja yang melawan keputusan counsil tersebut akan mendapatkan hukuman yang berat selain dicap sebagai seorang heretic. Melalui counsil-counsil yang selanjutnya dilakukan secara rutin untuk membahas permasalahan akidah dan syari’ah yang menurut mereka perlu disempurnakan itulah, Gereja memonopoli keagamaan umat kristen. Melalui counsil-counsil itu pula Gereja dengan mudah mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Contohnya saja tentang wajibnya khitan dirubah menjadi haram, daging babi dan bangkai yang asalnya haram berubah menjadi halal, menyembah patung yang asalnya syirik menjadi pengungkapan rasa ketakwaan kepada tuhan dan lain sebagainya.
Ajaran Yesus (baca: Nabi Isa) yang asalnya berasakan tauhid berubah 180 derajat menjadi ajaran yang tidak ada bedanya dengan agama Romawi kuno, paganisme.
Seseorang tidak akan bisa berkomunikasi dengan tuhan kecuali melalui lembaga Gereja (para pendeta). Itulah anggapan mereka sehingga membuat mereka dianggap sebagai orang-orang yang suci dan tidak akan pernah salah. Anggapan itulah yang terus melahirkan sikap angkuh dan tirani para pendeta dan penguasa Gereja, selain adanya ketergantungan yang sangat dari umat kristen kepada lembaga Gereja dalam menjalankan kegiatan keberagamaan mereka.
Aspek politik
Ketika kehidupan keagamaan masyarakat berhasil dikuasai, maka secara otomatis kekuasaan politik pun dikuasai pula. Raja-raja Eropa tidak bisa dengan sembarangan memberikan keputusan ataupun kebijakannya tanpa meminta pertimbangan Gereja. Saking berkuasanya Gereja, seorang uskup mempunyai wewenang untuk menurunkan seorang raja dari tahtanya. Atau minimalnya memboikot kekuasaan mereka, sehingga mereka menjadi raja tanpa kekuasaan.
Father Nicola pertama mengatakan, bahwa anak tuhan (Yesus) telah membangun Gereja dan menjadikan Petrus (muridnya) sebagai kepala Gereja tersebut. Dan para uskup Roma telah mewarisi kekuasaan tersebut terus menerus secara turun-temurun. Seorang uskup adalah wakil Allah di muka bumi ini, oleh karena itulah ia harus mempunyai kekuasaan yang mutlak atas para umat nashrani baik mereka itu sebagai raja atau pun rakyat biasa.
Father Grigorie ketujuh mengatakan, bahwa Gereja adalah undang-undang tuhan oleh karena itu sudah menjadi hak dan kewajiban seorang father untuk mencopot kekuasaan seorang raja yang tidak taat terhadap ajaran kristen, serta mengangkat seseorang menjadi raja sesuai dengan tuntutan keadaan.
Aspek ekonomi
Kristen adalah agama yang banyak mengajarkan zuhud terhadap keduniaan. Namun anehnya para uskup penguasa Gereja sungguh terbalik keadaannya dengan yang seharusnya. Ketika mereka seolah mengharamkan bagi para pengikutnya untuk mencari harta duniawi, tetapi justru mereka sendiri yang meraup harta sebanyak-banyaknya melalui denda untuk menebus dosa. Di mana para pengikut kristen bisa terampuni dosanya jika telah mendapatkan pengampunan dari pendeta dengan cara membayar denda berupa uang.
Ada beberapa fenomena yang menggambarkan tentang tirani Gereja dalam aspek ekonomi ini:
1. Kepemilikan tanah dengan sistem feodalisme
Will Durant mengatakan bahwa Gereja saat itu (midle age) merupakan tuan tanah terbesar di Eropa. Misalnya saja Biarawan Velda yang memiliki 15000 istana kecil, seorang saint Jul memiliki 2000 orang budak pekerja. Ada juga salah seorang pemuka Gereja yang memiliki 20.000 orang budak. Para raja dan para uskup saling membantu dalam menjaga kepemilikan dan kekuasaan mereka. Mereka saling mengikat loyalitas satu sama lain. Demikianlah Gereja menjadi bagian dari sistem feodalisme yang ada saat itu.
2. Wakaf tanah
Gereja memiliki sebagain tanah yang ada di daratan Eropa sebagai wakaf dengan dalih untuk kebutuhan pembangunan Gereja dan dan mempersiapkan perang salib. Seorang reformis kristen, Weiklaf mengatakan bahwa Gereja menguasai tanah-tanah di Inggris dan memungut pajak-pajak/upeti-upeti dari tanah-tanah yang bukan milik Gereja
3. Sepersepuluh dari penghasilan atau panen
Wales mengatakan bahwa Gereja selain memungut pajak juga memungut upeti sebesar sepersepuluh dari penghasilan masyarakat. Upeti tersebut bukan hanya sekedar sedekah dari para pengikut kristen tetapi juga merupakan hak Gereja yang menjadi kewajiban atas mereka.
4. Pajak tahun pertama
Selain wakaf, dan upeti sepersepuluh dari pendapatan, Gereja juga memungut pajak baru yang disebut pajak tahun pertama. Pajak ini pertama kali didakan oleh Father Hana ke-22. dalih Gereja memungut pajak tersebut adalah untuk membiayai perang salib dan perayaan-perayaan suci.
5. Hadiah
Para pemuka Gereja banyak menerima hadiah dari para tuan tanah dan orang-orang kaya. Mereka banyak memberi harta kepada pihak Gereja dikarenakan takut Gereja tidak akan memberikan ampunan ketika mereka akan mati.
6. Kerja secara Cuma-Cuma
Ketamakan Gereja tidak hanya sebatas memiliki ribuan budak pekerja saja, mereka pun ternyata masih meminta masyarakat untuk bekerja secara Cuma-Cuma untuk Gereja. Di antaranya untuk mengurusi ladang-ladang milik Gereja, terutama untuk membangun Gereja, dan pekerjaan lainnya tanpa dibayar sepeser pun. Biasanya Gereja mewajibkan satu hari dalam seminggu untuk masyarakat aga rbekerja untuk Gereja.

Pergumulan antara Gereja dan sains
Ada dua hal setidaknya yang dilakukan Gereja sehingga menghasilkan peperangan yang tidak pernah berakhir antara Gereja dan sains. Pertama, Gereja telah banyak melakukan penyimpangan terhadap wahyu yang sebenarnya pada kitab suci Injil. Kedua, mereka memaksakan kehendak untuk berkecimpung dalam tatanan yang bukan bidangnya.
Dari kesalahan pertama yang mereka lakukan menghasilkan banyaknya khurafat dan takhayul yang menghiasi ajaran agama kristen. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara ajaran yang berupa wahyu sesungguhnya dengan ajaran yang hanya khurafat dan takhayul belaka.
Sedangkan dari kesalahan kedua yang mereka perbuat adalah adanya monopoli kebenaran yang mereka klaim sediri dan menolak yang selain dari itu. Gereja secara paksa ingin menyebarkan faham atau konsep yang mereka anut kepada akal seluruh masyarakat ketika itu. Atau dengan kata lain mereka ingin memaksakan diri mengalahkan sains yang berlandaskan kepada eksperimen dan observasi secara kongkrit dengan takhayul dan khurafat yang mereka yakini kebenarannya sebagai ajaran kitab suci.
Britain mengatakan, bahwa pada abad pertengahan para ilmuwan terdiri dari orang-orang yang masih bagian dari institusi Gereja. Di mana Gereja sudah berusaha untuk mengintervensi setiap ruang gerak manusia dan mengarahkannya sesuai kehendaknya, terutama ruang gerak akalnya; berupa pemikiran dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian para ilmuwan Gereja tersebut berusah untuk memonopoli kehidupan pemikiran saat itu. Gereja saat itu merupakan ceramah, surat kabar, percetakan, perpustakaan, sekolah, dan kuliah. Dan para ilmuwan Gereja maupun para pelajar kristen biasa yang senang menggeluti dunia filasafat, saat itu sangat dan banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani terutama filsafat Aristoteles dan Bathlemus. Mereka dengan sekuat tenaga berusaha untuk mensikretiskan keyakinan agama mereka dengan pemikiran-pemikiran filsafat tersebut. Sehingga lahirlah dari gabungan keduanya filsafat kristen, yaitu percampuran antara filsafat Yunani dan ajaran yang terdapat dalam perjanjian lama dan perjanjian baru, juga perkataan para saint terdahulu. Dalam frame filsafat mereka itulah, para filosof kristen memiliki teori-teori tersendiri tentang alam semesta, geografi dan sejarah. Gereja berpendapat dengan filsafat kristen yang mereka racik itu mereka bisa mempertahankan diri dari para pengkritik ajaran kristen. Teori-teori yang mereka hasilkan itu untuk kemudian dianggap sebagai bagian dari ajaran kristen yang terdapat dalam ajaran kitab suci.
Pada awal mulanya filsafat dan sains hanya dikenal di kalangan Gereja saja. Akan tetapi, lama kelamaan orang-orang Eropa menemukan apa yang nantinya menjadi benih-benih periode renaissance nantinya. Mereka menemukan sisa-sisa peninggalan umat Islam di pusat-pusat peradaban di Eropa; Andalus, Sicilia, dan Italia selatan, berupa ilmu pengetahuan. Mereka mengenal metodologi penelitian dan metodologi berpikir yang benar dari kaum muslimin di tempat-tempat tersebut. Sehingga akhirnya muncullah para ilmuwan yang bukan dari kalangan Gereja.
Sebut saja salah satu contohnya Copernicus. Ia menemukan teori heliosentris tentang tata letak tata surya kita, bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi oleh planet-planet, seperti bumi salah satunya. Tentu itu bertentangan dengan teori Gereja yang dianggap sebagai keyakinan bagian dari ajaran kristen, bahwa bumilah yang menjadi pusat tata surya dengan alasan karena di bumilah tempat anak tuhan turun dan mengorbankan nyawanya sebagai tebusan atas dosa-dosa manusia, di mana matahari dan benda-benda langit lainnya beredar mengitari bumi. Karena itulah, Gereja menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena telah berani menentang keyakinan kristen, ajaran tuhan.
Beberapa lama setelah itu, muncul Galileo Galilei yang memunculkan lagi teori heliosentri. Bahwa bumi bergerak mengitari matahari. Dan ini bertentangan dengan apa yang disebutkn di antaranya di dalam Perjanjian Lama, Psalm 104:5, “[the LORD] set the earth on its foundations; it can never be moved.” Galileo pun dijatuhi hukuman yang sama, hukuman mati. Namun, berbeda dengan Copernicus, Galileo ruju’ dari pendapatnya tersebut dan akhirnya dibebaskan.

Revolusi Perancis
Di atas sudah disebutkan bahwa Eropa saat itu bersistemkan Feodalisme yang membuat rakyat Eropa yang sebagian besar petani menjadi sengsara. Tentu sudah menjadi sunnatullah, bahwa orang-orang yang tersakiti lambat laun akan menyusun kekuatan untuk melepaskan diri dari pihak yang telah menyakitinya secara terus menerus.
Bangsa Eropa justru baru menyadari akan kelemahan dan kebobrokan sistem Feodalisme yang mereka pakai, seteleh bergesekan secara langsung dengan kaum muslimin di pusat peradaban Islam di Eropa dan ketika di perang salib. Sehingga tidak aneh jika revolusi pertama melawan sistem feodalisme terjadi di Perancis pada abad keempat belas di tangan para petani, karena secara geografis Perancis dekat dengan Andalusia sebagai bekas pusat peradaban Islam di samping jauhnya Perancis dari pusat kristen di Roma.
Wales mengatakan bahwa revolusi yang dilakukan melawan Gereja bukanlah penentangan mereka terhadap kristen, melainkan perlawanan mereka terhadap kesewenang-wenangnan pihak Gereja terhadap rakyat kecil yang suka menindas mereka seenaknya dengan dalih agama. Mereka bukannya ingin terlepas dari pengawasan agama, justru yang mereka inginkan uskup sebagai pengayom umat kristen bisa menjalankan tugasnya dengan sesungguhnya sebagai pemimpin umat kristen dan bukannya menjadi para pengumpul harta kekayaan.
Namun usaha pertama tersebut menemui kegagalan. Akan tetapi walaupun demikian upaya itu ternyata menjadi benih bagi gerakan-gerakan revolusi selanjutnya dan menyebar ke seluruh daratan Eropa. Dan akhirnya pada abad ke 18 perjuangan rakyat Perancis melawan para feodal berhasil memetik buahnya. Sehingga lahirlah negera pertama di Eropa yang berbentuk Republik yaitu sebuah bentuk negara yang tidak berdasarkan kepada ajaran agama (baca: kristen). Negara yang mengatasnamakan kerakyatan dan bukannya ketuhanan, seperti sebelumnya.

Teori Evolusi
Setelah terjadinya revolusi Perancis, penemuan Newton tentang gaya tarik bumi, munculnya teori mekanisme yang merubah cara pandang terhadap alam semesta dan tuhan membuat masyarakat Eropa mempunyai pandangan yang berubah terhadap kristen. Mereka mulai menaruh keraguan terhadap kristen sebagai ajaran yang benar. Namun walaupun demikian kristen masih tetap memiliki pamornya sebagai agama bangsa Eropa kala itu.
Dalam kondisi Eropa yang seperti itu, muncullah Charles Darwin dengan teori evolusinya yang secara tersirat tapi pasti menolak adanya tuhan dan penciptaan. Mulai dari sinilah kristen digantikan perannya oleh agama naturalis yang diagung-agungkan oleh para filosof dan ilmuwan yang atheis.
Teori evolusi ini sebenarnya adalah jawaban dari pertanyaan yang belum terjawab setelah munculnya teori mekanisme, sebagai buah dari terori gravitasi yang ditemukan Newton. Teori mekanisme mengemukakan bahwa semua yang ada di alam semesta ini bergerak secara otomatis yang diikat oleh hukum sebab akibat. Sungguh bertentangan dengan kepercayaan kristen yang menolak hukum sebab akibat, semua yang terjadi di alam semesta ini adalah karena kuasa tuhan. Maka menurut teori mekanisme ini tuhan hanya bertugas menciptakan alam semesta ini dari tiada menjadi ada dan membiarkannya bergerak dengan sendirinya secara otomatis. Tuhan menurut teori ini bak seorang pembuat arloji yang setelah arloji itu terbentuk, ia berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan si pembuatnya. Teori mekanisme ini adalah sebagai penafsiran terhadap hukum alam yang berlaku bagi fenomena alam yang terjadi. Maka bagaimana dengan makhluk hidup.
Lahirnya teori evolusi ini merupakan teori yang menjadi hukum bagi perkembangan makhluk hidup yang berdasarkan kepada terori mekanisme di atas. Bahwa secara mekanisme lahirnya makhluk hidup yang beraneka ragam ini muncul dari satu makhluk yang bersel satu. Lalu kemudian lambat laun berubah menjadi makhluk yang bersel banyak. Lalu terus sedikit demi sedikit secara gradual menjadi makhluk yang lebih kompleks dari sebelumnya. Yang mana teori evolusi ini berdasarkan kepada teori seleksi alam, bahwa yang kuatlah yang akan terus hidup dan mengalami evolusi sehingga menjadi makhluk yang terkuat dan sempurna.
Dengan munculnya teori ini, otomatis peran tuhan kristen yang didefinisikan sebagai sosok yang pemarah—karena menghukum adam dan keturunannya hanya karena memakan buah larangan—dan kejam—karena mengorbankan anaknya sendiri untuk dijadikan tumbal dosa-dosa manusia—sudah bisa digantikan dengan nature. Bahwa, naturelah yang sudah berbaik hati menciptakan makhluk hidup, terlebih khusus manusia.
Dari teori ini, muncullah pengaruh-pengaruh sebagai berikut:
1. Hancurnya keyakinan terhadap agama, khususnya kristen
2. Menafikan adanya tujuan dan maksud dari penciptaan
3. Menganggap manusia tak ubahnya sama dengan binatang dan hanya terdiri dari materi.
4. Mutlaknya relativisme
Sebab-Sebab Lahirnya Sekularisme Dari Rahim Kristen Barat
Jika di atas merupakan sekilas tentang pembahasan mengenai sebab-sebab lahirnya sekularisme secara umum, maka di sini akan dibahas mengani sebab-sebab lahirnya sekularisme dari rahim kristen barat, secara khususnya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab lahirnya sekularisme dari rahim kristen barat. Diantaranya ialah:
Pertama, kristen barat berdasarkan kacamata Islam, sebenarnya adalah bukan lagi murni agama samawi. Dan penamaan kristen sendiri justru bukan lahir saat agama itu diturunkan kepada Nabi Isa (Yesus). Penamaan itu lahir setelahnya. Tidak seperti Islam yang penamaannya sudah terpatri dan terukir dalam kitab sucinya Al-Qur’an. Sehingga penamaan Islam itu sendiri ada sejak agama itu mulai ada.
Sejarah pun membuktikan, bahwa sepeninggal Nabi Isa as. ajaran yang beliau bawa sedikit demi sedikit mengalami perubahan (baik yang bersifat reduksi, adopsi, maupun asimilasi). Dan perubahan yang sangat mendasar terjadi ketika Paus pertama ada. Atas nama sebagai rasul yang diutus Yesus guna menyebarkan ajaran kristen ke seluruh dunia, dia merubah syari’ah seperti khitan, aqidah dengan trinitas dan juga melakukan sakralisasi politik yang tersurat dalam teori two swordsnya yang akhirnya menjadi one sword dengan alasan guna mengejewantahkan paradigma the kingdom of God. Sehingga karena kristen sudah bukan orijinal ajaran Tuhan lagi, maka tentu konsekuensinya sebagai ajaran budaya ia akan mengalami perubahan hatta dalam pokok ajarannya (dogma) sesuai dengan semangat zaman. Sampai akhirnya ajaran tersebut dianggap usang dan tidak perlu digunakan lagi. Sehingga di barat kristen sebagai agama hanya dianggap sebagai salah satu proses manusia (barat) dalam menemukan jati dirinya yang menurut mereka kini telah ditemukan. Dalam artian kristen sudah tidak diperlukan lagi oleh mereka. Dan ini sesui dengan teori evolusi manusia. Ketika masa middle age manusia masih dalam fase anak-anak yang memerlukan bimbingan dari “luar” (alam metafisis). Sedangkan pada masa moderen (dimulai dari masa renaissance) manusia dianggap telah mencapai fase kedewasaan dan kematangannya dalam berpikir sehingga tidak perlu lagi mendapatkan bimbingan dari “orang lain”. Akal manusia saat itu sudah dianggap dewasa dan tidak perlu lagi tuntunan tuhan (baca: agama) untuk hidup di dunia ini. Maka inilah mungkin yang menjadi semangat sebuah buku yang berjudul “Secularism is The Will of God”, bahwa sekularisme tiada lain merupakan suatu keniscayaan dan termasuk ke dalam sejarah manusia atau bisa dikatakan sebagai pembentuk dari sejarah itu sendiri.
Kedua, ketika kristen bergeesekan dengan budaya Romawi dan filsafatnya yang notabene berbaukan ajaran paganisme, secara lambat laun namun pasti kristen terpengaruh oleh ajaran paganisme tersebut. Filsafa-filsafat Yunani (ketika itu Yunani sudah dikuasai Romawi) pun ikut mempengaruhi pokok-pokok ajaran kristen. Hal tersebut bisa dilihat dari simbol-simbol yang digunakan. Dan sebenarnya filsafat Yunani itulah yang mengandung benih-benih sekuler di dalamnya. Sebagaimana yang kita ketahui setelah filsafat naturalisme menggeser mitologi di Yunani, saat itu Yunani sudah beroirentasikan kepada meterialisme. Dalam artian, sudah tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang bersifat supranatural dan metafisis. Terbukti dengan pemikiran-pemikiran para filosof saat itu yang memandang bahwa alam ini terbuat dari unsur-unsur materi seperti air sebagaimana yang dikatakan Thales, tanpa memandang bahwa ada kekuatan metafisis yang menciptakan alam semesta ini tanpa bahan sekalipun.
Maka, ketika kristen mengadopsi filsafat Ariostotelesianisme, alih-alih ingin menguatkan dogma kristen dengan filsafat yang terjadi malah berujung dengan sekularisasi dalam ajaran kristen tersebut. Bagaimana tidak, filsafat aristotelesianisme yang menjadi dasar filsafat materialisme tentu akan bertentangan dengan inti falsafah kristen yang bersifat imateri, ruhi an sich. Sehingga ketika masa renaissance tiba, filsafat Yunani menemukan jati diri asalnya yang lebih condong kepada materialisme sebagai ruh dari paganisme. Karena literatur-literatur kuno filsafat Yunani dihidupkan kembali apa adanya, dengan artian tanpa ada usaha untuk menjadikan filsafat sebagai alat legitimasi dogma sebagaimana yang dilakukan oleh kristen (baca: Gereja) pada masa-masa sebelumnya. Otomatis pemikiran-pemikiran yang bersifat nyeleneh pun hidup kembali saat itu, seperti pemikiran-pemikiran kaum Sofis yang menjadikan relativisme sebagai inti dari filsafat mereka. Yang mana relativisme ini jugalah yang menjadi salah satu inti dari epistemologi sekularisme.
Ketiga, karena dalam kristen ada teori two swords yang menyatakan bahwa adanya dua kekuasaan yaitu kekuasaan Tuhan yang diwakili oleh Gereja dan kekuasaan dunia yang diwakili oleh raja atau penguasa, dan hal ini adalah apa yang disabdakan sendiri oleh Yesus sebagaimana yang dikisahkan injil, ’’Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan”. Pada teori two swords inilah sebenarnya sudah mengandung benih-benih sekularisme. Karena ternyata sekularisme sebagai konsep yang berisikan memisahkan urusan agama dan dunia (negara) sudah—bisa dibilang—menjadi pokok ajaran kristen itu sendiri. Maka tidak aneh ketika ada theolog-theolog kristen yang setuju dengan sekularisme dengan alasan bahwa itu merupakan ajaran yang dinyatakan oleh injil itu sendiri.
Keempat, Kristen tidak mempunyai ajaran yang berbentuk syari’at. Karena Nabi Isa diutus oleh Allah untuk meluruskan syari’at Taurat yang telah diselewengkan dan bukan untuk membawa syari’at yang baru. Oleh sebab itu, di dalam injil lebih banyak berisikan ajaran akhlak dari pada ajaran aqidah atau syari’ah. Hal ini disadari oleh para penganut kristen beberapa abad sepeninggal Nabi Isa bahwa kristen tidak memiliki aturan yang baku yang mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Maka oleh sebeb itulah munculnya council-council umat kristen sedunia untuk membahas segala permasalahan-permasalahan yang muncul di antara mereka. Seperti Council Nicea, Konstantinopel dan sebagainya. Di sini semakin terlihat kristen tidak bisa menjadi ajaran tuhan yang seharusnya mampu menjadi solusi dari setiap permasalahan yang mengelilingi manusia setiap harinya. Sehingga masyarakat Eropa saat itu (abad ke-15, renaissance disusul dengan enlightenment) menganggap bahwa ilmu pengetahuanlah yang mampu membantu manusia untuk menyelesaikan segala problematika hidupnya dan sebaliknya mengangap agama tidak mempunyai kemampuan sebagai solusi problematika hidup.
Dari empat sebab itulah (diantaranya) kristen mempunyai potensi besar untuk melahirkan sekularisme.

Terminologi Sekularisme
Sebagaimana yang dibahas di atas bahwa sekularisme sering diartikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama atau dengan kata yang lain sekularisme sering diartikan sebagai sebuah ideologi politik. Padahal sekularisme sebenarnya mempunyai arti yang lebih dalam dan mengakar. Hal ini disadari oleh para pemikir Islam diantaranya :
a. Abdul Wahab Al-Masiri
Dia membagi sekularisme pada dua macam; pertama, sekularisme parsial (‘almaniyah juziyyah) dan sekularisme totalistik (‘almaniyah syamilah). Sekularisme parsial diartikan sebagai paham yang memisahkan antara negara dan agama, sebagai definisi sekularisme yang sering dipakai, padahal pemahaman ini hanyalah sebagian bentuk dari sekularisme yang seseungguhnya, yaitu sekularisme totalistik. Sedangkan yang dimaksud dengan sekularisme totalistik adalah melepaskan kehidupan ini dari nilai-nilai humanisme, moral dan agama. Inilah sekularisme yang sebenarnya yang berimplikasi sangat berbahaya kepada cara pandang manusia kepada kehidupan ini. Kehidupan ini hanya dianggap sebagai materi yang jauh dari hal-hal yang berbau metafisis dan spiritual. Yang nanti pada ujungnya akan menyeret kepada pemahaman atheisme dan agnotisisme.
Sedangkan sekularisme parsial, menurut Abdul Wahab Al-Masiri adalah suatu keharusan dan tidak bertentangan dengan Islam. Karena sekularisme parsial (atau lebih dikenal dengan istilah fashl al-din ‘an al-daulah) tidak lebih hanya sekedar membedakan mana yang menjadi urusan negara yang notabena bersifat duniawi dan urusan agama yang bersifat ukhrawi. Selain itu, karena pada tatanan praktisnya Rasulullah dan para sahabat sering mencontohkan masalah ini. Sebagai salah satu contoh yang digunakan argumen oleh Abdul Wahab Al-Masiri adalah ijtihad sahabat yang diusulkan kepada Rasulullah ketika perang Badar. Di dalam contoh tersebut—menurutnya—secara gamblang menjelaskan bahwa urusan yang bersifat dunawi seperti peperangan tidak memerlukan petunjuk wahyu tetapi cukup hanya dengan ijtihad manusia saja. Karenanya Abdul Wahab Al-Masiri bisa dikatakan setuju dengan konsep sekularisme Islam dalam arti yang sempit.
b. Jamal Al-Bana
Jamal Al-Bana pun membagi makna sekularisme kepada dua macam; pertama sekularisme sebagai sebuah konsep pemisahan antara agama dan negara yang disebut dengan sekularisme parsial (‘almaniyah juziyyah) persis seperti istilah yang dipakai oleh Abdul Wahab Al-Masiri. Sedangkan yang kedua, sekularisme yang diartikan sebagai konsep sakralisasi manusia dan menolak adanya Tuhan, mengakui kehidupan dunia ini saja dan menolak adanya akhirat. Tidak jauh berbeda dengan yang dipaparkan oleh Abdul Wahab Al-Masiri di atas sebagai arti dari sekularismne totalistik (‘almaniyah syamilah).
Demikian juga dengan Jamal Al-Bana ia setuju dengan konsep sekularisme Islam yang membedakan antara urusan yang menjadi garapan negara dan urusan yang menjadi garapan agama. Karena menurutnya secara potensial Islam itu sendiri sudah memiliki konsep sekularisme parsial (dalam artian mekanisme teknis) tersebut, seperti konsep kebebasan berpikir di dalam Islam, konsep bahwa Islam adalah agama dan umat, bukan agama dan negara, bahwa Islam adalah agama dan bukan lembaga agama, dan lain sebagainya yang pada intinya semuanya mengantarkan kepada legitimasi sekularisme Islam (‘almaniyatul Islam).
c. Sayyid Muhammad Naquib Al-Attas
Berdasarkan pembacaannya Al-Attas membedakan antara arti sekularisme dan sekularisasi. Sekularisasi didefinisikan sebagai pembebasan manusia pertama-tama dari agama dan kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya. Itu berarti terlepasnya dunia dari pengertian-pengertian religius, penemuan manusia akan kenyataan bahwa dunia ada di tanganya sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atas apa yang ia perbuat oleh tanganya sendiri, yang pada akhirnya hal tersebut menggiring kepada defatalisasi sejarah, bahwa sejarah tidak diciptakan oleh Tuhan melainkan perencanaan dan perbuatan manusia secara murni. Sekularisasi menyiratkan suatu proses historis dimana masyarakat dan budaya terbebas dari pengendalian religius dan pandangan metafisis yang tertutup. Sekularisasi dianggap sebagai perkembangan pembebasan yang mana hasil akhirnya adalah berupa relativisme historis. Sehingga sekularisasi dianggap sebagai proses pembentukan sejarah itu sendiri (menurut para sekularis). Dari sini bisa terlihat bahwa apa yang disebut sekularisasi adalah apa yang disebut dengan sekularisme totalistik sebegaimana istilah yang dipakai Abdul Wahab Al-Masiri.
Sedangkan sekularisme tidak jauh maknanya dengan sekularisasi hanya saja ia bersifat ideologi final artinya ia telah membentuk nilai-nilai sendiri yang bersifat sekularisme. Sedangkan sekularisasi tidak seperti itu, karena sekularisasi mengharuskan adanya dekonsekrasi nilai, sehingga tidak ada istilah nilai yang mutlak menurut sekularisasi. Berbeda dengan sekularisme yang pada akirnya memiliki nilai-niai sendiri yang bersifat sekularisme. Oleh karena itulah sekularisme dianggap sebagai sebuah ideologi negara.
Berbeda dengan dua pemikir Islam di atas. Al-Attas menganggap bahwa baik itu sekularisasi (sekularisme totalistik) maupun sekularisme (sekularisme parsial) sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena keduanya mengandung nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Islam. Hatta sekularisme persial sekalipun bukan hanya sekedar mekanisme teknis belaka, namun di dalamnya sekaligus mengandung nilai-nilai yang bersifat ideologis. Dan tentu Islam sebagai sebuah agama, peradaban dan bahkan kehidupan itu sendiri tidak bisa disandingkan atau malahan diganti dengan ideologi lain.
d. Muhammad Imarah
Tidak jauh berbeda dengan para pemikir di atas, dia pun membagi terminologi sekularisme menjadi dua bagian, yang dia membahasakannya dengan istilah dua fase munculnya sekularisme. Pertama sekularisme yang bersifat parsial hanya sebuah konsep yang membedakan antara negara dan agama, tanpa menghilangkan pengakuan para sekularis dalam terminlogi ini terhadap adanya Tuhan (baca: kebenaran agama). Ini adalah fase pertama munculnya sekularisme di barat. Kedua, sekularisme yang bersifat atheis materialis yang mengingingkan agar kehidupan ini terlepas dari keimanan terhadap agama. Untuk fase pertama bisa disamakan dengan istilah sekularisme parsial, sedangkan untuk fase yang kedua sama halnya dengan makna sekularisme totalistik.
Sama halnya dengan Al-Attas, Muhammad Imarah pun menolak sekularisme dalam bentuk apapun di dalam Islam termasuk sekularisme dalam artian sempit (faslu ad-din ‘ani al-daulah). Karena menurutnya Islam bukan hanya sekedar agama tapi Islam adalah sebuah peradaban karenanya Islam tidak perlu lagi mengadopsi nillai-nilai dari luar. Adapun yang beliau usulkan adalah proposionalisme di dalam Islam sehingga Islam tidak berubah menjadi sekularisme Islam juga tidak menjadi teokrasi Islam.

Ta’qib
Wacana tentang sekularisme Islam. Penulis berpendapat jika yang dimaksud dengan sekularisme Islam tidak lebih hanya sekedar mekanisme teknis agar Islam tidak terjebak ke dalam teokrasi Islam yang menyakralkan kekuasaan—sehingga sang penguasa dianggap sebagai “orang suci” yang harus selalu ditaati—maka sebenanrnya istilah sekularisme ini tidak cocok dengan esensi dari wacana tersebut. Karena alih-alih ingin menjaga kemurnian Islam dari teokrasi Islam—yang sama sekali bukan berasal dari ajaran Islam, tapi justru berasal dari ajaran paganisme Persia dan paganisme timur lainnya—justru Islam akan terjebak ke jurang yang sama berbahayanya dengan teokrasi yaitu sekularisme. Tidak berubah menjadi teokrasi, islam justru berubah menjadi sekuler. Karena sekularisme hakekatnya bukan sekedar mekanisme teknis melainkan mengandung nilai-nilai yang dianggap final dan mutlak. Dan tentu itu bertentangan dengan Islam yang telah memiliki nilai-nilai yang sudah final dan mulak pula—dari sejak lahirnya Islam tersebut.
Selain itu sekularisme walaupun dalam bentuknya yang parsial, ia tetap memiliki esensi materialisme yang sama sekali bertentangan dengan Islam. Karena sekularisme parsial pada hakekatnya merupakan bagian dari sekularisme totalistik, dan itu sama sekali tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Keduanya bersifat ‘umum wal khusush muthlaq. Maka ketika menolak yang umum otomatis menolak yang khusus. Karena hubungan antara umum merupakan lazim bagi khusus dan khusus adalah malzum. Maka ketika mengaffirmasi yang khusus otomatis yang umum akan terbawa karena mengaffirmasi malzum mengharuskan pula affirmasi lazim. Tetapi ketika menegasikan yang umum maka otomatis menegasikan pula yang khusus, karena menegasikan yang lazim mengharuskan negasinya yang lazim tadi.
Maka istilah yang tepat untuk mekanisme teknis dalam bernegara—agar Islam tidak terjatuh ke dalam dua jurang sekularisme islam dan teokrasi islam—maka istilah proporsionalisme adalah tepat. Karena dari kata proporsional itu sendiri mengandung makna mekanisme teknis.
Adapun ijtihad para sahabat ataupun Rasulullah Saw. sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang kebetulan bersifat duniawi yang dijadikan argumen bahwa Islam mempunyai potensi sekularisme dalam artian sempit, tentu tidaklah benar. Karena sebenarnya ijtihad para sahabat dan Rasulullah itu bukan bermaksud ingin menerangkan bahwa di dalam Islam ada pemilahan antara duniawi dan ukhrawi sebagai mekanisme teknis. Tetapi sebenarnya itu adalah contoh dari cara menyelesaikan permasalahan yang tidak terdapat nashnya. Sebab ada beberapa permasalahan yang sebenarnya bersifat duniawi namun ternyata Allah menurunkan ayat tentang itu. Salah satu contohnya adalah ketika Zaid mencari jodoh lalu kemudian ia terpikat dengan seorang gadis bernama Zainab. Namun Zainab seolah menolak karena melihat Zaid yang berstatuskan maula Rasulullah Saw. Akhirnya turun ayat yang secara tersirat memerintahkan Zainab untuk menerima Zaid sebagai suaminya. Hal ini menunjukkan, jika nash sudah berbicara maka ijtihad tidak bisa digunakan, terlebih lagi dengan nash yang qathi’iyu al-dilalah, tanpa melihat ini urusan dunia atau akhirat. Intinya adalah adakah nash dalam masalah tersebut, jika ada maka tidak ada ijtihad. Sehingga ijtihad berlaku jika tidak ada nash atau nash tersebut masih zhanniyu al-dilalah.
Epistimologi sekularisme
Untuk saat ini penulis akan meminjam istilah Abdul Wahab Al-Masiri yang membagi istilah sekularisme kepada sekularisme totalistik dan parsial, karena secara esensi sekularisme totalistik identik dengan sekularisasi versi istilah Al-Attas. Sedangkan sekularisme parsial sebagai ideologi negara identik dengan sekularisme (an sich) menurut Al-Attas.
Menurut pembacaan Al-Attas, sekularisme totalistik memiliki tiga komponen integral, diantaranya: Penidak-keramatan alam, desakralisasi politik dan dekonsekrasi nilai-nilai.

Penidak-keramatan alam
Yang dimaksud dengan penidak-keramatan alam adalah pembebasan alam dari nada-nada keagamaan, memisahkannya dari Tuhan dan membedakan manusia dari alam itu. Sehingga sekularisme totalistik menganggap alam (baca: dunia) sebagai milik manusia sepenuhnya yang bisa digunakan semaunya, yang dengan demikian membolehkannya untuk berbuat bebas terhadap alam memanfaatkan menurut kebutuhan dan rencananya. Alam menurut paham ini sama sekali tidak mempunyai nilai-nilai sakral bahwa alam sebenarnya adalah ciptaan Tuhan yang selanjutnya manusia ditugaskan sebagai penjaga untuk melestarikannya.
Dari penidak-keramatan alam ini sebenarnya mendorong terlahirnya faham atheisme atau yang sedikit lebih halus dari atheisme, yaitu agonitisisme. Bagaimana tidak, ketika alam dilepaskan dari sifatnya yang supernatural, metafisis secara halus itu berarti menolak kepercayaan bahwa alam ini diciptakan oleh Tuhan yang akhirnya mendorong kepada keyakinan bahwa Tuhan tidak ada. Karena secara agonitisisme, ketika Tuhan sebagai esensi dan eksistensi yang tidak mungkin dibuktikan keberadaannya baik secara akal maupun secara empiris, maka tidak ada bedanya meyakini apakah Tuhan itu ada atau tidak. Itulah istilah halus dari atheisme, agnotisisme.

Desakralisasi Politik
Yang dimaksud dengan desakralisasi politik adalah penghapusan legitimasi sakral kekuasaan politik, sebagaimana yang dipraktekan oleh kristen barat di masa lalu yang menganggap kekuasaan politik sebagai warisan Tuhan sehingga ada dogma yang menyatakan bahwa menghianati penguasa berarti menghianati Tuhan. Hal itulah yang mendorong lahirnya sekularisme dengan desakralisasi politik sebagai salah satu komponennya.
Sekularisme memerlukan komponen ini untuk menghapus legitimasi sakral politik sebagai prasyarat untuk terjadinya perubahan politik yang selanjutnya akan mendorong terjadinya perubahan sosial lalu kemudian diakhiri dengan perubahan sejarah. Karena sejarh menurut sekularisme adalah rekayasa dan perencanaan manusia tanpa adanya campur tangan Tuhan di dalamnya. Maka tentu yang namnya rekayasa perlu kepada skenario yang matang, dan desakralisasi politik ini adalah salah satu dari skenario pembentukan sejarah versi manusia.

Dekonsekrasi Nilai
Yang dimaksud dengan dekonsekrasi nilai adalah pemberian makna sementara dan relatif kepada semua karya-karya budaya dan setiap sistem nilai termasuk agama serta pandangan hidup yang bermakna mutlak dan final. Sehingga dengan demikian nilai menurut sekularisme totalistik adalah relatif atau nisbi, sehingga dengan kata lain sekularisme totalistik menganut paham relativisme di dalam nilai. Bahwa tidak ada nilai absolut yang bisa dijadikan satu-satunya rujukan atau standar oleh manusia. Sehingga etika dan moral menurut sekularisme totalistik akan berbeda sesuai dengan tempat dan waktu yang berbeda pula. Satu-satunya yang bisa dijadikan standar menurut sekularisme totalistik adalah manusia itu sendiri.
Dekonsekrasi nilai inilah yang menurut Al-Attas yang menjadi pembeda antara sekularisme totalistik dan parsial, di mana sekularisme parsial membentuk sistem nilainya sendiri yang dipandang sebagai mutlak dan final, karenanya sekularisme ini menjadi ideologi negara berbeda dengan sekularisme totalistik yang lebih tepat untuk disebut sebagai sebuah filsafat.
Dengan dekonsekrasi nilai ini, maka sekularisme (dalam artian totalistik) bukan sebuah ideologi yang bersifat tertutup, karena ia tidak mengiginkan adanya nilai yang bersifat final dan mutlak. Karena secara materi manusia selalu berubah, maka begitu pula dengan nilai-nilai yang ada akan sesuai sifat materi manusia yang imanent dan profan.
Sebenarnya jika dirunut sejarahnya, adanya dekonsekrasi nillai sebagai kompponen integral dari sekularisme ini adalah disebabkan oleh kristenyang saat itu sebagai ajaran tuhan yang seharusnya mampu mendekonsekrasi nilainilai yang bertentangan dengan ajaran tuhan, yang terjadi malah sebaliknya, nilai-nilai paganisme yang terdapat pada peradaban-peradaban lain yang sempat besinggungan dengan kristen malah diadopsi dan diasimilasikan dengan ajaran kristen. Akhirnya kristen tidak lebih dari sekedar ajaran gado-gado yang mencampurkan semua nilai yang ada. Akhirnya dunia berhasil menduniakan kristen dan bukan seharusnya, yaitu kristen yang mengkristenkan dunia.

Kesimpulan
Secara garis besarnya sekularisme secara terminologi terbagi menjadi dua. Sekularisme totalistik (‘almaniyah syamilah) dan sekularisme parsial (‘almaniyah juz’iyah), walaupun nantinya ada beberapa pemikir yang menggunakan istilah yang berbeda-beda seperti sekularisasi, sekularisme materialis atheis, sekularisme sakralisasi manusia, toh pada esensinya sama saja faham ini menolak agama (baca: Tuhan).
Sedangkan yang kedua adalah sekularisme parsial yang oleh para pemikir yang lain diistilahkan berbeda pula, seperti sekularisme an sich, sekularisme religius, dan lain sebagainya yang pada intinya memiliki arti sebuah faham fashlu al-din ‘an al-daulah.
Sedangkan secara epistemologi sudah jelas bertentangan dengan Islam. Karena walaupun Islam mempunyai epistemologi yang bisa dikatakan sama dengan ketiga komponen integral di atas.namun Islam mempunyaiesendi yang berbeda.
Di dalam Islam ada penidak-keramatan alam. Maksdunya tentu tidak sama dengan sekularisme. Penidak-keramatan alam menurut Islam adalah menghilangkan unsur-unsur mistis, khurafat, takhayul dari alam. Bahwa alam adalah ciptaan Allah semata dari tiada menjadi ada. Dan bukan terlahir dari proses emanasi sebagaimana yang diyakini sebagian para filosof Islam. Kemudian alam ini Allah amanatkan kepada manusia untuk memelihara dan menjaganya agar tidak dirusak dengan mempergunakannya semena-mena.
Islam pun memiliki ajaran desakralisasi politik. Bahwa seorang penguasa di dalam Islam sama sekali adalah seorang manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Sehingga ia tidak dianggap suci. Maka, ketaatan kepada penguasa/pemimpin adalah dibatasi selama ada dalam koridor syari’ah yang telah Allah tetapkan yaitu, la tha’ata fi ma’shiyati khaliq.
Dekonsekrasi nilai juga ada di dalam Islam, namun bedanya sekularisme medekonsekrasi nilai tanpa batas. Artinya menganggap semua nilai itu relatif dan tidak mutlak sama sekali. Sedangkan Islam mendekonsekrasi semua nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berintikan pada ajaran tauhid. Maka Islam menganggap bahwa nilai-nilai yang bersifat mutlak dan final itu memang ada yaitu yang bersumberkan dari yang menciptakan manusia itu sendiri yaitu Allah. Maka Islam mempunyai cita-cita mengislamkan dunia dan bukannya menduniakan Islam. Dan kemutlakan nilai-nilai yang dikandung Islam sudah mutlak ketika pertama kali Islam itu lahir dan tidak tunduk kepada proses perkembangan. Wal-Lahu a’lam.