Pendahuluan
Pada masa dewasa ini banyak bermunculan orang bahkan suatu komunitas yang menggunakan akal dan rasionya sebagai tolak ukur. Sebagai contoh suatu komunitas yang menamakan dirinya pengikut aliran Isa Bugis, yang mana kelompok ini menyatakan bahawasanya kita tidak perlu melakukan shalat karena shalat itu menurut mereka adalah cukup dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Jadi tidak perlu melakukan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar umat muslim. Mereka berdalil bahwasanya zaman ini adalah zaman sebelum hijrah, jadi shalat yang dilakukan adalah dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, sedangkan perintah untuk shalat sebagaimana yang dilakukan sebagian besar umat muslim adalah setelah hijrah.
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwasanya, pemikiran rasional telah mendorong seseorang untuk menggunakan akal dan rasionya sebagai landasan berfikir dan mengabaiakan segala hal yang bersifat metafisika dan mengabaikan kebenaran yang sudah menjadi kebenaran umum dengan lebih mengutamakan pendapat pribadi.
Pengertian Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Kehidupan dan Karya René Descartes
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalis Descartes
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada” .
Tentang Subtansi
Descartes berargumentasi dengan wujudnya ragu atas diri, Sementara manusia sebelum mencapai terminal ragu, terlebih dahulu dia harus temukan dirinya. Dan Descartes sendiri yang berkata "Aku ragu" dari sini akan menjadi terang bahwa Descartes tidak menemukan "ragu mutlak" akan tetapi "ragu bersyarat". Sebelum dia menemukan "keraguan", terlebih dahulu dia jumpai dirinya sendiri. Maksudnya adalah Descartes sebelum dia memberikan hukum dan berkata "ergo sum" dia telah menetapkan dirinya pada kata "to". Dan tak tercapai lagi gilirannya ketika dia mengejar "ergo sum". Karena keraguan tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya seorang peragu yang meragukan sesuatu. Dan di sinilah peran seorang peragu. Dirinya yang ia temukan sebelum segala sesuatu. Dimana dalam kasus Descartes, "Aku" adalah sedemikian jelas dan presentifnya . Jadi keraguan yang timbul dari cogito bukanlah keraguan skeptik yang tidak mungkin untuk diperoleh kebenaran darinya. Tapi, keraguan yang timbul disini adalah keraguan yang bersyarat yaitu membutuhkan suatu usaha untuk mencapai kebenaran.
Dari prinsip dasar Cogito tersebut, yang dikenalkan dengan istilah subtansi, ada tiga ide bawaan yang diajarkan oleh Descartes, yaitu :
a. Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir (cogito), maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakekat saya. Karena berpikir memiliki kemampuan untuk memeriksa secara detail dan terus-menerus meragukan sesuatu sampai pada kebenaran tanpa keraguan.
b. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna (Cogito), mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Jadi konsepsi itu tidak berasal dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan itu ada. Dan Tuhan dipikirikan sebagai subtansi yang tidak membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa, agar “ada” sendiri.
c. Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi. karena adanya kegiatan berpikir dan Tuhan menjamin adanya kegiatan tersebut, maka apa yang dipikir, yaitu materi, pastilah ada juga secara riil.
Pikiran itu sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak mengambil tempat karena ia tidak dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tapi dunia luar adalah materi yang cenderung melakukan perluasan dan mengambil ruang, karennya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.
Metode Clear and Distinct
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain :
a. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar :
a. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
b. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
c. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
d. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
Tentang Jiwa dan Materi
Descartes secara garis besar membagi dua dunia yang paralel tapi independen, yakni dunia jiwa dan dunia materi, yang masing-masing dapat dipelajari tanpa mengacu pada lainnya. Bahwa jiwa tidak menggerakkan tubuh secara implisit dan tubuh tidak menggerakkan jiwa. Dan seorang pribadi adalah penyambung bagi dua substansi yang berbeda tersebut. Dan pembedaan tersebut memberikan suatu bidang khusus pada ilmu, yang berkenaan pada dunia fisik dan agama. Jadi tubuh dan jiwa seperti sebuah koin yang satu menghadap keatas maka yang satu menghadap kebawah. Dan hal inilah yang menunjukkan sifat dualisme dalam pemikiran Descartes.
Ciri-Ciri Filsafat Descartes
1. Keraguan Mendasar
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingikat kesalahan yang lebih tinggi.
2. Pengalaman Sebagai Perangsang Pikiran
Oleh Descartes pengalaman bukanlah sebagai sumber kebenaran, tapi pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
3. Hanya Percaya Pendapat Sendiri
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat.......Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Kritik Terhadap Rasionalisme Descartes
a. Dualisme pemikiran Descartes mengenai tubuh dan jiwa.
b. Tidak adanya kebenaran absolut dalam pemikiran Descartes.
c. Kecenderungannya pada akal telah melemahkan filsafatnya. Hal ini dikarenakan akal manusia itu terbatas.
d. Filsafatnya banyak dipengaruhi fisika dan matematika.
e. Inkonsistensi Descartes dalam filsafatnya. Ia menyatakan kebenaran hanya diperoleh melalui akal tapi pada kenyataannya ia masih tergantung pada keputusan Tuhan.
Referensi
Munir, M. Ied Al, Tinjauan terhadap metode Empirisme dan Rasionalisme, (Jurnal Filsafat, Desember 2004, Jilid 38, Nomor 3)
Anees, Bambang Q. [et.al.], filsafat untuk umum, (Jakarta: Prenada Media, 2003)
Solomon, Robert C. [et.al.], Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000)
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2004)
http://telagahikmah.org/id/index.php?option=com_content&task=view&id=136&Itemid=49/05-02-2009
Ada banyak bibit di dalam diri manusia. Ada bibit kebodohan, keserakahan, kemarahan, iri hati, dendam, dsb. Ada juga bibit kesabaran, kasih sayang, cinta, memaafkan, persahabatan, dsb. Pertanyaannya,, bibit-bibit mana yang kita sirami setiap harinya….???!!!!
Selasa, 14 Desember 2010
A COMPARISON OF THE ASSUMPTION OF ANDRAGOGY AND PEDAGOGY
INTRODUCTION
The assertion that first, there was pedagogy and then came andragogy, is simultaneously true and misleading. What is pedagogy? What is andragogy? Which preceded the other? And what, if anything,does any of this have to do with medical education? In this article, we will explore the answers tothese questions, review the historical bases for the pedagogical and andragogical paradigms.
THE ASSUMPTIONS OF PEDAGOGY
Pedagogy is derived from two words, paid meaning “child” (paediatrics/pediatrics derive from the same stem) and agogus meaning “leader of.” Thus, it literally means the art and science of teaching children. The roots of pedagogy can be traced back to seventh century Europe during the introduction of organized education at monastic schools which were also known as cathedral schools (Knowles et al., 1998). The primary purpose for the establishment of these institutions was the induction of young men into the priesthood. The model of pedagogy first emerged at this time and was founded on several assumptions about learners. These assumptions were to have a major impact on the designof the educational model. The first pedagogical assumption was the dependent personality of the learner. This implied that the learner not only did not know but could not know his or her own learning needs. The second assumption on which pedagogy was founded was that learning needed to be subjected-centered. Hence, instructional curricula were organized around subjects, such as arithmetic and geography. A third assumption emphasized extrinsic motivation as the most important driving force for learning. Therefore, learners needed to be motivated with prizes and punishment. The last foundational assumption of pedagogy was that the prior experience of the learner was irrelevant. This is the concept of the blank slate or tabula rasa. In this model, the teacher need not consider the student’s prior experience as consequential (Knowles et al., 1998). Later in the eighteenth and nineteenth centuries, as secular and public schools emerged in large numbers, pedagogy was readily adapted because it was the only existing educational model at the time. Today, many contend that the entire educational system has been frozen in the pedagogical approach, ever since the initial application of pedagogy in the eighteenth century. It should be noted that pedagogy is fundamentally a teacher-centered model, where the teacher determines what will be learned, how it will be learned, when it will be learned, and if it has been learned.
THE ASSUMPTIONS OF ANDRAGOGY
In 1833, a German grammar school teacher named Alexander Kapp coined the term andragogy (van Enckevort, 1971). Kapp used the word to describe the educational paradigm employed by the Greek philosopher Plato. The terminology never quite caught on until 1926 when Eduard C. Lindeman wrote extensively about andragogy (Gessner, 1956). In describing his theory of adult learning, Lindeman stated that The approach to adult learning will be via the root of problem solving, not subjects. I am conceiving adult education in terms of a new process by which the adult learns to become aware of and to evaluate his experience. To do this, he cannot begin by studying “subjects” in the hope that this information will be useful. On the contrary, he begins by giving attention to situations in which he finds himself, to problems which include obstacles to his self-fulfillment. Facts and information from the differentiated spheres of knowledge are used, not for the purpose of accumulation, but because of need in solving problems. In this process the teacher finds a new function. He is no longer the oracle who speaks from the platform of authority, but rather the guide, the pointer-out who also participates in learning in proportion to the vitality and relevance of his facts and experiences (Lindeman, 1926). Beginning in 1959, Malcolm Knowles expanded on the work of Eduard C. Lindeman. Extensive work by Knowles and other educators resulted in the development of new assumptions about adult learners (Cross, 1981; Knowles 1950, 1970, 1972, 1973, 1975, 1977, 1980, 1984, 1986, 1989, 1990; Knowles et al., 1998; Tough 1967, 1971, 1979, 1982):
I. The Need to Know. The first assumption is that adults need to know the utility and value of the material that they are learning before embarking on learning. As an example, Tough (1979) demonstrated that when adults undertake to learn something on their own, they invest considerable energy probing into the benefits they will gain from learning it and the negative consequences of not learning it.
II. The Learners Self-Concept. Adults have a deep psychological need to be seen by others and treated by others as being capable of self-direction. They resent and resist situations in which they feel that others are imposing their wills on them. However, an educational system that does not nurture this need for autonomy and self-direction is likely to produce adults who assume the role of dependent and passive learners.
III. The Role of Experience. Adult learning practitioners believe that prior experiences are the richest resources available to adult learners. Adults tend to come into adult education activities with a greater volume and higher quality of experience than younger children. Consequently, practitioners of adult learning theory tend to employ experiential techniques, such as simulation exercises, problem solving activities, case methods, laboratory methods, and group discussions.
IV. Readiness to Learn. In adults, readiness to learn is dependent on an appreciation of the relevancy of the topic. Adult learners tend to become ready to learn things that they believe they need to know or be able to do in order to cope effectively with real life situations and problems.
V. Orientation to Learning. In contrast with pedagogy, where orientation to learning is subject-centered, adult learning theory is of the view that an adult’s orientation to learning is problem-centered, task-centered, or life-centered. Adults are motivated to learn to the extent they perceive that the knowledge will help them perform tasks or solve problems that they may face in real life. Thus, adults learn best when new knowledge, skills, and attitude are presented in the context of real-life situations.
VI. Motivation. A sixth assumption of adult learning addresses the motivation to learn. While adults are responsive to extrinsic motivation, they are most driven by internal pressure, motivation, and the desire for self-esteem and goal attainment. Tough (1967, 1971, 1979, 1982) documented in his studies that all normal adults were motivated to keep learning, growing and developing.
One may conclude that andragogy and pedagogy are opposed to each other, but in fact, these are not necessarily mutually exclusive paradigms. It is true that the assumptions of pedagogy do not acknowledge the principles of andragogy (or adult learning theory), but rather focus on the dependent personality, subject-centeredness, extrinsic motivation, and irrelevant prior experiences. However, it should be noted that andragogy contains an appreciation and acceptance of pedagogy in many instances. Thus, an individual who is learning to fly an airplane for the first time and who has no prior aviation experience may be viewed as a dependent learner. In such a circumstance, it is entirely appropriate to employ the pedagogical approach and provide information in a dependent way. However, whereas adherents of pedagogy may sustain this approach indefinitely, practitioners of andragogy would gradually move the learner away from the dependency of pedagogy toward increasing autonomy and self-direction.
So, which came first, pedagogy or andragogy? At first glance, it might seem that the approach to adult learning is a relatively new concept, especially given that pedagogy was formally established in the seventeenth century and the term “andragogy” was only introduced in the nineteenth century. To the contrary, however, all of the great teachers of ancient times were teachers of adults, not children. The great teachers of ancient times all used the process of mental inquiry and believed in active participation of the learner, not passive reception of information. Additionally, they invented and perfected techniques for engaging adult learners. For example, Confucius, Lao Tse of China, the Hebrew Prophets, and Jesus in Biblical times separately invented what is described today as the “case method” (Knowles et al., 1998). In this process, the leader or one of the group members describes a situation (often in the form of a parable) and, together, the group explores its characteristics and possible resolutions. In ancient Greece, Aristotle, Socrates, and Plato invented and practiced the Socratic dialogue, which is quite similarto “problem-based learning” (Knowles et al., 1998). This was a process whereby the facilitator or a participant posed a question, dilemma, or problem, and the group pooled its thinking and experience to seek an answer or solution. Likewise in ancient Rome, Cicero, Evelid, and Quintillian invented a confrontational method in which they forced group members to state their theses or positions, and then to defend those positions (Knowles et al., 1998). Thus, it is evident that the great teachers of ancient times all employed principles of adult learning much earlier than the formal development of the model of pedagogy. These great teachers approached adult learning from an apparent understanding that adults had a need and capacity to be self-directing and autonomous. They also understood, perhaps intuitively, that adults had a need to organize learning around problems, not subjects. Our current understanding of adult learning comes not only from the practices of the great teachers of ancient times but also from groundbreaking work in the social sciences
CONCLUTION
In summary, andragogy is premised on several crucial assumptions about the nature and characteristics of adult learners . These assumptions are different from those that form the foundation of pedagogy, which are assumptions about child learners. Adult learning theory contends that as a person matures, his self-concept moves from dependency to self-directedness and autonomy. It maintains that adults accumulate a growing reserve of experiences, which form the richest resource for their learning. It argues that readiness to learn is increasingly oriented toward tasks associated with social roles. Adult learning theory also asserts that an adult’s time perspectivechanges from postponed application of knowledge to immediacy of application and accordingly, orientation to learning shifts from subject-centered to problemcentered. The Table summarizes the principles of adult learning derived from analyses and integration of all the bodies of work in this field.
The assertion that first, there was pedagogy and then came andragogy, is simultaneously true and misleading. What is pedagogy? What is andragogy? Which preceded the other? And what, if anything,does any of this have to do with medical education? In this article, we will explore the answers tothese questions, review the historical bases for the pedagogical and andragogical paradigms.
THE ASSUMPTIONS OF PEDAGOGY
Pedagogy is derived from two words, paid meaning “child” (paediatrics/pediatrics derive from the same stem) and agogus meaning “leader of.” Thus, it literally means the art and science of teaching children. The roots of pedagogy can be traced back to seventh century Europe during the introduction of organized education at monastic schools which were also known as cathedral schools (Knowles et al., 1998). The primary purpose for the establishment of these institutions was the induction of young men into the priesthood. The model of pedagogy first emerged at this time and was founded on several assumptions about learners. These assumptions were to have a major impact on the designof the educational model. The first pedagogical assumption was the dependent personality of the learner. This implied that the learner not only did not know but could not know his or her own learning needs. The second assumption on which pedagogy was founded was that learning needed to be subjected-centered. Hence, instructional curricula were organized around subjects, such as arithmetic and geography. A third assumption emphasized extrinsic motivation as the most important driving force for learning. Therefore, learners needed to be motivated with prizes and punishment. The last foundational assumption of pedagogy was that the prior experience of the learner was irrelevant. This is the concept of the blank slate or tabula rasa. In this model, the teacher need not consider the student’s prior experience as consequential (Knowles et al., 1998). Later in the eighteenth and nineteenth centuries, as secular and public schools emerged in large numbers, pedagogy was readily adapted because it was the only existing educational model at the time. Today, many contend that the entire educational system has been frozen in the pedagogical approach, ever since the initial application of pedagogy in the eighteenth century. It should be noted that pedagogy is fundamentally a teacher-centered model, where the teacher determines what will be learned, how it will be learned, when it will be learned, and if it has been learned.
THE ASSUMPTIONS OF ANDRAGOGY
In 1833, a German grammar school teacher named Alexander Kapp coined the term andragogy (van Enckevort, 1971). Kapp used the word to describe the educational paradigm employed by the Greek philosopher Plato. The terminology never quite caught on until 1926 when Eduard C. Lindeman wrote extensively about andragogy (Gessner, 1956). In describing his theory of adult learning, Lindeman stated that The approach to adult learning will be via the root of problem solving, not subjects. I am conceiving adult education in terms of a new process by which the adult learns to become aware of and to evaluate his experience. To do this, he cannot begin by studying “subjects” in the hope that this information will be useful. On the contrary, he begins by giving attention to situations in which he finds himself, to problems which include obstacles to his self-fulfillment. Facts and information from the differentiated spheres of knowledge are used, not for the purpose of accumulation, but because of need in solving problems. In this process the teacher finds a new function. He is no longer the oracle who speaks from the platform of authority, but rather the guide, the pointer-out who also participates in learning in proportion to the vitality and relevance of his facts and experiences (Lindeman, 1926). Beginning in 1959, Malcolm Knowles expanded on the work of Eduard C. Lindeman. Extensive work by Knowles and other educators resulted in the development of new assumptions about adult learners (Cross, 1981; Knowles 1950, 1970, 1972, 1973, 1975, 1977, 1980, 1984, 1986, 1989, 1990; Knowles et al., 1998; Tough 1967, 1971, 1979, 1982):
I. The Need to Know. The first assumption is that adults need to know the utility and value of the material that they are learning before embarking on learning. As an example, Tough (1979) demonstrated that when adults undertake to learn something on their own, they invest considerable energy probing into the benefits they will gain from learning it and the negative consequences of not learning it.
II. The Learners Self-Concept. Adults have a deep psychological need to be seen by others and treated by others as being capable of self-direction. They resent and resist situations in which they feel that others are imposing their wills on them. However, an educational system that does not nurture this need for autonomy and self-direction is likely to produce adults who assume the role of dependent and passive learners.
III. The Role of Experience. Adult learning practitioners believe that prior experiences are the richest resources available to adult learners. Adults tend to come into adult education activities with a greater volume and higher quality of experience than younger children. Consequently, practitioners of adult learning theory tend to employ experiential techniques, such as simulation exercises, problem solving activities, case methods, laboratory methods, and group discussions.
IV. Readiness to Learn. In adults, readiness to learn is dependent on an appreciation of the relevancy of the topic. Adult learners tend to become ready to learn things that they believe they need to know or be able to do in order to cope effectively with real life situations and problems.
V. Orientation to Learning. In contrast with pedagogy, where orientation to learning is subject-centered, adult learning theory is of the view that an adult’s orientation to learning is problem-centered, task-centered, or life-centered. Adults are motivated to learn to the extent they perceive that the knowledge will help them perform tasks or solve problems that they may face in real life. Thus, adults learn best when new knowledge, skills, and attitude are presented in the context of real-life situations.
VI. Motivation. A sixth assumption of adult learning addresses the motivation to learn. While adults are responsive to extrinsic motivation, they are most driven by internal pressure, motivation, and the desire for self-esteem and goal attainment. Tough (1967, 1971, 1979, 1982) documented in his studies that all normal adults were motivated to keep learning, growing and developing.
One may conclude that andragogy and pedagogy are opposed to each other, but in fact, these are not necessarily mutually exclusive paradigms. It is true that the assumptions of pedagogy do not acknowledge the principles of andragogy (or adult learning theory), but rather focus on the dependent personality, subject-centeredness, extrinsic motivation, and irrelevant prior experiences. However, it should be noted that andragogy contains an appreciation and acceptance of pedagogy in many instances. Thus, an individual who is learning to fly an airplane for the first time and who has no prior aviation experience may be viewed as a dependent learner. In such a circumstance, it is entirely appropriate to employ the pedagogical approach and provide information in a dependent way. However, whereas adherents of pedagogy may sustain this approach indefinitely, practitioners of andragogy would gradually move the learner away from the dependency of pedagogy toward increasing autonomy and self-direction.
So, which came first, pedagogy or andragogy? At first glance, it might seem that the approach to adult learning is a relatively new concept, especially given that pedagogy was formally established in the seventeenth century and the term “andragogy” was only introduced in the nineteenth century. To the contrary, however, all of the great teachers of ancient times were teachers of adults, not children. The great teachers of ancient times all used the process of mental inquiry and believed in active participation of the learner, not passive reception of information. Additionally, they invented and perfected techniques for engaging adult learners. For example, Confucius, Lao Tse of China, the Hebrew Prophets, and Jesus in Biblical times separately invented what is described today as the “case method” (Knowles et al., 1998). In this process, the leader or one of the group members describes a situation (often in the form of a parable) and, together, the group explores its characteristics and possible resolutions. In ancient Greece, Aristotle, Socrates, and Plato invented and practiced the Socratic dialogue, which is quite similarto “problem-based learning” (Knowles et al., 1998). This was a process whereby the facilitator or a participant posed a question, dilemma, or problem, and the group pooled its thinking and experience to seek an answer or solution. Likewise in ancient Rome, Cicero, Evelid, and Quintillian invented a confrontational method in which they forced group members to state their theses or positions, and then to defend those positions (Knowles et al., 1998). Thus, it is evident that the great teachers of ancient times all employed principles of adult learning much earlier than the formal development of the model of pedagogy. These great teachers approached adult learning from an apparent understanding that adults had a need and capacity to be self-directing and autonomous. They also understood, perhaps intuitively, that adults had a need to organize learning around problems, not subjects. Our current understanding of adult learning comes not only from the practices of the great teachers of ancient times but also from groundbreaking work in the social sciences
CONCLUTION
In summary, andragogy is premised on several crucial assumptions about the nature and characteristics of adult learners . These assumptions are different from those that form the foundation of pedagogy, which are assumptions about child learners. Adult learning theory contends that as a person matures, his self-concept moves from dependency to self-directedness and autonomy. It maintains that adults accumulate a growing reserve of experiences, which form the richest resource for their learning. It argues that readiness to learn is increasingly oriented toward tasks associated with social roles. Adult learning theory also asserts that an adult’s time perspectivechanges from postponed application of knowledge to immediacy of application and accordingly, orientation to learning shifts from subject-centered to problemcentered. The Table summarizes the principles of adult learning derived from analyses and integration of all the bodies of work in this field.
The Concept of Polygamy In Islam
Introduction
Basis of marriage has been arranged by Islam since 15th century ago as a way to maintain the relationship between humans. And the one of most common issues in marriage in Islam is polygamy . Some of Islamic scholars maintain that it is part of Islamic jurisprudence and hence men can take up to four wives, if they want to, with reasonable cause even. And some other is refused it because it is show unfair in Islam.
So in this a short paper will explain what is polygamy and its legal status in Islam, why Islam is allowed it and what is the concept of fair in polygamy.
The Meaning of Polygamy
The word of polygamy refers from Greece language. This word is taken from word poli or polus which means many. And gamein or gamos which means marriage or marrying. Then when the two words are combined this will mean a lot of the marriage. So polygamy is a system of marriage whereby one person has more than one pair. Polygamy can be of two types . One is Polygyny where a man marries more than one woman, and the other is polyandry, where a woman marries more than one man.
The Legal Status of Polygamy in Islam
Islamic scholars in the issue of polygamy have a different opinion. But on the whole they can be classified in three:
1. Groups that do not allow men marry more than one woman, except under certain conditions. That they be convinced about this generally refereed to contemporary Islamic thinker, such as Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad khan, Muhammad 'Abduh, Qasim Amin, Fazlur Rahman and others.
2. Groups that allow men marry more than one woman. This opinion is refereed to ulama salaf.
3. Groups that allow marrying more than four. This opinion is refereed to madzhab dhahiri.
The difference in opinion is caused by the difference in the way understanding Surah an-Nisa 'verse 3 , as a basis for the determination of the legal status of polygamy in Islam. But when we see to this verse, actually we will find a number of facts are evident :
1. That polygamy is neither mandatory, nor encouraged, but merely permitted.
2. That the permission to practice polygamy is not associated with mere satisfaction of passion. It is rather associated with compassion toward widows and orphans, a matter that is confirmed by the atmosphere in which the verse was revealed.
3. That even in such a situation, the permission is far more restricted than the normal practice which existed among the Arabs and other people at that time when many married as many as ten or more wives.
4. That dealing justly with one’s wives is an obligation. This applies to housing, food, clothing, kind treatment..etc., for which the husband is fully responsible. If one is not sure of being able to deal justly with them
So the conclusion of those facts is that verse is to remind these people who do polygamy to be fair to his wives and try to minimize the amount of his wives that he did not do wrong to his family.
The reason for allowing polygamy
The reason for not prohibiting polygamy categorically is perhaps due to the fact that there are certain conditions which face individuals and societies in different places and at different times, which make the limited practice of polygamy a better solution than either divorce or the hypocritical pretence of morality . But most of Islamic scholars is agree that polygamy is allowed if :
1. A man who discovers that his wife is barren, and who at the same time instinctively aspires to have children and heirs.
2. to maintain the integrity of the family without divorce wife. Even the wife can not do her duty as a wife, because of disability or disease.
3. to save her husband who get a hypersexual from the act of adultery and other moral crisis.
4. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological.
5. if the number of women more than the number of men, that can occur because of the war as in such as at the time of Rasulullah.
The main thing is that the existence of polygamy in Islam is as a way out of the existing social problems, especially to build a family. So, when we talk about polygamy is not to try to answer the questions of monogamy and polygamy, but this refers more to the existing conditions. And other things that also are not less important. Polygamy for a woman is as a two-edged knife. On the one hand he was faced in the effort to defend her husbands love. And On the one hand he was faced on the social problem. That is if she leaves polygamy she was closing the opportunities for other women to obtain a husband .
The Concept Fair in Polygamy
Anshri Thayib in his book writes the concept of fair in polygamy that must be fulfill for every husband who do polygamy. That fair in polygamy is fair in:
1. Share the love
2. Share attention and emotion
3. To give a wife the right form of livelihood
4. Provide opportunities through
Conclusion
Polygamy in Islam is one of the settlements of social problems in the community, especially to deal with problems that arise because of the large number of women than men. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological and the condition that allowed him.
Referensi
Anshari Thayib, Struktur rumah tangga muslim, (Surabaya: Risalah gusti, 1994)
Drs. Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah studi atas pemikiran Muhammad ‘Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji masagung, 1993)
http://www.thecheers.org/Religion/article_507_Polygamy-in-Islam.html/13-02-2009
http://www.al-islamforall.org/litre/Englitre/polygainis.htm/13-02-2009
Basis of marriage has been arranged by Islam since 15th century ago as a way to maintain the relationship between humans. And the one of most common issues in marriage in Islam is polygamy . Some of Islamic scholars maintain that it is part of Islamic jurisprudence and hence men can take up to four wives, if they want to, with reasonable cause even. And some other is refused it because it is show unfair in Islam.
So in this a short paper will explain what is polygamy and its legal status in Islam, why Islam is allowed it and what is the concept of fair in polygamy.
The Meaning of Polygamy
The word of polygamy refers from Greece language. This word is taken from word poli or polus which means many. And gamein or gamos which means marriage or marrying. Then when the two words are combined this will mean a lot of the marriage. So polygamy is a system of marriage whereby one person has more than one pair. Polygamy can be of two types . One is Polygyny where a man marries more than one woman, and the other is polyandry, where a woman marries more than one man.
The Legal Status of Polygamy in Islam
Islamic scholars in the issue of polygamy have a different opinion. But on the whole they can be classified in three:
1. Groups that do not allow men marry more than one woman, except under certain conditions. That they be convinced about this generally refereed to contemporary Islamic thinker, such as Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad khan, Muhammad 'Abduh, Qasim Amin, Fazlur Rahman and others.
2. Groups that allow men marry more than one woman. This opinion is refereed to ulama salaf.
3. Groups that allow marrying more than four. This opinion is refereed to madzhab dhahiri.
The difference in opinion is caused by the difference in the way understanding Surah an-Nisa 'verse 3 , as a basis for the determination of the legal status of polygamy in Islam. But when we see to this verse, actually we will find a number of facts are evident :
1. That polygamy is neither mandatory, nor encouraged, but merely permitted.
2. That the permission to practice polygamy is not associated with mere satisfaction of passion. It is rather associated with compassion toward widows and orphans, a matter that is confirmed by the atmosphere in which the verse was revealed.
3. That even in such a situation, the permission is far more restricted than the normal practice which existed among the Arabs and other people at that time when many married as many as ten or more wives.
4. That dealing justly with one’s wives is an obligation. This applies to housing, food, clothing, kind treatment..etc., for which the husband is fully responsible. If one is not sure of being able to deal justly with them
So the conclusion of those facts is that verse is to remind these people who do polygamy to be fair to his wives and try to minimize the amount of his wives that he did not do wrong to his family.
The reason for allowing polygamy
The reason for not prohibiting polygamy categorically is perhaps due to the fact that there are certain conditions which face individuals and societies in different places and at different times, which make the limited practice of polygamy a better solution than either divorce or the hypocritical pretence of morality . But most of Islamic scholars is agree that polygamy is allowed if :
1. A man who discovers that his wife is barren, and who at the same time instinctively aspires to have children and heirs.
2. to maintain the integrity of the family without divorce wife. Even the wife can not do her duty as a wife, because of disability or disease.
3. to save her husband who get a hypersexual from the act of adultery and other moral crisis.
4. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological.
5. if the number of women more than the number of men, that can occur because of the war as in such as at the time of Rasulullah.
The main thing is that the existence of polygamy in Islam is as a way out of the existing social problems, especially to build a family. So, when we talk about polygamy is not to try to answer the questions of monogamy and polygamy, but this refers more to the existing conditions. And other things that also are not less important. Polygamy for a woman is as a two-edged knife. On the one hand he was faced in the effort to defend her husbands love. And On the one hand he was faced on the social problem. That is if she leaves polygamy she was closing the opportunities for other women to obtain a husband .
The Concept Fair in Polygamy
Anshri Thayib in his book writes the concept of fair in polygamy that must be fulfill for every husband who do polygamy. That fair in polygamy is fair in:
1. Share the love
2. Share attention and emotion
3. To give a wife the right form of livelihood
4. Provide opportunities through
Conclusion
Polygamy in Islam is one of the settlements of social problems in the community, especially to deal with problems that arise because of the large number of women than men. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological and the condition that allowed him.
Referensi
Anshari Thayib, Struktur rumah tangga muslim, (Surabaya: Risalah gusti, 1994)
Drs. Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah studi atas pemikiran Muhammad ‘Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji masagung, 1993)
http://www.thecheers.org/Religion/article_507_Polygamy-in-Islam.html/13-02-2009
http://www.al-islamforall.org/litre/Englitre/polygainis.htm/13-02-2009
Jumat, 03 Desember 2010
ASSESMENT DALAM PEMBELAJARAN PAI
A. PENGERTIAN
Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang diginakan, yakni pengukuran, assessment, dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Sementara pengertian assessment adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai pada taraf pengambilan keputusan.
Sedangkan evaluasi sendiri, secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian, Namun dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni :
1.Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu
2.Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan aras tujuan yang jelas
3.Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.
Meskipun memiliki banyak definisi, sebenarnya evaluasi pertama kali dikembangkan oleh Ralph Tayler (1950), yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Lalu dikembangkan lagi oleh dua orang ahli lain yakni, Cronbach dan Stuff lebeam .
Dilihat dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa secara teoritik ketiga istilah tersebut memiliki definisi berbeda. Namun, dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluai pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) dan pembandingan (assessment). Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa, assessment dan evaluasi adalah sama, karena merupakan sistem penilaian hasil belajar.
Dari uraian diatas sudah jelas sekali pengertian assessment, measurement, dan evaluasi. Adapun assessment dalam pembelajaran pendidikan agama islam, yaitu : Suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama islam.
B. TUJUAN DAN FUNGSI ASSESSMENT
Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
2.Untuk mengetahui efektifitas metode pembelajaran.
3.Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.
4.Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa fdalam rangka perbaikan.
Selain memiliki beberapa tujuan seperti yang disebutkan diatas, assessment atau penelitian memiliki fungsi sebagai alat seleksi, penempatan, diagnostik, formatif, dan sumatif. Guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Adapu penjelasannya, sebagai berikut :
1.Fungsi selektif, dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan.
2.Fungsi penempatan, dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta didik) dapat mengikutu pendidikan pada jenis atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
3.Fungsi diagnostik, dilaksanakan untuk mengidentifikasikan kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
4.Fungsi formatif, dilaksanakan untuk memberikan umpan balik guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan remedial atau perbaikan bagi murid.
5.Fungsi sumatif, dilaksanakan untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa assessment merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan assessment atau penilaian, guru dapat mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian peserta didik.
C. PENDEKATAN, PRINSIP DAN ACUAN ASSESSMENT
Dalam melakukan assessment, harus dilakukan pendekatan. Adapun pendekatan- pendekatan tersebut adalah :
•Menggunakan berbagai teknik.
•Menekankan hasil dengan memperhatikan input dan proses.
•Melihat dari perspektif taksonomi tujuan pendidikan, menilai perkembangan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sesuai karakteristik mata pelajaran.
•Menerapkan standar kompetensi lulusan.
•Menerapkan sistem penilaian acuan kriteria dan standar pencapaian yang konsisten.
•Menerapkan penilaian otentik untuk menjamin pencapaian kompetensi.
Adapun prinsip-prinsip assessment, yaitu :
•Penilaian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
•Mencermnkan masalah dunia nyata.
•Menggunakan berbagai ukuran, metode, teknik, dan kriteria sesuai dengan karakteristik dan essensi pengaloaman belajar.
Selain pendekatan dan prinsip dalam assessment, hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah acuan dalam assessment, adalah acuan kriteria. Sebab, kriteria digunakan asumsi bahwa hampir semua orang belajar apapun akan mampu, hanya kecepatan dan waktunya yang berbeda. Asumsi tersebut mengindikasikan perlunya program perbaikan atau remidial. Namun demikian, agar sistem assessment memenuhi prinsip kesahihan dan keandalan, maka harus memperhatikan :
•Aspek menyeluruh
•Berkelanjutan
•Berorientasi pada indikator ketercapaian
•Sesuai dengan pengalaman belajar
D. OBJEK ASSESSMENT
Pertanyaan pokok sebelum melakukan penilaian adalah apa yang harus dinilai itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus terlebih dahulu melihat kembali fungsi dari assessment, yaitu sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar peerta didik. Menurut Horward kingsley, proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya.
Selain pendapat Horward, masih banyak pendapat-pendat lain mengenai proses dan hasil belajar .Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut akhirnya diperoleh hasil pengklasifikasian secara garis besar, yang diungkapkan oleh Benyamin Bloom. Dimana benyamin membaginya menjadi tiga ranah atau objek, yaitu Kognitif, afktif dan psikomotorik.
1. KOGNITIF
Ranah kognitif berkenaan engan hasil belajar intyelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu :
•pengetahuan (recalling), kemampuan mengingat, misalnya: mengingat nama nabi
•pemahaman (comprehension), kemampuan memahami, misalnya: menyimpulkan suatu paragraf
•aplikasi (application), misalnya :menggunakan suatu informasi untuk memecahkan suatu masalah
•analisis (analysis), misalnya menganalisis suatu bentuk
•sintesis (syntesis), misalnya : menformulasikan hasil ceramah dosen dikelas dengan lingkungan sekitar
•dan evaluasi (evaluation), kemampuan mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.
2. AFEKTIF
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, dsb. Jika dalihat lebih dalam, pelajaran yang diberikan lebih banyak mengarah pada ranah kognitif, meskipun demikian ranah afektif tetap harus menjadi bagian intyegral dalam proses pembelajaran.
Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, yaitu :
•Menerima (receiving) termasuk kesadaran, keinginana untuk menerima stimulus, respon, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
•Menanggapi (responding) reaksi yang diberikan, ketepatan aksi, perasaan,dll.
•Menilai (evaluating) kesadaran menerima apa yang diberikan oleh para pendidik.
•Mengorganisir(organiation) pengembangab norma dan nilai.
•Membentuk watak (characterization) sistem nilai yang terbentuk mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku.
3. PSIKOMOTORIK
Psikomotorik merupakan tindakan seseorang yang dilandasi penjiwaan atas dasar teori yang dipahami dalam suatu mata pelajaran. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik diarahkan untuk menggali beberapa gerakan, ucapan, dan pengamalan keagamaan, seperti
•Gerakan wudlu, shalat
•Ucapan bacaan Al-Qur'an-qur’an dalam shalat
•Ucapan kalimat thayyibah
•Pengamalan, kebiasaan berdzikir, berdoa, maupun membaca Al-Qur'an-qur’an
Adapun tingkatan ketrampilan alam psikomotorik, yaitu :
•Gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar)
•Ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar
•Kemampuan perseptual
•Kemampuan di bidang fisik
•Gerakan-gerakan skill, mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks
•Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi
E. PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)
Penilaian berbasis kelas(PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasikan pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan
PBK merupakan arti penilaian sebagai assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur kebrrhasilan suatu program pendidikan.
Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa sevara individu pada khususnya. Adapun fungsi PBK, yaitu :
1.Memberikan umpan balik bagi sisa mengenaim kemampuan dan kekurangannya
2.Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa
3.Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya
4.Memungkinkan siswa mencapai kometensi yang telah ditentukan
Selain fungsi PBK memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1.Mengetahui kemajuan belajar siswa
2.Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran
3.Menentukan tindak lanjut pembelajaran bagi siswa
4.Membantu siswa untuk memilih bidang pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya
Adpun prinsip-prinsip PBK haruslah sangat diperhatikan, yaitu :
1.Valid, PBK harus mengukur objek obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih
2.Mendidik, PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa
3.Berorientasi pada kompetensi
4.Adil dan objektif
5.Terbuka, PBK Hendaknya dilakukan secara terbuka bagi semua kalangan
6.Berkesinambungan, PBK harus dilakukan secara terus-menerus
7.Menyeluruh, PBK harus menyeluruh dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
8.Bermakna, PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak
DAFTAR PUSTAKA
•Arikunto suharsini, 2005.Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan.Jakarta: Bumi aksara
•Zuhairini,1983.Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam.Surabaya: Usaha nasional
•Majid abdul, 2005.Perencanaan Pembelajaran.Bandung: Rosda karya
•Nasution, 2003.Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar.Jakarta: Bumi aksara
•Hamalik oemar, 2004.Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Bumi aksara
•Sudjana nana, 2005.Penilaian hasil proses belajar mengajar.Bandung: Rosda karya
•Nurkancana wayan, 1986. Evaluasi Pendidikan.Surabaya: Usaha nasional
•Mulyasa,2003.Kurikilum Berbasis Kompetensi.Bandung:Rosda karya
Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang diginakan, yakni pengukuran, assessment, dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Sementara pengertian assessment adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai pada taraf pengambilan keputusan.
Sedangkan evaluasi sendiri, secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian, Namun dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni :
1.Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu
2.Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan aras tujuan yang jelas
3.Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.
Meskipun memiliki banyak definisi, sebenarnya evaluasi pertama kali dikembangkan oleh Ralph Tayler (1950), yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Lalu dikembangkan lagi oleh dua orang ahli lain yakni, Cronbach dan Stuff lebeam .
Dilihat dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa secara teoritik ketiga istilah tersebut memiliki definisi berbeda. Namun, dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluai pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) dan pembandingan (assessment). Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa, assessment dan evaluasi adalah sama, karena merupakan sistem penilaian hasil belajar.
Dari uraian diatas sudah jelas sekali pengertian assessment, measurement, dan evaluasi. Adapun assessment dalam pembelajaran pendidikan agama islam, yaitu : Suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama islam.
B. TUJUAN DAN FUNGSI ASSESSMENT
Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
2.Untuk mengetahui efektifitas metode pembelajaran.
3.Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.
4.Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa fdalam rangka perbaikan.
Selain memiliki beberapa tujuan seperti yang disebutkan diatas, assessment atau penelitian memiliki fungsi sebagai alat seleksi, penempatan, diagnostik, formatif, dan sumatif. Guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Adapu penjelasannya, sebagai berikut :
1.Fungsi selektif, dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan.
2.Fungsi penempatan, dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta didik) dapat mengikutu pendidikan pada jenis atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
3.Fungsi diagnostik, dilaksanakan untuk mengidentifikasikan kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
4.Fungsi formatif, dilaksanakan untuk memberikan umpan balik guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan remedial atau perbaikan bagi murid.
5.Fungsi sumatif, dilaksanakan untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa assessment merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan assessment atau penilaian, guru dapat mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian peserta didik.
C. PENDEKATAN, PRINSIP DAN ACUAN ASSESSMENT
Dalam melakukan assessment, harus dilakukan pendekatan. Adapun pendekatan- pendekatan tersebut adalah :
•Menggunakan berbagai teknik.
•Menekankan hasil dengan memperhatikan input dan proses.
•Melihat dari perspektif taksonomi tujuan pendidikan, menilai perkembangan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sesuai karakteristik mata pelajaran.
•Menerapkan standar kompetensi lulusan.
•Menerapkan sistem penilaian acuan kriteria dan standar pencapaian yang konsisten.
•Menerapkan penilaian otentik untuk menjamin pencapaian kompetensi.
Adapun prinsip-prinsip assessment, yaitu :
•Penilaian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
•Mencermnkan masalah dunia nyata.
•Menggunakan berbagai ukuran, metode, teknik, dan kriteria sesuai dengan karakteristik dan essensi pengaloaman belajar.
Selain pendekatan dan prinsip dalam assessment, hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah acuan dalam assessment, adalah acuan kriteria. Sebab, kriteria digunakan asumsi bahwa hampir semua orang belajar apapun akan mampu, hanya kecepatan dan waktunya yang berbeda. Asumsi tersebut mengindikasikan perlunya program perbaikan atau remidial. Namun demikian, agar sistem assessment memenuhi prinsip kesahihan dan keandalan, maka harus memperhatikan :
•Aspek menyeluruh
•Berkelanjutan
•Berorientasi pada indikator ketercapaian
•Sesuai dengan pengalaman belajar
D. OBJEK ASSESSMENT
Pertanyaan pokok sebelum melakukan penilaian adalah apa yang harus dinilai itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus terlebih dahulu melihat kembali fungsi dari assessment, yaitu sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar peerta didik. Menurut Horward kingsley, proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya.
Selain pendapat Horward, masih banyak pendapat-pendat lain mengenai proses dan hasil belajar .Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut akhirnya diperoleh hasil pengklasifikasian secara garis besar, yang diungkapkan oleh Benyamin Bloom. Dimana benyamin membaginya menjadi tiga ranah atau objek, yaitu Kognitif, afktif dan psikomotorik.
1. KOGNITIF
Ranah kognitif berkenaan engan hasil belajar intyelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu :
•pengetahuan (recalling), kemampuan mengingat, misalnya: mengingat nama nabi
•pemahaman (comprehension), kemampuan memahami, misalnya: menyimpulkan suatu paragraf
•aplikasi (application), misalnya :menggunakan suatu informasi untuk memecahkan suatu masalah
•analisis (analysis), misalnya menganalisis suatu bentuk
•sintesis (syntesis), misalnya : menformulasikan hasil ceramah dosen dikelas dengan lingkungan sekitar
•dan evaluasi (evaluation), kemampuan mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.
2. AFEKTIF
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, dsb. Jika dalihat lebih dalam, pelajaran yang diberikan lebih banyak mengarah pada ranah kognitif, meskipun demikian ranah afektif tetap harus menjadi bagian intyegral dalam proses pembelajaran.
Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, yaitu :
•Menerima (receiving) termasuk kesadaran, keinginana untuk menerima stimulus, respon, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
•Menanggapi (responding) reaksi yang diberikan, ketepatan aksi, perasaan,dll.
•Menilai (evaluating) kesadaran menerima apa yang diberikan oleh para pendidik.
•Mengorganisir(organiation) pengembangab norma dan nilai.
•Membentuk watak (characterization) sistem nilai yang terbentuk mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku.
3. PSIKOMOTORIK
Psikomotorik merupakan tindakan seseorang yang dilandasi penjiwaan atas dasar teori yang dipahami dalam suatu mata pelajaran. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik diarahkan untuk menggali beberapa gerakan, ucapan, dan pengamalan keagamaan, seperti
•Gerakan wudlu, shalat
•Ucapan bacaan Al-Qur'an-qur’an dalam shalat
•Ucapan kalimat thayyibah
•Pengamalan, kebiasaan berdzikir, berdoa, maupun membaca Al-Qur'an-qur’an
Adapun tingkatan ketrampilan alam psikomotorik, yaitu :
•Gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar)
•Ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar
•Kemampuan perseptual
•Kemampuan di bidang fisik
•Gerakan-gerakan skill, mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks
•Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi
E. PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)
Penilaian berbasis kelas(PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasikan pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan
PBK merupakan arti penilaian sebagai assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur kebrrhasilan suatu program pendidikan.
Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa sevara individu pada khususnya. Adapun fungsi PBK, yaitu :
1.Memberikan umpan balik bagi sisa mengenaim kemampuan dan kekurangannya
2.Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa
3.Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya
4.Memungkinkan siswa mencapai kometensi yang telah ditentukan
Selain fungsi PBK memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1.Mengetahui kemajuan belajar siswa
2.Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran
3.Menentukan tindak lanjut pembelajaran bagi siswa
4.Membantu siswa untuk memilih bidang pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya
Adpun prinsip-prinsip PBK haruslah sangat diperhatikan, yaitu :
1.Valid, PBK harus mengukur objek obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih
2.Mendidik, PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa
3.Berorientasi pada kompetensi
4.Adil dan objektif
5.Terbuka, PBK Hendaknya dilakukan secara terbuka bagi semua kalangan
6.Berkesinambungan, PBK harus dilakukan secara terus-menerus
7.Menyeluruh, PBK harus menyeluruh dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
8.Bermakna, PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak
DAFTAR PUSTAKA
•Arikunto suharsini, 2005.Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan.Jakarta: Bumi aksara
•Zuhairini,1983.Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam.Surabaya: Usaha nasional
•Majid abdul, 2005.Perencanaan Pembelajaran.Bandung: Rosda karya
•Nasution, 2003.Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar.Jakarta: Bumi aksara
•Hamalik oemar, 2004.Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Bumi aksara
•Sudjana nana, 2005.Penilaian hasil proses belajar mengajar.Bandung: Rosda karya
•Nurkancana wayan, 1986. Evaluasi Pendidikan.Surabaya: Usaha nasional
•Mulyasa,2003.Kurikilum Berbasis Kompetensi.Bandung:Rosda karya
IKHWAN AL-SHAFA DAN PEMIKIRAN RASIONALNYA DALAM PENDIDIKAN
Kelompok Ikhwan al-Shafa mengklaim dirinya sebagai kelompok non-partisan, objektif, ahli mencintai kebenaran, elit intelektual dan solid-kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk ikut bergabung ke dalam kelompoknya yang (dengan bergabung) akan menjadi anggota kelompok orang-orang yang mulia, jujur, objektif, bermoral profetik dan bercita-cita luhur. Kelompok Ikhwan, menurut mereka, bukanlah perserikatan pengikut Setan yang hanya bertujuana memperoleh keuntungan material. Karena itu, "Wahai Saudaraku! Jadilah kamu sebagai kelompok orang-orang mukmin yang bahu-membahu untuk beramar makruf nahi munkar".
Sebagian sejarawan kontemporer menyimpulkan bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis yang beranggapan bahwa pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan dan etnik-kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyyah. Mereka berusaha keras menghilangkan ragam perselisihan dan mewadahinya kedalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.
Dalam konteks demikian, dapat kita kemukakan bahwa kelompok ikhwan pada kenyataannya adalah organisasi yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal-revoluisoner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Sebab, mereka sepakat bahwa fenomena kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme politik tidak akan kontinu kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme.
Dalam sejarah Islam kelompok Ikhwan al-Shafa tampil "eksklusif" dengan gerakan reformatif pendidikannya. Karena itu, mereka adalah Ta'limiyyun (bermisi pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuan politiknya. Kecenderungan ta'limiy ini, sangat tampak dalam praktek politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada penjenjangan dakwah (penyebaran misi). Penjenjangan dakwah dan aksinya mengikuti empat pelapisan:
Lapisan pertama, kelompok remaja dan pemuda berkisar usia 15-30 tahun. Kelompok usia ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Mengingat kelompok usia ini berstatus murid, sepantasnya bila mereka mengikuti para guru mereka. Lapisan kedua, kelompok orang dewasa yang berkisar usia 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui "simbol". Lapisan ketiga, kelompok individu yang berkisar usia 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui namus ilahy (Malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai dengan tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan para Nabi. Apabila seseorang mendekati usia 50 tahun-an, ia meningkat ke tingkatan lebih tinggi (keempat peny.) yang memungkinkannya menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para Malaikat terdekat (muqarrabun).
Dalam pola klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi:
1. Al-Abrar al-Ruhama' (yang baik-pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia 15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati, manis kata dan cepat paham.
2. Al-Akhyar al-Ruhama' (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok yang berusia 30 tahun-an. Mereka bercirikan concern terhadap Ikhwan, murah hati, lembut, santun dan pedili pada Ikhwan.
3. Al-Fudla' al-Kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang berusia 40 tahun-an. Mereka ini bercirikan otoritatif, direktif dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun dan rekonstruktif.
4. Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu anggota kelompok yang berusia 50 tahun-an. Mereka ini bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa dan penyaksian langsung kebenaran.
Keistimewaan berikutnya dari kelompok Ikhwan ada pada etos keilmuannya. Mereka tidak membatasi diri hanya dengan satu sumber, melainkan mereka benar-benar mengamalkan advokasi Nabi, "Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya dimanapun ditemukan". Dari sini, mereka mempunyai pandangan yang luas-menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan (ma'rifah). Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan ke dalam empat dimensi:
1. Kita suci yang diturunkan, semisal Taurat, Injil dan Al-Qur'an
2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama' (orang-orang bijak) dan filosof, baik berupa Matematika, Fisika-Kealaman, Sanstra dan Filsafat
3. Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana adanya
4. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).
Selain itu, ada keistimewaan lain yang dimiliki Ikhwan al-Shafa, sebagai suatu keistimewaan yang paling menonjol. Mereka menolak fanatisme, dan berpegang pada kebebasan berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Mereka menyeru kepada para pengikutnya agar tidak mengabaikan satu disiplin keilmuan pun, tidak bersikap antipasti terhadap satu kitab pun, atau bersikap fanatic buta terhadap madzhab tertentu. Dengan penentangan total terhadap fanatisme buta dan penerimaan penuh terhadap keterbukaan dan kebebasan intelektual, mereka mampu mempengaruhi gegerasi kurunnya untuk memahamia keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinamika keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual-sosialnya.
Mereka melihat bahwa dalam keragaman dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama' dan aliran-aliran pemikiran, terkandung banyak manfaat yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat luas. Kenyataan ini erat terkait dengan adanya potensi akal pikir masing-masing manusia yang sedemikian beragam (sehingga menghasilkan produk pemikiran yang variatif), bahkan hanya Allah yang bisa menghitungnya.
Melalui empat keistimewaan, pertama, aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas. Kedua, paradigm "ta'limiy" (pengajaran) dalam agenda politiknya. Ketiga, divesifikasi sumber-sumber pengetahuan. Dan keempat, penolakan fanatisme buta, (peneguhan) paham kebebasan dan apresiasi pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan sosial, kelompok Ikhwan al-Shafa mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam dan memberikan pengaruh positif yang nyata terhadapnya, bahkan para sejarawan kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa:
1. Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad keempat hijriah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang masalah ini.
2. Perintisan program penyusunan karya ensiklopedis pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah populer mereka.
3. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.
TUJUAN PENDIDIKAN MENURUT IKHWAN AL-SHAFA
Merupakan konsekuensi logis, bila karakteristik dasar pemikiran Ikhwan al-Shafa terefleksikan dalam pandangan pendidikannya. Seperti halnya setiap pengkaji pendidikan, Ikhwan mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka member porsi lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan individual. Ikhwan mengkritisi merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat pada masanya.
Ikhwan al-Shafa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, seperti telah dikonsepsi beberapa kalangan. Menurut Ikhwan, ilmu itu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan, yaitu pengenalan diri:
"Ketauhilah wahai saudaraku! –Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita—bahwa tujuan para filsof dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para murid adalah al-suluk (pembentukan karakter diri) dan penitian ke arah penguasaan ilmu-ilmu kealaman (Fisika), sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu kealaman adalah pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan (Teologis) yang menjadi puncak tujuan para filsof dan ilmuan bijak, dan muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman ilmu-ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain; mengingat juga manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma'rifat) terhadap Tuhannya, sementara hal ini hanya bisa diraih bila ia telah mampu mengenali dirinya sendiri, seperti difirmankan oleh Allah, "Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri" (jahl al-nafs), dan seperti apa yang diungkapkan, "Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengenali (ma'rifat) Tuhannya", demikian juga ungkapan," Orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah orang yang paling mengenali Tuhannya", maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan mempelajari ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara penyuciannya; Allah berfirman, "Demi jiwa dan apa yang Dia telah menyempurnakannya. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya".
Perlu diingat, keharusan manusia mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan hanya sebagai sarana perantara menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum. Sebab, tujuan pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan Malaikat yang suci, agar dapat meraih ridla Allah. Hal ini hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang dengan perilaku moral, sehingga ia sanggup mencapai puncak atau harakat kemanusiaan yang mendekati tingkat Malaikat dan mendekatkan diri ke haribaan Allah. Ia akan memperoleh ganjaran pahala yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata, sebagaimana diterangkan Allah, "Jiwa manusia tidak mengetahui apa yang Aku sembunyikan dari mereka berupa kesenangan sejati, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan". Proses kejadian yang dilalui manusia demikian itu berawal dari setetes air mani, kemudian segumpal darah kental yang melekat di dinding rahim, sekerat daging kenyal, janin yang sudah berupa manusia, bayi yang bergerak-gerak, anak kecil yang lincah, remaja yang gesit dan cerdas, orang dewasa yang bijaksana dan berpengalaman, orang tua yang sangat matang dan berkesadaran ketuhanan yang tinggi. Lalu, setelah ia meninggal dunia, jiwanya menjadi "makhluk" samawi yang kekal dan berbahagia dengan tiada putus-putusnya.
KONSEPSI TENTANG MANUSIA
Kelompok Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan ”dualistik" tentang konsep dasar manusia. Menurut Ikhwan sekiranya manusia itu tersusun dari unsure fisik-biologis dan unsure jiwa-rohaniah, maka sejatinya kedua unsur ini memilki perbedaan sifat dan berlawanan kondisinya, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat aksidentalnya. Karena unsure fisik-biologisnya, manusia berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup selama-lamanya. Sedangkan karena unsure jiwa-rohaniahnya, manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan.
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudahan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa bahwa manusia tersusun dari unsure fisik-biologis (jasmaniah) dan unsure jiwa-rohaniah.
Ketahuialah wahai saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata berkaitan dengan unsure fisik-biologis manusia, atau semata-mata berkaitan dengan unsure jiwa-rohaniahnya, melaikan berkaitan dengan totalitas dua unsure itu yang membentuk manusia yang hidup, berpikir dan mati. Kehidupan dan kemampuan berpikir manusia dikarenakan oleh unsur jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya dikarenakan unsur fisik-biologisnya. Demikian juga tidur manusia dekarenakan unsur fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur jiwa-rohaniahnya. Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang melingkupi kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur fisik-biologis, sebagian yang lain berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan, kebijaksanaan, kejujuran dan kebaikan, serta hal positif lainnya berasal dari jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semuanya itu berasal dari "fermentasi" anasir fisik-biologis manusia.
EPISTIMOLOGI IKHWAN AL-SHAFA
Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato yang menyatakan bahwa jiwa "mengetahui" dengan mengingat—ulang apa yang diperolehnya sewaktu berada di alam Ide, sebelum turun ke bumi. Di alam Ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam Ide yang bersifat rohaniah menuju alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam material), sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam Ide).
Berbeda dengan teori pengetahuan Plato, Ikhwan al-Shafa menganggap semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. "Banyak para pakar berpendapat bahwa pengetahuan-pengetahuan itu bertumpu pada premis-premis rasional. Mereka menganggap al-'ilm (aktivitas mengetahui) sebagai pengingat ulang, dengan berpijak pada teori pengetahuan Plato, padahal sebenarnya tidaklah seperti itu. Argumentasi keabsahan pendapat kami adalah, bahwa segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa "dirasiokan".
Sebagian sejarawan kontemporer menyimpulkan bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis yang beranggapan bahwa pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan dan etnik-kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyyah. Mereka berusaha keras menghilangkan ragam perselisihan dan mewadahinya kedalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.
Dalam konteks demikian, dapat kita kemukakan bahwa kelompok ikhwan pada kenyataannya adalah organisasi yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal-revoluisoner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Sebab, mereka sepakat bahwa fenomena kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme politik tidak akan kontinu kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme.
Dalam sejarah Islam kelompok Ikhwan al-Shafa tampil "eksklusif" dengan gerakan reformatif pendidikannya. Karena itu, mereka adalah Ta'limiyyun (bermisi pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuan politiknya. Kecenderungan ta'limiy ini, sangat tampak dalam praktek politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada penjenjangan dakwah (penyebaran misi). Penjenjangan dakwah dan aksinya mengikuti empat pelapisan:
Lapisan pertama, kelompok remaja dan pemuda berkisar usia 15-30 tahun. Kelompok usia ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Mengingat kelompok usia ini berstatus murid, sepantasnya bila mereka mengikuti para guru mereka. Lapisan kedua, kelompok orang dewasa yang berkisar usia 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui "simbol". Lapisan ketiga, kelompok individu yang berkisar usia 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui namus ilahy (Malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai dengan tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan para Nabi. Apabila seseorang mendekati usia 50 tahun-an, ia meningkat ke tingkatan lebih tinggi (keempat peny.) yang memungkinkannya menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para Malaikat terdekat (muqarrabun).
Dalam pola klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi:
1. Al-Abrar al-Ruhama' (yang baik-pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia 15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati, manis kata dan cepat paham.
2. Al-Akhyar al-Ruhama' (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok yang berusia 30 tahun-an. Mereka bercirikan concern terhadap Ikhwan, murah hati, lembut, santun dan pedili pada Ikhwan.
3. Al-Fudla' al-Kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang berusia 40 tahun-an. Mereka ini bercirikan otoritatif, direktif dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun dan rekonstruktif.
4. Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu anggota kelompok yang berusia 50 tahun-an. Mereka ini bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa dan penyaksian langsung kebenaran.
Keistimewaan berikutnya dari kelompok Ikhwan ada pada etos keilmuannya. Mereka tidak membatasi diri hanya dengan satu sumber, melainkan mereka benar-benar mengamalkan advokasi Nabi, "Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya dimanapun ditemukan". Dari sini, mereka mempunyai pandangan yang luas-menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan (ma'rifah). Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan ke dalam empat dimensi:
1. Kita suci yang diturunkan, semisal Taurat, Injil dan Al-Qur'an
2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama' (orang-orang bijak) dan filosof, baik berupa Matematika, Fisika-Kealaman, Sanstra dan Filsafat
3. Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana adanya
4. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).
Selain itu, ada keistimewaan lain yang dimiliki Ikhwan al-Shafa, sebagai suatu keistimewaan yang paling menonjol. Mereka menolak fanatisme, dan berpegang pada kebebasan berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Mereka menyeru kepada para pengikutnya agar tidak mengabaikan satu disiplin keilmuan pun, tidak bersikap antipasti terhadap satu kitab pun, atau bersikap fanatic buta terhadap madzhab tertentu. Dengan penentangan total terhadap fanatisme buta dan penerimaan penuh terhadap keterbukaan dan kebebasan intelektual, mereka mampu mempengaruhi gegerasi kurunnya untuk memahamia keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinamika keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual-sosialnya.
Mereka melihat bahwa dalam keragaman dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama' dan aliran-aliran pemikiran, terkandung banyak manfaat yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat luas. Kenyataan ini erat terkait dengan adanya potensi akal pikir masing-masing manusia yang sedemikian beragam (sehingga menghasilkan produk pemikiran yang variatif), bahkan hanya Allah yang bisa menghitungnya.
Melalui empat keistimewaan, pertama, aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas. Kedua, paradigm "ta'limiy" (pengajaran) dalam agenda politiknya. Ketiga, divesifikasi sumber-sumber pengetahuan. Dan keempat, penolakan fanatisme buta, (peneguhan) paham kebebasan dan apresiasi pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan sosial, kelompok Ikhwan al-Shafa mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam dan memberikan pengaruh positif yang nyata terhadapnya, bahkan para sejarawan kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa:
1. Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad keempat hijriah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang masalah ini.
2. Perintisan program penyusunan karya ensiklopedis pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah populer mereka.
3. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.
TUJUAN PENDIDIKAN MENURUT IKHWAN AL-SHAFA
Merupakan konsekuensi logis, bila karakteristik dasar pemikiran Ikhwan al-Shafa terefleksikan dalam pandangan pendidikannya. Seperti halnya setiap pengkaji pendidikan, Ikhwan mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka member porsi lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan individual. Ikhwan mengkritisi merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat pada masanya.
Ikhwan al-Shafa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, seperti telah dikonsepsi beberapa kalangan. Menurut Ikhwan, ilmu itu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan, yaitu pengenalan diri:
"Ketauhilah wahai saudaraku! –Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita—bahwa tujuan para filsof dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para murid adalah al-suluk (pembentukan karakter diri) dan penitian ke arah penguasaan ilmu-ilmu kealaman (Fisika), sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu kealaman adalah pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan (Teologis) yang menjadi puncak tujuan para filsof dan ilmuan bijak, dan muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman ilmu-ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain; mengingat juga manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma'rifat) terhadap Tuhannya, sementara hal ini hanya bisa diraih bila ia telah mampu mengenali dirinya sendiri, seperti difirmankan oleh Allah, "Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri" (jahl al-nafs), dan seperti apa yang diungkapkan, "Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengenali (ma'rifat) Tuhannya", demikian juga ungkapan," Orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah orang yang paling mengenali Tuhannya", maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan mempelajari ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara penyuciannya; Allah berfirman, "Demi jiwa dan apa yang Dia telah menyempurnakannya. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya".
Perlu diingat, keharusan manusia mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan hanya sebagai sarana perantara menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum. Sebab, tujuan pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan Malaikat yang suci, agar dapat meraih ridla Allah. Hal ini hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang dengan perilaku moral, sehingga ia sanggup mencapai puncak atau harakat kemanusiaan yang mendekati tingkat Malaikat dan mendekatkan diri ke haribaan Allah. Ia akan memperoleh ganjaran pahala yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata, sebagaimana diterangkan Allah, "Jiwa manusia tidak mengetahui apa yang Aku sembunyikan dari mereka berupa kesenangan sejati, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan". Proses kejadian yang dilalui manusia demikian itu berawal dari setetes air mani, kemudian segumpal darah kental yang melekat di dinding rahim, sekerat daging kenyal, janin yang sudah berupa manusia, bayi yang bergerak-gerak, anak kecil yang lincah, remaja yang gesit dan cerdas, orang dewasa yang bijaksana dan berpengalaman, orang tua yang sangat matang dan berkesadaran ketuhanan yang tinggi. Lalu, setelah ia meninggal dunia, jiwanya menjadi "makhluk" samawi yang kekal dan berbahagia dengan tiada putus-putusnya.
KONSEPSI TENTANG MANUSIA
Kelompok Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan ”dualistik" tentang konsep dasar manusia. Menurut Ikhwan sekiranya manusia itu tersusun dari unsure fisik-biologis dan unsure jiwa-rohaniah, maka sejatinya kedua unsur ini memilki perbedaan sifat dan berlawanan kondisinya, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat aksidentalnya. Karena unsure fisik-biologisnya, manusia berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup selama-lamanya. Sedangkan karena unsure jiwa-rohaniahnya, manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan.
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudahan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa bahwa manusia tersusun dari unsure fisik-biologis (jasmaniah) dan unsure jiwa-rohaniah.
Ketahuialah wahai saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata berkaitan dengan unsure fisik-biologis manusia, atau semata-mata berkaitan dengan unsure jiwa-rohaniahnya, melaikan berkaitan dengan totalitas dua unsure itu yang membentuk manusia yang hidup, berpikir dan mati. Kehidupan dan kemampuan berpikir manusia dikarenakan oleh unsur jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya dikarenakan unsur fisik-biologisnya. Demikian juga tidur manusia dekarenakan unsur fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur jiwa-rohaniahnya. Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang melingkupi kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur fisik-biologis, sebagian yang lain berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan, kebijaksanaan, kejujuran dan kebaikan, serta hal positif lainnya berasal dari jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semuanya itu berasal dari "fermentasi" anasir fisik-biologis manusia.
EPISTIMOLOGI IKHWAN AL-SHAFA
Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato yang menyatakan bahwa jiwa "mengetahui" dengan mengingat—ulang apa yang diperolehnya sewaktu berada di alam Ide, sebelum turun ke bumi. Di alam Ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam Ide yang bersifat rohaniah menuju alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam material), sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam Ide).
Berbeda dengan teori pengetahuan Plato, Ikhwan al-Shafa menganggap semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. "Banyak para pakar berpendapat bahwa pengetahuan-pengetahuan itu bertumpu pada premis-premis rasional. Mereka menganggap al-'ilm (aktivitas mengetahui) sebagai pengingat ulang, dengan berpijak pada teori pengetahuan Plato, padahal sebenarnya tidaklah seperti itu. Argumentasi keabsahan pendapat kami adalah, bahwa segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa "dirasiokan".
Langganan:
Postingan (Atom)