Dari berbagai kejadian, musibah dan peristiwa-peristiwa lainnya di negeri kita belakangan ini, sebagian dari kita cenderung bersikap pasrah, tak mau tahu, saling menyalahkan dan akhirnya melupakannya. Padahal sebenarnya dari berbagai kejadian atau bencana yang terjadi secara berulang atau kejadian-kejadian lainnya sebenarnya telah bisa diprediksi sebelumnya dan kita bisa belajar bagaimana caranya agar hal tersebut tak terulang lagi, tapi nampaknya kita sulit utk bisa belajar dari apa-apa yg telah terjadi, waktu kita habis dengan saling menyalahkan atau melupakan semua masalah tersebut karena kita juga tersibukkan dengan masalah-masalah pribadi yg lebih mendesak. Sebagai contoh kita sadar, bahwa korupsi adalah salah satu sumber penyebab dari berbagai kesengsaraan yg kita alami, tapi bagaimana belajar supaya tak korupsi lagi, sulit juga. Akhirnya banyak kesalahan yang sama berulang ulang terjadi lagi, kita tak mau belajar dari sejarah, setidaknya sejarah pengalaman hidup kita pribadi.
Belajar, bukan hanya sekedar sekolah, atau membaca buku, tapi bisa mengambil pelajaran , mau belajar , mau merenungkan dari berbagai hal yg telah terjadi. dan itu semua dijadikan dasar utk berbuat, melakukan tindakan antisipasi. Saya jadi teringat dg filsafat minang, Alam terkembang jadi guru, kita perlu belajar dari alam, belajar dari sejarah, belajar dari kehidupan sehari2 , kita perlu membangun masyarakat pembelajar yg bisa dimulai dengan menjadi manusia pembelajar menurut istilah nya Andreas Harefa
Salah satu tanda sederhana, kebanyakan masyarakat kita bukan pembelajar yg baik, coba tengok rumah2 kita , pasti sebagian besar memiliki TV yg berada di ruang utama dan jadi penghabis waktu hidup nya, jarang sekali kita temui rumah2 yg memiliki lemari2 buku, atau semacam perpustakaan kecil, yg mana anggota keluarganya terbiasa membaca buku. Ini sebuah pertanda sederhana , bahwa orang2 di rumah tsb bukan lah manusia yg suka belajar, membaca buku, dll. Maksudnya belajar dalam arti luas, tak hanya di sekolah. Istilah nya dalam sosiologi adalah masyarakat literasi , kebalikan nya adalah masyarakat non literasi , atau masyarakat yg terbiasa dg budaya oral ( ngobrol , gossip dll ) dan menghabiskan waktu dalam hal2 yg sia2 spt hiburan dll.dalam istilah sosiologi ada pembagian masyarakat literasi dan non literasi, dalam kaitan dg kebiasaan membaca.
Masyarakat non literasi, yg tak terbiasa membaca, cenderung berpikir pendek, bertindak spontan dan reaktif. Karena itulah berbagai kejadian alam yg terjadi, atau kejadian2 lain nya, akan disikapi secara spontan dan reaktif saja, tanpa usaha perbaikan yg menyeluruh agar kejadian tsb tak terulang lagi.
masyarakat non literasi tak bisa menjadi pelajaran berharga dari berbagai kasus tsb, mereka tak terbiasa mengambil pelajaran , hikmah dari berbagai hal yg terjadi.
Membaca buku, adalah sebuah aktivitas timbal balik , pembaca perlu proses utk memahami makna dari apa yg dibaca nya, ia bisa meng apresiasi atau malah meng interograsi isi buku tsb, hal tsb akan menumbuhkan kebiasaan berpikir kreatif, reflektif, contemplatif dll
Kebiasaan membaca buku akan terbawa pula dalam hal2 sehari , sehingga kita bisa pula “membaca” dalam cara lain berbagai kejadian2 yg kita lihat, istilah filsafat nya “Alam nan terkembang”, hal tsb, sulit dilakukan oleh mereka yg tak terbiasa membaca.
Pendidikan atau Sekolah adalah salah satu sarana, dimana masyarakat non literasi ter transformasi menjadi masyarakat literasi ( memiliki budaya membaca ), seringkali tidak efektif juga dalam prosesnya.
Kegiatan belajar mengajar yg tidak menggunakan metodologi yg tepat, antara lain dg sekedar menjadi buku sebagai tempat kumpulan teori yg jadi hapalan, tidak merubah kebiasaan murid menjadi pembaca yg baik , mereka hanya terlatih menghapal isi buku, bukan meng apresiasi atau menggali makna yg mendalam dari isi buku tsb. Sehingga selepas sekolah, mereka tetap tak terbiasa membaca, ataupun bila suka membaca, tak terlatih untuk meng apresiasi isi buku yg dibaca nya.
Sekolah yg berhasil ialah tempat yg bisa men transformasi muridnya menjadi pembaca yg baik, bisa meng apresiasi isi buku dan bisa menterjemahkan kemampuan membaca tersebut ( apresiasi, analisa, refleksi dll ) , menjadi keahlian “membaca” pula terhadap kehidupan sehari hari, perjalanan hidup, sejarah dan berbagai kejadian lain nya. Hal tersebut tak begitu diperhatikan orang2, karena bagi mereka sekolah yg berhasil, ialah sekolah yg para lulusan nya, banyak masuk sekolah favorit atau gampang mendapatkan pekerjaan, sekolah tak ubahnya bagaikan pabrik (tenaga kerja) saja, bukan sebuah tempat dimana pencerahan bersemi.
parahnya lagi pada kondisi saat ini, masyarakat non literasi, terperangkap dg teknologi post literasi spt TV, HP, internet dll. sehingga berbagai perangkat teknologi tsb digunakan secara “in proper” , tak efektif dalam peningkatan kualitas perangkatn teknologi itu sendiri.
Sebagai contoh, ada HP digunakan utk ngobrol ngalor ngidul atau sms tak keruan lain nya, padahal HP nya sudah canggih dg fasilitas 3G segala, tapi hanya dipakai utk fungsi ecek2 saja. Ada internet malah sekedar di pakai chating ( di warnet kebanyakan mahasiswa malah chating atau liat gambar macem2 daripada dipake belajar misalnya ) , padahal komputernya sudah canggih dg dual core, pentium 5 dan MS vista segala.
Penggambaran kasarnya, mobil mewah sekelas ferarri atau lamborghini, mahal2 dibeli, tapi pengendaranya berkelakuan spt supir angkot yg membawanya di jalanan kampung yg sempit, becek dan berlubang, yah tak ada kelebihan fungsionalnya, kecuali sekedar gagah2 an ( memang demikian sebagian dari kita memberlakukan perangkat teknologi , hanya sekedar utk gagah2 an sajah )
Falsafah Alam terkembang jadi guru ataupun konsep Iqra ( bacalah ) dalam Al Qur’an , pada arti lain nya adalah sebuah ajakan untuk meninggalkan kebiasaan non literasi / budaya oral , menjadi masyarakat pembelajar yg tercerahkan, yg biasa mengambil pelajaran dari alam sekitar atau kejadian sehari2.
Semoga kita semua bisa selalu belajar dari alam , dari kehidupan kita sehari hari , Karena hanya keledai lah, yg terjatuh kembali ke lubang yg sama.
Sebagai penutup berikut saya sampaikan puisi dari penyair cilik, Abdurahman Faiz, berjudul : Anak TV dan Buku berdebu.
Setiap hari di TV kami saksikan kesadisan di luar logika, juga pertikaian yang tak kunjung selesai, di iringi goyangan dangdut merangsang , gosip para selebritis serta gentayangan para hantu setiap jamnya.
Kami larut dalam kisah cinta anak sekolah, sambil menertawakan kelakuan lucu para pelawak, lalu sibuk mendukung para bintang dadakan dengan mengobral pulsa sms. Dari pagi sampai malam, kami menghapal televisi, kami cerna kelicikan, darah dan goyangan serta semua jenis hanti sambil membiarkan buku buku berdebu tak tersentuh.
Di sekolah guru bertanya tentang cita cita, dan sambil menguap panjang (karena ngantuk banyak nonton TV), kami menjawab; “kami ingin jadi orang paling berguna di negeri ini, seperti pernah dinasehatkan orangtua, guru, ulama, politisi dan selebritis di layar televisi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar