Selasa, 24 Agustus 2010

Peranan Pendidikan Dalam Permbentukan Budaya Politik Di Indonesia

Mochtar Buchori
Sebuah fenomena sejarah, bahwa antara periode sampai 1908 sampai 1945 ditandai oleh kehadiran pemimpin-pemimpin politik yang penuh dedikasi dan gigih dalam perjuangan untuk membuat Indonesia menjadi negara Indonesia merdeka.
Dan generasi politik dari periode 1959 sampai 1998 lebih mengutamakan kepentingan sendiri daripada kepentingan bangsa. Terasa sekali, bahwa selama periode ini segenap aspek kehidupan didominasi oleh elite politik yang berkuasa. Terlihat dari maraknya kesewenang-wenangan yang yang terjadi dimana-mana, yang dilakukan oleh berbagai kelompok penguasa, baik dari kalangan sipil sampai kalagan militer, tanpa ada satu kekuatan pollitik yang mampu menghentikannya.
Ada tiga generalisasi yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan kontras dalam periode 1908 sampai 1945, sebagai berikut:
Pertama, perbedaan dalam perilaku politik ini disebabkan oleh perbedaan dalam mutu pendidikan dasar yang mereka terima sebelum memasuki kehidupan politik.
Kedua, perbedaan ini disebabkan oleh karena pada era sebelum kemerdekaan dnia politik dihuni oleh “the education minority”, yaitu kelompok minoritas anggota masyarakat yang sempat mengenyam pendidikan yang cukup tinggi, sedangkan era pasca-kemerdekaan dunia politik dukuaisai oleh golongan penduduk yang relatif kurang terdidik, tetapi mampu menggalang dukungan dari masyarakat.
Ketiga, adanya perbedaan dalam Zitigeist, perbedaan dalam “semangat zaman” antara era sebelum kemerdekaan dengan pasca-kemerdekaan. Dalam periode 1908-1945 “semangat melawan dan membebaskan” tumbuh dengan kuat, sendangkan dalam periode 1959-1998 semangat melawan dan membebaskan ini diperlemah secara sistematis dan akhirnya menjadi lumpuh sama sekali. Semangat zaman ada selama era orde Baru ialah semangat “mengabdi penguasa”.
Dari ketiga generalisasi di atas , terlihat bahwa pendidikan bukan satu-satunya faktor yang menjadi sumber dari timbulnya perbedaan yang bersifat intergeneraional dalam budaya politik.
Berpolitik menuntut kemampuan memimpin masyarakat untuk mengejar dan mewujudkan suatu masyarakat ang didambakan bersama. Maka timbul tiga implikasi, yaitu:
Pertama, berpolitik menuntut kemampuan untuk membentuk gambaran mengenai jenis masyarakat yang ingin diwujudkan bersama.
Kedua,berpolitik menuntut kemampuan memperoleh kepercayaan masyarakat, kemampuan mempengaruhi pikiran masyarakat. Ini adalah masalah kekuasaan.
Ketiga, berpolitik yang baik mununtut kemampuan untuk mempergunakan kekuasaan kepercayaaan yang diterima dari masyarakat dengan baik.
Untuk membentuk reformasi pendidikan kepada generasi muda kemampuan intelektual umum yang memadai, yang akan memberikan kepada mereka learning capability yang cukup tinggi. Reformasi pendidikan untuk memungkinkan terjadi restorasi budaya politik sekali-kali tidak boleh dilakukan melalui “manipulasi politik” terhadap kurikulum, misalnya dengan memasukkan “muatan-muatan politik” ke dalamnya. Disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena tugas sekolah bukan hanya memberikan persiapan untuk hidup berpolitik, tetapi juga persiapan untuk jenis-jenis kehidupan yang lain, karena sekolah mempunyai tugas yang majemuk (multipurpose). Kedua, karena fungsi mepersiapkan generasi muda untuk kehidupan politik bukan hanya menjadi tugas sekolah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab dari lembaga-lembaga lain di luar sekolah, antara lain keluarga, organisasi pemuda dan partai politik.

Pendidikan Tinggi dan Demokrasi
Wuri Soedjadmiko
Demokrasi yang ideal adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kemerdekaan dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Demokrasi justru ada karena pengakuan terhadap pluralisme, terhadap pendapat yang berbeda dan kesanggupan menyelesaikan konflik untuk tujuan bersama. Demokrasi adalah suatu pola hidup bersama dan akumulasi pengalaman-pengalaman yang terkomunikasi bersama.
UNESCO menyatakan bahwa demokrasi ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
1. Anggota suatu masyarakat menghormati hukum dan tatanan. Artinya, demokrasi menghargai pendapat orang lain yang berbeda.
2. Kebebasan yang disertai tanggung jawab, dalam kebebasan mengemukakan pendapat ada pengakuan akan hak-hak warga lain dan hak pribadi pihak lain.
3. Persamaan dengan keyakinan akan martabat manusia serta pengakuan akan hak-hak orang lain, khususnya pihak minoritas dan yang tertindas.
4. Disiplin diri sendiri yang diwujudkan dalam tata krama berinteraksi antar sesama, dan apabila ada konflik , penyelesaian diambil tanpa menggunakan kekerasan.
5. Menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab meliputi kesiapan untuk menjadi sukarelawan dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat yang sadar akan kewajiban sebagai warga negara yang baik.
6. Keterbukaan akan kebenaran ilmiah dan kebenaran universal dan kesediaan untuk berdialog, berkonsultasi segera bernegosiasi.
7. Berpikir kritis dalam mencari kebenaran yaitu menggunakan pikiran yang kritis dan jernih, dan melakukan keputusan berdasarkan informasi yang cukup dan shahih, bukan atas prasangka.
8. Solidaritas menggaris bawahi kerja sama yang baik dalam tim, penggambilan keputusan bersama serta mencari penyelesaian masalah dengan damai.
Pemerataan pendidikan yang demokratis adalah kesempatan bagi semua yang “memiliki kapabilitas” untuk memasuki pendidikan tinggi.
Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skill melaporkan bahwa para pemberi kerja menyebutkan lima keterampilan pokok yang diharapkan ada dalam diri calon pekerja yang selama ini tidak ditransfer melaui pendidikan formal. Lima keterampilan tersebut adalah:
1. Mengidentifikasi, mengorganisasikan, merencanakan dan mengalokasikan sumber daya.
2. Bekerja sama dengan orang lain.
3. Memperoleh dan memanfaatkan informasi.
4. Memahami hubungan timbal-balik yang kompleks.
5. Bekerja sama berbagai teknologi.
Pendidikan demokrasi mendidik seseorang sehingga ia yakin bahwa ia dapat berpikir secara independen dan dapat menggunakan informasi, pengetahuan dan teknlogi untuk menggambil keputusan.
Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia dan Empat Pilar Pendidikan dalam aplikasinya:
1. Pendidikan kewarganegaraan.
2. Mata kuliah keilmuan dan keterampilan
3. Mata kuliah keahlian berkarya.
4. Mata kuliah perilaku berkarya.
5. Mata kuliah berkehidupan bersama.
Pendidikan tinggi sangat diharapkan dapat berperan sebagai agen perubahan. Khususnya, pendidikan tinggi di Indonesia diharapkan untuk berperan dalam pendidikan demokrasi agar makna demokrasi yang masih simpang siur dari ekstrem kiri ke ekstrem kanan dapat mencari pola demokrasi khas Indonesia. Pendidikan tinggi sudah tidak lagi dapat bekerja sendiri, tetapi harus menjangkau ke masyarakat luas, ke industri dan bekerja sama dengan mereka menyiapkan mahasiswa dengan pendidikan berkualitas.

Arah Pendidikan Nasional dalam Prespektif Historis
Diana Nomida Musnir
Pada tanggal 28 Oktober 1928, tokoh-tokoh pemuda yang mewakili organisasi-organisasi pemuda yang ada di Indonesia pada waktu itu mengikrarkan ”Sumpah Pemuda”. Ikrar sumpah pemuda merupakan kelanjutan dari kerja gerakan inteletual yan pada waktu itu mengeluarkan manifesto politik. Dan lahirnya manifesto poltik ini tentu saja merupakan akibat dari adanya sejumlah fakta sejarah.
Kata kunci untuk memaknai kesadaran sejarah secara berurutan adalah kebenaran sejarah, kearifan dan kebijaksanaan. Artinya dengan menelaah, menemukan, memahami serta menghayati adanya kebenaran sejarah maka seseorang atau kelompok masyarakat akan dapat mengambil keputusan bertindak yang bijaksana dengan penuh kearifan untuk menghadapi hidup dan kehidupan mereka, baik sebagi individu, kelompok masyarakat, pimpinan masyarakat, elite politik, elite pemerintah, pimpinan negara, ataupun pimpinan pemerintah.
Terkait dengan kehendak untuk melihat wajah pendidikan Nasional sejak proklamasi kemerdekaan hingga sekarang (55 tahun) maka perlu tersedia data rinci fakta tindakan pendidikan yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam rentang waktu 55 tahun setelah kemerdekaan Proklamasi tersebut. Memanfaatkan seperangkat informasi yang keberadaan dan kebenarannya telah secara umum diakui.
Fakta pertama yang terkait dengan pendidikan nasional yang kita miliki adalah adanya pesan atau perintah Undang-Undang Dasar terhadap pemerintah Indonesia untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Fakta kedua yang merupakan salah satu tonggak utama sejarah pendidikan nasional, adalah adanya rumusan tentang tujuan pendidikan nasional yang dituangkan dalam UU No.2 tahun 1989, Bab II Pasal 4 yang berisikan butir-butir: 1) mencerdaskan kehidupan bangsa, 2) mengembangkan konsep manusia Indonesia seutuhnya, 3) konsep manusia yang bermoral religius, berbudi pekerti luhur, berpengetahuan, cakap, sehat, dan sadar sebagai warga dan bangsa.
Fakta ketiga adalah fakta penilaian para ahli terhadap hasil atau akibat dari program pendidikan selama 55 tahun setelah proklamasi kemerdekaan
1. Negara bangsa Indonesia yang berdiri berdasar cita-cita budaya demokrasi, berperan mencerdaskan kehidupan bangsa yang diharapakn akan membawa keadilan dan kemakmuran bagi rakyat yang mana harapan bangsa ini diletakkan di atas potensi pendidikan.
2. Sistem pendidikan yang seyogyanya bisa membebaskan anak-anak menjadi manusia utuh bermartabat justru menjadi alat penyiksa.
3. Sistem pendidikan yang ada telah tergilas atau terhanyut oleh kekuatan-kekuatan atau sisem-sistem yang lain sehingga secara pasti tidak memungkinkah arah perjalannya dapat menuju ke tujuan pendidikan nasional apalagi ketercapaian dari tujuan pendidikan nasional itu.
4. Secara lebih spesifik dengan kurikulum 1994, suatu diskusi panel menyatakan bahwa di dalam kurikulum 1994 dapat diketahui bahwa hampir semua mata pelajaran pada kurikulum ini sangat berbasis materi yang dapat pula diartikan sebagai tidak berbasis atau tidak jelas berbasis pada tujuan-tujuan yang seharusnya diturunkan oleh tujuan pendidikan nasional.
Sebab akibat yang kita dapatkan dari “Quo Vadis”, yaitu:
1. Quo Vadis termasuk pastilah merupakan implikasi dari adanya upaya membandingkan antara tujuan pendidikan nasional yang hendak dicapai dan hasil atau rantai hasil yang senyatanya dicapai.
2. Di sisi lain, bila terjadi quo vadis pastilah adanya penyebabnya. Penyebabnya yang mungkin ditunjuk pastilah tertelak di antara tujuan yang dirancang dan hasil pencapaian tujuan.
3. Input termaksud adalah segala hal yang nyata digunakan untuk merencanakan dan melaksanakan pencapaian tujuan yang dirumus dalam context.
4. Selain proses termaksud akan berjalan dengan kenyataan input yang ada, namun ia juga ditentukan oleh kondisi yang senyatanya ada tentu saja belum tentu teramalkan apalagi terancangkan sebelumnya, khususnya kondisi-kondisi di luar program itu sendiri.
5. Bahwa apabila hendak dicari penyebab terjadinya quo vadis pendidikan di Indonesia, maka fokus sasarannya arus diarahkan kepada faktor input dan proses.
Pandangan mengenai quo vadis pendidikan di Indonesia, hampir semua kegagalan atau rendahnya kinerja pendidikan anak bangsa ini disebabkan oleh adanya berbagai arogansi, misalnya: arogansi kekuasaan, arogansi lembaga, arogansi etnis, arogansi sektor, dll. Bahkan Diana Nomida Musnir memberi nama era kita sekarang ini sebagai “era aroganisasi”.
Bahwasanya sistem pendidikan nasioanal ke depan akan menghadap berbagai masalah yang mendasar. Namun upaya yang harus dimulai, perlu memanfaatkan pendekatan futuristic-fundamental-scientific. Prinsip futuristic akan mengarahkan kepada kondisi masa depan bangsa, fundamental akan menjamin agar tidak selalu berubah karena hal-hal yang tidak mendasar dan scientific menjamin adanya objektivitas dari kenyataan dan kebenaran yang ditelaahnya.

Menolak Diskriminasi, Mendukung Otonomi
Al. Purwa Hadiwardoyo
Menurut Al. Purwa Hadiwardoyo tentang dikriminasi adalah perlakuan berbeda yang landasannya salah, misalnya pembedaan yang berdasarkan jenis kelamin, suku, ras dan agama, sedangkan pembedaan yang landasannya benar tetap dapat kita kembangkan, misalnya perlakuan yang berbeda atas dasar perbedaan semangat dan prestasi kerja. Dan yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi dalam melaksanakan tridharma-nya, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian bagi masyarakat.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1989 menyatakan pada pasal 16 bahwa tujuan dari pendidikan tinggi adalah “untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi atau kesenian”. Pertama, agar alumni perguruan tinggi memiliki kemampuan akademik atau profesional. Kedua, agar alumni dapat menerapkan, mengembangkan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian.
Penolakan terhadap diskriminasi di bidang pendidikan sudah ditegaskan oleh Undang-Undang nomor 2 tahun 1989. Pada pasal 5 dinyatakan bahwa ”setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh penididikan:, sedangkan pada pasal 7 dikemukakan bahwa ”penerimaan orang sebagai peserta didik dalam suatu satuan pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial dan tingkat kemampuan ekonomi”.

Globalisasi dan Pendidikan Nilai
J. Soedjati Djiwandono
Globalisasi bukan hanya gejala abad ke-20 atau 21. Proses itu sudah mulai berabad-abad yang lalu ketika manusia berhasil mengelilingi dunia oleh para pionir seperti Marcopolo, magellan dan Columbus. Jadi, globalisasi berawal dari tranportasi dan komunikasi. Tetapi, dampaknyasegera terasa dalam bidangekonomi dan perdagangan, yang mungkin pada awalnya memang menjadi tujuan utama kmunikasi dan tranportasi global.
Globalisasi telah menciptakan dunia yang semakin terbuka dan saling ketergantungan antarnegara dan antar bangsa. Negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia kini bukan saja saling terbuka satu sama lain, tetapi juga saling tergantung satu sama lain, kalaupun saling keterganrungan itu akan senantiasa bersifat asimetris, artinya satu negara lebih tergantung pada negara lain daripada sebaliknya. Karena saling ketergantungan semua negara pada prinsipnya akan terbuka terhadap pengaruh globalisasi. Tetapi karena saling ketergantungan dan saling keterbukaan itu tidak simetris, pengaruh globalisasi atas berbagai negara juga berbeda kadarnya.
Dampak globalisasi, secara tidak langsung sebagian dari kebiasaan baru itu dapat juga mempunyai implikasi moral. Kebiasaan konsumtif baru untuk mengunjungi rumah-rumah makan fast food seperti McDonald’s, Kentucky Fried Chikhen dan sebagainya, misalnya merupakan beberapa contoh. Ironisnya makanan-makanan seperti itu di negara-negara maju seperti AS dan Inggris, sering disebut sebagai junk food (makan sampah). Hasilnya untuk mengunjungi rumah-rumah makan tersebut dapat membantu menonjolkan kesenjangan sosial-ekonomi.
Yang lebih serius implikasi dan pengaruhnya adalah arus dan semakin menyebarnya nilai-nilai tertentu seperti materialisme, konsumerisme dan hedonisme, penggunaan kekerasan dan narkoba, yang jelas dapat merusak moral masyarakat dan kehidupan bangsa di negara-negara berkembang, terutama generasi mudanya.
Pendidikan nilai ditujukan, pertama, pada penanaman nilai-nilai untuk menangkis pengaruh nilai-nilai negatif atau yang cenderung mendorong nilai-nilai negara dalam artian moral yang merupakan akibat arus globalisasi. Untuk memerangi kecenderungan materialisme, konsumerisme dan hedonisme, misalnya yang dapat dibawa atau sekurang-kurangnya didorong oleh arus globalisasi, kita menanamkan pada generasi muda nilai sederhana dan cinta kasih kepada sesama, sekurang-kurangnya dalam bentuk kepedulian pada orang lain, kepada sesama.
Kesulitan dalam negara berkembang yang berkembang atau majemuk dalam pengertian etnis, rasial dankeagamaan adalah menemukan dan mengembangkan nilai-nilai moral yang universal, yang merupakan nilai bersama, kendati perbedaan latar belakang keagamaan atau perbedaan adat istiadat karena latar belakang rasial atau etnis. Pendidikan nilai-nilai moral yang universal merupakan proses belajar terus-menerus bagi semua orang dan semua golongan.
Dalam UU No:2 1989, pasal 11, ayat 6 dikatan bahwa “Pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan pesert didik untuk dapat menjalankan peranan yang menunutut penguasaan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan”, dengan penjelasan yang sebenarnya tidak bersifat penjelasan melainkan tambahan, “Pendidikan keagamaan diselenggarakan pada semua jenjang pendidikan”, artinya sampai orang menjadi dewasa . yang jelas, UU tidak memberikan kesempatan pengajaran agama sebagai ilmu atau pengetahuan bagi peserta didik, terlepas dari agama yang danutnya.

Praksis Pendidikan Berwawasan Ekologi
Djohar
Apabila dipandang dari segi ekologi pendidikan, maka penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya adalah upaya penciptaan berbagai kondisi yang banyak berdampak terhadap perubahan perilaku anak, yakni perubahan cara berpikir, perubanahan cara pengendalian diri dan cara pengendalian berinteraksi dengan orang lain dan terhadap pekerjaan. Maka penyelenggaraan pendidikan diharapkan menimbulkan sentuhan-sentuhan terhadap selain kemampuan multiintelejen anak, juga terhadap reaksi pisiknya atas rangsangan sentuhan-sentuhan itu.
Kondisi mendidik sangat diwaranai oleh paradigma pendidikan itu diakui. Apabila pendidikan dilakukan hanya dengan orientasi agar anak dapat mengikuti terus jenjang dan tingkat pendidikannya, maka tekanannya akan cenderung kepada penguasaan bahan pelajaran sebagai bagunan pengetahuan, tanpa mempedulikan aspek objek dan persoalan ilmunya maupun metodelogi dari ilmu serta kepentingan anak sebenarnya. Sebenarnya aspek objek dan persoalan serta metodelogi ilmu yang sebenarnya akan mampu membangkitkan berbagai potensi anak.
Pengajuan kompenen ekosistem itu pada dasarnya dapat untuk menunjukkan bahwa komponen sekolah bukan satu-satunya komponen yang mewarnai keberhasilan pendidikan anak, sehingga tuduhan terhadap rusaknya masyarakat tidak terus-menerus hanya diarahkan kepada peran sekolah saja, meskipun mungkin benar. Tapi apa saja yang teramasuk sebagai komponen ekosistem pendidikan? Yang dimaksud dengan ekosistem pendidikan dapat disadari bahwa lingkunganyalah anak terdidik, termasuk lingkungan keluarga, lingkungan sekolah atau teman dan ekositem sekolah, lingkungan masyarakat dengan berbagai karekteristik sosoial dan budayanya, lingkungan alam dan karekteristik geografinya, lingkungan sejarah masyarakat, linkungan politik negaranya, lingkungan kemajuan ilmu dan teknologi masyarakat dan lngkungan globalnya. Sekolah dengan karakterstik ekosistemnya hanya menjadi satu bagian saja dari ekosistem pendidikan anak, meskipun demikian sekolah diharapkan mempunyai kontribusi besar terhadap perubahan perilaku anak dengan dasar perbedaan menggunakan kurikulum.
Sebelum menentukan cara mengukur hasil pendidikan, yang perlu lebih awal dipikirkan adalah mengenai kriteria hasil pendidikan. Terutama terhadap pendidikan disekolah, ada yang memandang hasil pedidikan didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh anak, dan ada yang memandang hasil pendidikan didasarkan pada perubahan perilaku anak yang diperoleh dari proses pendidikan. Apabila digunakan klasifikasi pencapaian pendidikan menurut aspirasi Bloom, maka pusat perhatian hasil pendidikan diarahkan kepada pencapaian ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Apabila digunakan konsep UNESCO maka hasil pendidikan didasarkan pada pengalaman belajar anak, yaitu: 1) belajar mengetahui (learning to know), 2) belajar berbuat (learning to do), 3) belajarhidup bersama (learning to live together), 4) belajar menjadi seseorang (learning to be). Cara belajar menurut Bloom hanya memikirkan pengukuran pendidikan dari segi hasilnya, akan tetapi menurut UNESCO pendidikan justru diawali dari caranya memperoleh pengalaman. Kiranya inilah yang lebih sesuai dengan konsep pendidikan berwawasan ekologi, karena dari pengalaman itulah kemampuan anak dilatih untuk memiliki potensi dalam melaksanakan tarik-menarik antara dirinya dan ekosistemnya.
Ukuran hasil pendidikan yang bermakna adalah hasil pengamatan yang terus-menerus terhadap perubahan perilaku anak oleh guru dan sekolah bersama-sama orang tua. Ukuran melek ilmu bukan untuk mengukur hasil pendidikan, akan tetapi lebih bermakna untuk mengukur kemajuan ilmu dan teknologi yang terjadi di lingkungan anak sebagai salah satu komponen ekosistem pendidikan anak. Bahkan, melek ilmu lebih bermakna untuk mengukur kemajuan ilmu dan teknologi suatu daerah atau negara yang juga menjadi salah satu komponen ekosistem pendidikan anak di daerah atau negara tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar