Pendahuluan
Pada masa dewasa ini banyak bermunculan orang bahkan suatu komunitas yang menggunakan akal dan rasionya sebagai tolak ukur. Sebagai contoh suatu komunitas yang menamakan dirinya pengikut aliran Isa Bugis, yang mana kelompok ini menyatakan bahawasanya kita tidak perlu melakukan shalat karena shalat itu menurut mereka adalah cukup dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar. Jadi tidak perlu melakukan shalat sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar umat muslim. Mereka berdalil bahwasanya zaman ini adalah zaman sebelum hijrah, jadi shalat yang dilakukan adalah dengan meninggalkan perbuatan keji dan mungkar, sedangkan perintah untuk shalat sebagaimana yang dilakukan sebagian besar umat muslim adalah setelah hijrah.
Dari contoh diatas dapat diketahui bahwasanya, pemikiran rasional telah mendorong seseorang untuk menggunakan akal dan rasionya sebagai landasan berfikir dan mengabaiakan segala hal yang bersifat metafisika dan mengabaikan kebenaran yang sudah menjadi kebenaran umum dengan lebih mengutamakan pendapat pribadi.
Pengertian Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
Kehidupan dan Karya René Descartes
René Descartes atau Cartesius dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine, Perancis tahun 1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah hukum di Poitiers. Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof, Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les Passiones de L’ame (1650).
Sebab Timbulnya Pemikiran Rasionalis Descartes
Descartes merupakan orang pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya. Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas. Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada” .
Tentang Subtansi
Descartes berargumentasi dengan wujudnya ragu atas diri, Sementara manusia sebelum mencapai terminal ragu, terlebih dahulu dia harus temukan dirinya. Dan Descartes sendiri yang berkata "Aku ragu" dari sini akan menjadi terang bahwa Descartes tidak menemukan "ragu mutlak" akan tetapi "ragu bersyarat". Sebelum dia menemukan "keraguan", terlebih dahulu dia jumpai dirinya sendiri. Maksudnya adalah Descartes sebelum dia memberikan hukum dan berkata "ergo sum" dia telah menetapkan dirinya pada kata "to". Dan tak tercapai lagi gilirannya ketika dia mengejar "ergo sum". Karena keraguan tidak mungkin dapat terwujud tanpa adanya seorang peragu yang meragukan sesuatu. Dan di sinilah peran seorang peragu. Dirinya yang ia temukan sebelum segala sesuatu. Dimana dalam kasus Descartes, "Aku" adalah sedemikian jelas dan presentifnya . Jadi keraguan yang timbul dari cogito bukanlah keraguan skeptik yang tidak mungkin untuk diperoleh kebenaran darinya. Tapi, keraguan yang timbul disini adalah keraguan yang bersyarat yaitu membutuhkan suatu usaha untuk mencapai kebenaran.
Dari prinsip dasar Cogito tersebut, yang dikenalkan dengan istilah subtansi, ada tiga ide bawaan yang diajarkan oleh Descartes, yaitu :
a. Pemikiran. Saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir (cogito), maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakekat saya. Karena berpikir memiliki kemampuan untuk memeriksa secara detail dan terus-menerus meragukan sesuatu sampai pada kebenaran tanpa keraguan.
b. Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide sempurna (Cogito), mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Jadi konsepsi itu tidak berasal dari diri sendiri dan harus berasal dari Tuhan. Jadi Tuhan itu ada. Dan Tuhan dipikirikan sebagai subtansi yang tidak membutuhkan atau mensyaratkan apa-apa, agar “ada” sendiri.
c. Keluasaan. Saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi. karena adanya kegiatan berpikir dan Tuhan menjamin adanya kegiatan tersebut, maka apa yang dipikir, yaitu materi, pastilah ada juga secara riil.
Pikiran itu sesungguhnya adalah kesadaran, ia tidak mengambil tempat karena ia tidak dapat dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Tapi dunia luar adalah materi yang cenderung melakukan perluasan dan mengambil ruang, karennya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil dan lebih kecil lagi.
Metode Clear and Distinct
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain :
a. Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b. Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c. Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d. Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar :
a. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
b. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
c. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut. Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
d. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
Tentang Jiwa dan Materi
Descartes secara garis besar membagi dua dunia yang paralel tapi independen, yakni dunia jiwa dan dunia materi, yang masing-masing dapat dipelajari tanpa mengacu pada lainnya. Bahwa jiwa tidak menggerakkan tubuh secara implisit dan tubuh tidak menggerakkan jiwa. Dan seorang pribadi adalah penyambung bagi dua substansi yang berbeda tersebut. Dan pembedaan tersebut memberikan suatu bidang khusus pada ilmu, yang berkenaan pada dunia fisik dan agama. Jadi tubuh dan jiwa seperti sebuah koin yang satu menghadap keatas maka yang satu menghadap kebawah. Dan hal inilah yang menunjukkan sifat dualisme dalam pemikiran Descartes.
Ciri-Ciri Filsafat Descartes
1. Keraguan Mendasar
Inti metode Descartes adalah keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya. Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh melalui indera mempunyai tingikat kesalahan yang lebih tinggi.
2. Pengalaman Sebagai Perangsang Pikiran
Oleh Descartes pengalaman bukanlah sebagai sumber kebenaran, tapi pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
3. Hanya Percaya Pendapat Sendiri
Kemudian Descartes menolak untuk bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dalam melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju satu langkah pun dalam filsfat.......Pengertian historis kita lalu ditambah, namun bukan pemahaman kita.
Kritik Terhadap Rasionalisme Descartes
a. Dualisme pemikiran Descartes mengenai tubuh dan jiwa.
b. Tidak adanya kebenaran absolut dalam pemikiran Descartes.
c. Kecenderungannya pada akal telah melemahkan filsafatnya. Hal ini dikarenakan akal manusia itu terbatas.
d. Filsafatnya banyak dipengaruhi fisika dan matematika.
e. Inkonsistensi Descartes dalam filsafatnya. Ia menyatakan kebenaran hanya diperoleh melalui akal tapi pada kenyataannya ia masih tergantung pada keputusan Tuhan.
Referensi
Munir, M. Ied Al, Tinjauan terhadap metode Empirisme dan Rasionalisme, (Jurnal Filsafat, Desember 2004, Jilid 38, Nomor 3)
Anees, Bambang Q. [et.al.], filsafat untuk umum, (Jakarta: Prenada Media, 2003)
Solomon, Robert C. [et.al.], Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000)
Russell, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Belukar, 2004)
http://telagahikmah.org/id/index.php?option=com_content&task=view&id=136&Itemid=49/05-02-2009
Ada banyak bibit di dalam diri manusia. Ada bibit kebodohan, keserakahan, kemarahan, iri hati, dendam, dsb. Ada juga bibit kesabaran, kasih sayang, cinta, memaafkan, persahabatan, dsb. Pertanyaannya,, bibit-bibit mana yang kita sirami setiap harinya….???!!!!
Selasa, 14 Desember 2010
A COMPARISON OF THE ASSUMPTION OF ANDRAGOGY AND PEDAGOGY
INTRODUCTION
The assertion that first, there was pedagogy and then came andragogy, is simultaneously true and misleading. What is pedagogy? What is andragogy? Which preceded the other? And what, if anything,does any of this have to do with medical education? In this article, we will explore the answers tothese questions, review the historical bases for the pedagogical and andragogical paradigms.
THE ASSUMPTIONS OF PEDAGOGY
Pedagogy is derived from two words, paid meaning “child” (paediatrics/pediatrics derive from the same stem) and agogus meaning “leader of.” Thus, it literally means the art and science of teaching children. The roots of pedagogy can be traced back to seventh century Europe during the introduction of organized education at monastic schools which were also known as cathedral schools (Knowles et al., 1998). The primary purpose for the establishment of these institutions was the induction of young men into the priesthood. The model of pedagogy first emerged at this time and was founded on several assumptions about learners. These assumptions were to have a major impact on the designof the educational model. The first pedagogical assumption was the dependent personality of the learner. This implied that the learner not only did not know but could not know his or her own learning needs. The second assumption on which pedagogy was founded was that learning needed to be subjected-centered. Hence, instructional curricula were organized around subjects, such as arithmetic and geography. A third assumption emphasized extrinsic motivation as the most important driving force for learning. Therefore, learners needed to be motivated with prizes and punishment. The last foundational assumption of pedagogy was that the prior experience of the learner was irrelevant. This is the concept of the blank slate or tabula rasa. In this model, the teacher need not consider the student’s prior experience as consequential (Knowles et al., 1998). Later in the eighteenth and nineteenth centuries, as secular and public schools emerged in large numbers, pedagogy was readily adapted because it was the only existing educational model at the time. Today, many contend that the entire educational system has been frozen in the pedagogical approach, ever since the initial application of pedagogy in the eighteenth century. It should be noted that pedagogy is fundamentally a teacher-centered model, where the teacher determines what will be learned, how it will be learned, when it will be learned, and if it has been learned.
THE ASSUMPTIONS OF ANDRAGOGY
In 1833, a German grammar school teacher named Alexander Kapp coined the term andragogy (van Enckevort, 1971). Kapp used the word to describe the educational paradigm employed by the Greek philosopher Plato. The terminology never quite caught on until 1926 when Eduard C. Lindeman wrote extensively about andragogy (Gessner, 1956). In describing his theory of adult learning, Lindeman stated that The approach to adult learning will be via the root of problem solving, not subjects. I am conceiving adult education in terms of a new process by which the adult learns to become aware of and to evaluate his experience. To do this, he cannot begin by studying “subjects” in the hope that this information will be useful. On the contrary, he begins by giving attention to situations in which he finds himself, to problems which include obstacles to his self-fulfillment. Facts and information from the differentiated spheres of knowledge are used, not for the purpose of accumulation, but because of need in solving problems. In this process the teacher finds a new function. He is no longer the oracle who speaks from the platform of authority, but rather the guide, the pointer-out who also participates in learning in proportion to the vitality and relevance of his facts and experiences (Lindeman, 1926). Beginning in 1959, Malcolm Knowles expanded on the work of Eduard C. Lindeman. Extensive work by Knowles and other educators resulted in the development of new assumptions about adult learners (Cross, 1981; Knowles 1950, 1970, 1972, 1973, 1975, 1977, 1980, 1984, 1986, 1989, 1990; Knowles et al., 1998; Tough 1967, 1971, 1979, 1982):
I. The Need to Know. The first assumption is that adults need to know the utility and value of the material that they are learning before embarking on learning. As an example, Tough (1979) demonstrated that when adults undertake to learn something on their own, they invest considerable energy probing into the benefits they will gain from learning it and the negative consequences of not learning it.
II. The Learners Self-Concept. Adults have a deep psychological need to be seen by others and treated by others as being capable of self-direction. They resent and resist situations in which they feel that others are imposing their wills on them. However, an educational system that does not nurture this need for autonomy and self-direction is likely to produce adults who assume the role of dependent and passive learners.
III. The Role of Experience. Adult learning practitioners believe that prior experiences are the richest resources available to adult learners. Adults tend to come into adult education activities with a greater volume and higher quality of experience than younger children. Consequently, practitioners of adult learning theory tend to employ experiential techniques, such as simulation exercises, problem solving activities, case methods, laboratory methods, and group discussions.
IV. Readiness to Learn. In adults, readiness to learn is dependent on an appreciation of the relevancy of the topic. Adult learners tend to become ready to learn things that they believe they need to know or be able to do in order to cope effectively with real life situations and problems.
V. Orientation to Learning. In contrast with pedagogy, where orientation to learning is subject-centered, adult learning theory is of the view that an adult’s orientation to learning is problem-centered, task-centered, or life-centered. Adults are motivated to learn to the extent they perceive that the knowledge will help them perform tasks or solve problems that they may face in real life. Thus, adults learn best when new knowledge, skills, and attitude are presented in the context of real-life situations.
VI. Motivation. A sixth assumption of adult learning addresses the motivation to learn. While adults are responsive to extrinsic motivation, they are most driven by internal pressure, motivation, and the desire for self-esteem and goal attainment. Tough (1967, 1971, 1979, 1982) documented in his studies that all normal adults were motivated to keep learning, growing and developing.
One may conclude that andragogy and pedagogy are opposed to each other, but in fact, these are not necessarily mutually exclusive paradigms. It is true that the assumptions of pedagogy do not acknowledge the principles of andragogy (or adult learning theory), but rather focus on the dependent personality, subject-centeredness, extrinsic motivation, and irrelevant prior experiences. However, it should be noted that andragogy contains an appreciation and acceptance of pedagogy in many instances. Thus, an individual who is learning to fly an airplane for the first time and who has no prior aviation experience may be viewed as a dependent learner. In such a circumstance, it is entirely appropriate to employ the pedagogical approach and provide information in a dependent way. However, whereas adherents of pedagogy may sustain this approach indefinitely, practitioners of andragogy would gradually move the learner away from the dependency of pedagogy toward increasing autonomy and self-direction.
So, which came first, pedagogy or andragogy? At first glance, it might seem that the approach to adult learning is a relatively new concept, especially given that pedagogy was formally established in the seventeenth century and the term “andragogy” was only introduced in the nineteenth century. To the contrary, however, all of the great teachers of ancient times were teachers of adults, not children. The great teachers of ancient times all used the process of mental inquiry and believed in active participation of the learner, not passive reception of information. Additionally, they invented and perfected techniques for engaging adult learners. For example, Confucius, Lao Tse of China, the Hebrew Prophets, and Jesus in Biblical times separately invented what is described today as the “case method” (Knowles et al., 1998). In this process, the leader or one of the group members describes a situation (often in the form of a parable) and, together, the group explores its characteristics and possible resolutions. In ancient Greece, Aristotle, Socrates, and Plato invented and practiced the Socratic dialogue, which is quite similarto “problem-based learning” (Knowles et al., 1998). This was a process whereby the facilitator or a participant posed a question, dilemma, or problem, and the group pooled its thinking and experience to seek an answer or solution. Likewise in ancient Rome, Cicero, Evelid, and Quintillian invented a confrontational method in which they forced group members to state their theses or positions, and then to defend those positions (Knowles et al., 1998). Thus, it is evident that the great teachers of ancient times all employed principles of adult learning much earlier than the formal development of the model of pedagogy. These great teachers approached adult learning from an apparent understanding that adults had a need and capacity to be self-directing and autonomous. They also understood, perhaps intuitively, that adults had a need to organize learning around problems, not subjects. Our current understanding of adult learning comes not only from the practices of the great teachers of ancient times but also from groundbreaking work in the social sciences
CONCLUTION
In summary, andragogy is premised on several crucial assumptions about the nature and characteristics of adult learners . These assumptions are different from those that form the foundation of pedagogy, which are assumptions about child learners. Adult learning theory contends that as a person matures, his self-concept moves from dependency to self-directedness and autonomy. It maintains that adults accumulate a growing reserve of experiences, which form the richest resource for their learning. It argues that readiness to learn is increasingly oriented toward tasks associated with social roles. Adult learning theory also asserts that an adult’s time perspectivechanges from postponed application of knowledge to immediacy of application and accordingly, orientation to learning shifts from subject-centered to problemcentered. The Table summarizes the principles of adult learning derived from analyses and integration of all the bodies of work in this field.
The assertion that first, there was pedagogy and then came andragogy, is simultaneously true and misleading. What is pedagogy? What is andragogy? Which preceded the other? And what, if anything,does any of this have to do with medical education? In this article, we will explore the answers tothese questions, review the historical bases for the pedagogical and andragogical paradigms.
THE ASSUMPTIONS OF PEDAGOGY
Pedagogy is derived from two words, paid meaning “child” (paediatrics/pediatrics derive from the same stem) and agogus meaning “leader of.” Thus, it literally means the art and science of teaching children. The roots of pedagogy can be traced back to seventh century Europe during the introduction of organized education at monastic schools which were also known as cathedral schools (Knowles et al., 1998). The primary purpose for the establishment of these institutions was the induction of young men into the priesthood. The model of pedagogy first emerged at this time and was founded on several assumptions about learners. These assumptions were to have a major impact on the designof the educational model. The first pedagogical assumption was the dependent personality of the learner. This implied that the learner not only did not know but could not know his or her own learning needs. The second assumption on which pedagogy was founded was that learning needed to be subjected-centered. Hence, instructional curricula were organized around subjects, such as arithmetic and geography. A third assumption emphasized extrinsic motivation as the most important driving force for learning. Therefore, learners needed to be motivated with prizes and punishment. The last foundational assumption of pedagogy was that the prior experience of the learner was irrelevant. This is the concept of the blank slate or tabula rasa. In this model, the teacher need not consider the student’s prior experience as consequential (Knowles et al., 1998). Later in the eighteenth and nineteenth centuries, as secular and public schools emerged in large numbers, pedagogy was readily adapted because it was the only existing educational model at the time. Today, many contend that the entire educational system has been frozen in the pedagogical approach, ever since the initial application of pedagogy in the eighteenth century. It should be noted that pedagogy is fundamentally a teacher-centered model, where the teacher determines what will be learned, how it will be learned, when it will be learned, and if it has been learned.
THE ASSUMPTIONS OF ANDRAGOGY
In 1833, a German grammar school teacher named Alexander Kapp coined the term andragogy (van Enckevort, 1971). Kapp used the word to describe the educational paradigm employed by the Greek philosopher Plato. The terminology never quite caught on until 1926 when Eduard C. Lindeman wrote extensively about andragogy (Gessner, 1956). In describing his theory of adult learning, Lindeman stated that The approach to adult learning will be via the root of problem solving, not subjects. I am conceiving adult education in terms of a new process by which the adult learns to become aware of and to evaluate his experience. To do this, he cannot begin by studying “subjects” in the hope that this information will be useful. On the contrary, he begins by giving attention to situations in which he finds himself, to problems which include obstacles to his self-fulfillment. Facts and information from the differentiated spheres of knowledge are used, not for the purpose of accumulation, but because of need in solving problems. In this process the teacher finds a new function. He is no longer the oracle who speaks from the platform of authority, but rather the guide, the pointer-out who also participates in learning in proportion to the vitality and relevance of his facts and experiences (Lindeman, 1926). Beginning in 1959, Malcolm Knowles expanded on the work of Eduard C. Lindeman. Extensive work by Knowles and other educators resulted in the development of new assumptions about adult learners (Cross, 1981; Knowles 1950, 1970, 1972, 1973, 1975, 1977, 1980, 1984, 1986, 1989, 1990; Knowles et al., 1998; Tough 1967, 1971, 1979, 1982):
I. The Need to Know. The first assumption is that adults need to know the utility and value of the material that they are learning before embarking on learning. As an example, Tough (1979) demonstrated that when adults undertake to learn something on their own, they invest considerable energy probing into the benefits they will gain from learning it and the negative consequences of not learning it.
II. The Learners Self-Concept. Adults have a deep psychological need to be seen by others and treated by others as being capable of self-direction. They resent and resist situations in which they feel that others are imposing their wills on them. However, an educational system that does not nurture this need for autonomy and self-direction is likely to produce adults who assume the role of dependent and passive learners.
III. The Role of Experience. Adult learning practitioners believe that prior experiences are the richest resources available to adult learners. Adults tend to come into adult education activities with a greater volume and higher quality of experience than younger children. Consequently, practitioners of adult learning theory tend to employ experiential techniques, such as simulation exercises, problem solving activities, case methods, laboratory methods, and group discussions.
IV. Readiness to Learn. In adults, readiness to learn is dependent on an appreciation of the relevancy of the topic. Adult learners tend to become ready to learn things that they believe they need to know or be able to do in order to cope effectively with real life situations and problems.
V. Orientation to Learning. In contrast with pedagogy, where orientation to learning is subject-centered, adult learning theory is of the view that an adult’s orientation to learning is problem-centered, task-centered, or life-centered. Adults are motivated to learn to the extent they perceive that the knowledge will help them perform tasks or solve problems that they may face in real life. Thus, adults learn best when new knowledge, skills, and attitude are presented in the context of real-life situations.
VI. Motivation. A sixth assumption of adult learning addresses the motivation to learn. While adults are responsive to extrinsic motivation, they are most driven by internal pressure, motivation, and the desire for self-esteem and goal attainment. Tough (1967, 1971, 1979, 1982) documented in his studies that all normal adults were motivated to keep learning, growing and developing.
One may conclude that andragogy and pedagogy are opposed to each other, but in fact, these are not necessarily mutually exclusive paradigms. It is true that the assumptions of pedagogy do not acknowledge the principles of andragogy (or adult learning theory), but rather focus on the dependent personality, subject-centeredness, extrinsic motivation, and irrelevant prior experiences. However, it should be noted that andragogy contains an appreciation and acceptance of pedagogy in many instances. Thus, an individual who is learning to fly an airplane for the first time and who has no prior aviation experience may be viewed as a dependent learner. In such a circumstance, it is entirely appropriate to employ the pedagogical approach and provide information in a dependent way. However, whereas adherents of pedagogy may sustain this approach indefinitely, practitioners of andragogy would gradually move the learner away from the dependency of pedagogy toward increasing autonomy and self-direction.
So, which came first, pedagogy or andragogy? At first glance, it might seem that the approach to adult learning is a relatively new concept, especially given that pedagogy was formally established in the seventeenth century and the term “andragogy” was only introduced in the nineteenth century. To the contrary, however, all of the great teachers of ancient times were teachers of adults, not children. The great teachers of ancient times all used the process of mental inquiry and believed in active participation of the learner, not passive reception of information. Additionally, they invented and perfected techniques for engaging adult learners. For example, Confucius, Lao Tse of China, the Hebrew Prophets, and Jesus in Biblical times separately invented what is described today as the “case method” (Knowles et al., 1998). In this process, the leader or one of the group members describes a situation (often in the form of a parable) and, together, the group explores its characteristics and possible resolutions. In ancient Greece, Aristotle, Socrates, and Plato invented and practiced the Socratic dialogue, which is quite similarto “problem-based learning” (Knowles et al., 1998). This was a process whereby the facilitator or a participant posed a question, dilemma, or problem, and the group pooled its thinking and experience to seek an answer or solution. Likewise in ancient Rome, Cicero, Evelid, and Quintillian invented a confrontational method in which they forced group members to state their theses or positions, and then to defend those positions (Knowles et al., 1998). Thus, it is evident that the great teachers of ancient times all employed principles of adult learning much earlier than the formal development of the model of pedagogy. These great teachers approached adult learning from an apparent understanding that adults had a need and capacity to be self-directing and autonomous. They also understood, perhaps intuitively, that adults had a need to organize learning around problems, not subjects. Our current understanding of adult learning comes not only from the practices of the great teachers of ancient times but also from groundbreaking work in the social sciences
CONCLUTION
In summary, andragogy is premised on several crucial assumptions about the nature and characteristics of adult learners . These assumptions are different from those that form the foundation of pedagogy, which are assumptions about child learners. Adult learning theory contends that as a person matures, his self-concept moves from dependency to self-directedness and autonomy. It maintains that adults accumulate a growing reserve of experiences, which form the richest resource for their learning. It argues that readiness to learn is increasingly oriented toward tasks associated with social roles. Adult learning theory also asserts that an adult’s time perspectivechanges from postponed application of knowledge to immediacy of application and accordingly, orientation to learning shifts from subject-centered to problemcentered. The Table summarizes the principles of adult learning derived from analyses and integration of all the bodies of work in this field.
The Concept of Polygamy In Islam
Introduction
Basis of marriage has been arranged by Islam since 15th century ago as a way to maintain the relationship between humans. And the one of most common issues in marriage in Islam is polygamy . Some of Islamic scholars maintain that it is part of Islamic jurisprudence and hence men can take up to four wives, if they want to, with reasonable cause even. And some other is refused it because it is show unfair in Islam.
So in this a short paper will explain what is polygamy and its legal status in Islam, why Islam is allowed it and what is the concept of fair in polygamy.
The Meaning of Polygamy
The word of polygamy refers from Greece language. This word is taken from word poli or polus which means many. And gamein or gamos which means marriage or marrying. Then when the two words are combined this will mean a lot of the marriage. So polygamy is a system of marriage whereby one person has more than one pair. Polygamy can be of two types . One is Polygyny where a man marries more than one woman, and the other is polyandry, where a woman marries more than one man.
The Legal Status of Polygamy in Islam
Islamic scholars in the issue of polygamy have a different opinion. But on the whole they can be classified in three:
1. Groups that do not allow men marry more than one woman, except under certain conditions. That they be convinced about this generally refereed to contemporary Islamic thinker, such as Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad khan, Muhammad 'Abduh, Qasim Amin, Fazlur Rahman and others.
2. Groups that allow men marry more than one woman. This opinion is refereed to ulama salaf.
3. Groups that allow marrying more than four. This opinion is refereed to madzhab dhahiri.
The difference in opinion is caused by the difference in the way understanding Surah an-Nisa 'verse 3 , as a basis for the determination of the legal status of polygamy in Islam. But when we see to this verse, actually we will find a number of facts are evident :
1. That polygamy is neither mandatory, nor encouraged, but merely permitted.
2. That the permission to practice polygamy is not associated with mere satisfaction of passion. It is rather associated with compassion toward widows and orphans, a matter that is confirmed by the atmosphere in which the verse was revealed.
3. That even in such a situation, the permission is far more restricted than the normal practice which existed among the Arabs and other people at that time when many married as many as ten or more wives.
4. That dealing justly with one’s wives is an obligation. This applies to housing, food, clothing, kind treatment..etc., for which the husband is fully responsible. If one is not sure of being able to deal justly with them
So the conclusion of those facts is that verse is to remind these people who do polygamy to be fair to his wives and try to minimize the amount of his wives that he did not do wrong to his family.
The reason for allowing polygamy
The reason for not prohibiting polygamy categorically is perhaps due to the fact that there are certain conditions which face individuals and societies in different places and at different times, which make the limited practice of polygamy a better solution than either divorce or the hypocritical pretence of morality . But most of Islamic scholars is agree that polygamy is allowed if :
1. A man who discovers that his wife is barren, and who at the same time instinctively aspires to have children and heirs.
2. to maintain the integrity of the family without divorce wife. Even the wife can not do her duty as a wife, because of disability or disease.
3. to save her husband who get a hypersexual from the act of adultery and other moral crisis.
4. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological.
5. if the number of women more than the number of men, that can occur because of the war as in such as at the time of Rasulullah.
The main thing is that the existence of polygamy in Islam is as a way out of the existing social problems, especially to build a family. So, when we talk about polygamy is not to try to answer the questions of monogamy and polygamy, but this refers more to the existing conditions. And other things that also are not less important. Polygamy for a woman is as a two-edged knife. On the one hand he was faced in the effort to defend her husbands love. And On the one hand he was faced on the social problem. That is if she leaves polygamy she was closing the opportunities for other women to obtain a husband .
The Concept Fair in Polygamy
Anshri Thayib in his book writes the concept of fair in polygamy that must be fulfill for every husband who do polygamy. That fair in polygamy is fair in:
1. Share the love
2. Share attention and emotion
3. To give a wife the right form of livelihood
4. Provide opportunities through
Conclusion
Polygamy in Islam is one of the settlements of social problems in the community, especially to deal with problems that arise because of the large number of women than men. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological and the condition that allowed him.
Referensi
Anshari Thayib, Struktur rumah tangga muslim, (Surabaya: Risalah gusti, 1994)
Drs. Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah studi atas pemikiran Muhammad ‘Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji masagung, 1993)
http://www.thecheers.org/Religion/article_507_Polygamy-in-Islam.html/13-02-2009
http://www.al-islamforall.org/litre/Englitre/polygainis.htm/13-02-2009
Basis of marriage has been arranged by Islam since 15th century ago as a way to maintain the relationship between humans. And the one of most common issues in marriage in Islam is polygamy . Some of Islamic scholars maintain that it is part of Islamic jurisprudence and hence men can take up to four wives, if they want to, with reasonable cause even. And some other is refused it because it is show unfair in Islam.
So in this a short paper will explain what is polygamy and its legal status in Islam, why Islam is allowed it and what is the concept of fair in polygamy.
The Meaning of Polygamy
The word of polygamy refers from Greece language. This word is taken from word poli or polus which means many. And gamein or gamos which means marriage or marrying. Then when the two words are combined this will mean a lot of the marriage. So polygamy is a system of marriage whereby one person has more than one pair. Polygamy can be of two types . One is Polygyny where a man marries more than one woman, and the other is polyandry, where a woman marries more than one man.
The Legal Status of Polygamy in Islam
Islamic scholars in the issue of polygamy have a different opinion. But on the whole they can be classified in three:
1. Groups that do not allow men marry more than one woman, except under certain conditions. That they be convinced about this generally refereed to contemporary Islamic thinker, such as Syah Waliyullah, Sayyid Ahmad khan, Muhammad 'Abduh, Qasim Amin, Fazlur Rahman and others.
2. Groups that allow men marry more than one woman. This opinion is refereed to ulama salaf.
3. Groups that allow marrying more than four. This opinion is refereed to madzhab dhahiri.
The difference in opinion is caused by the difference in the way understanding Surah an-Nisa 'verse 3 , as a basis for the determination of the legal status of polygamy in Islam. But when we see to this verse, actually we will find a number of facts are evident :
1. That polygamy is neither mandatory, nor encouraged, but merely permitted.
2. That the permission to practice polygamy is not associated with mere satisfaction of passion. It is rather associated with compassion toward widows and orphans, a matter that is confirmed by the atmosphere in which the verse was revealed.
3. That even in such a situation, the permission is far more restricted than the normal practice which existed among the Arabs and other people at that time when many married as many as ten or more wives.
4. That dealing justly with one’s wives is an obligation. This applies to housing, food, clothing, kind treatment..etc., for which the husband is fully responsible. If one is not sure of being able to deal justly with them
So the conclusion of those facts is that verse is to remind these people who do polygamy to be fair to his wives and try to minimize the amount of his wives that he did not do wrong to his family.
The reason for allowing polygamy
The reason for not prohibiting polygamy categorically is perhaps due to the fact that there are certain conditions which face individuals and societies in different places and at different times, which make the limited practice of polygamy a better solution than either divorce or the hypocritical pretence of morality . But most of Islamic scholars is agree that polygamy is allowed if :
1. A man who discovers that his wife is barren, and who at the same time instinctively aspires to have children and heirs.
2. to maintain the integrity of the family without divorce wife. Even the wife can not do her duty as a wife, because of disability or disease.
3. to save her husband who get a hypersexual from the act of adultery and other moral crisis.
4. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological.
5. if the number of women more than the number of men, that can occur because of the war as in such as at the time of Rasulullah.
The main thing is that the existence of polygamy in Islam is as a way out of the existing social problems, especially to build a family. So, when we talk about polygamy is not to try to answer the questions of monogamy and polygamy, but this refers more to the existing conditions. And other things that also are not less important. Polygamy for a woman is as a two-edged knife. On the one hand he was faced in the effort to defend her husbands love. And On the one hand he was faced on the social problem. That is if she leaves polygamy she was closing the opportunities for other women to obtain a husband .
The Concept Fair in Polygamy
Anshri Thayib in his book writes the concept of fair in polygamy that must be fulfill for every husband who do polygamy. That fair in polygamy is fair in:
1. Share the love
2. Share attention and emotion
3. To give a wife the right form of livelihood
4. Provide opportunities through
Conclusion
Polygamy in Islam is one of the settlements of social problems in the community, especially to deal with problems that arise because of the large number of women than men. polygamy is allowed for people who are able to do justice. both in the economic or psychological and the condition that allowed him.
Referensi
Anshari Thayib, Struktur rumah tangga muslim, (Surabaya: Risalah gusti, 1994)
Drs. Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah studi atas pemikiran Muhammad ‘Abduh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji masagung, 1993)
http://www.thecheers.org/Religion/article_507_Polygamy-in-Islam.html/13-02-2009
http://www.al-islamforall.org/litre/Englitre/polygainis.htm/13-02-2009
Jumat, 03 Desember 2010
ASSESMENT DALAM PEMBELAJARAN PAI
A. PENGERTIAN
Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang diginakan, yakni pengukuran, assessment, dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Sementara pengertian assessment adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai pada taraf pengambilan keputusan.
Sedangkan evaluasi sendiri, secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian, Namun dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni :
1.Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu
2.Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan aras tujuan yang jelas
3.Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.
Meskipun memiliki banyak definisi, sebenarnya evaluasi pertama kali dikembangkan oleh Ralph Tayler (1950), yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Lalu dikembangkan lagi oleh dua orang ahli lain yakni, Cronbach dan Stuff lebeam .
Dilihat dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa secara teoritik ketiga istilah tersebut memiliki definisi berbeda. Namun, dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluai pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) dan pembandingan (assessment). Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa, assessment dan evaluasi adalah sama, karena merupakan sistem penilaian hasil belajar.
Dari uraian diatas sudah jelas sekali pengertian assessment, measurement, dan evaluasi. Adapun assessment dalam pembelajaran pendidikan agama islam, yaitu : Suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama islam.
B. TUJUAN DAN FUNGSI ASSESSMENT
Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
2.Untuk mengetahui efektifitas metode pembelajaran.
3.Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.
4.Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa fdalam rangka perbaikan.
Selain memiliki beberapa tujuan seperti yang disebutkan diatas, assessment atau penelitian memiliki fungsi sebagai alat seleksi, penempatan, diagnostik, formatif, dan sumatif. Guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Adapu penjelasannya, sebagai berikut :
1.Fungsi selektif, dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan.
2.Fungsi penempatan, dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta didik) dapat mengikutu pendidikan pada jenis atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
3.Fungsi diagnostik, dilaksanakan untuk mengidentifikasikan kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
4.Fungsi formatif, dilaksanakan untuk memberikan umpan balik guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan remedial atau perbaikan bagi murid.
5.Fungsi sumatif, dilaksanakan untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa assessment merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan assessment atau penilaian, guru dapat mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian peserta didik.
C. PENDEKATAN, PRINSIP DAN ACUAN ASSESSMENT
Dalam melakukan assessment, harus dilakukan pendekatan. Adapun pendekatan- pendekatan tersebut adalah :
•Menggunakan berbagai teknik.
•Menekankan hasil dengan memperhatikan input dan proses.
•Melihat dari perspektif taksonomi tujuan pendidikan, menilai perkembangan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sesuai karakteristik mata pelajaran.
•Menerapkan standar kompetensi lulusan.
•Menerapkan sistem penilaian acuan kriteria dan standar pencapaian yang konsisten.
•Menerapkan penilaian otentik untuk menjamin pencapaian kompetensi.
Adapun prinsip-prinsip assessment, yaitu :
•Penilaian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
•Mencermnkan masalah dunia nyata.
•Menggunakan berbagai ukuran, metode, teknik, dan kriteria sesuai dengan karakteristik dan essensi pengaloaman belajar.
Selain pendekatan dan prinsip dalam assessment, hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah acuan dalam assessment, adalah acuan kriteria. Sebab, kriteria digunakan asumsi bahwa hampir semua orang belajar apapun akan mampu, hanya kecepatan dan waktunya yang berbeda. Asumsi tersebut mengindikasikan perlunya program perbaikan atau remidial. Namun demikian, agar sistem assessment memenuhi prinsip kesahihan dan keandalan, maka harus memperhatikan :
•Aspek menyeluruh
•Berkelanjutan
•Berorientasi pada indikator ketercapaian
•Sesuai dengan pengalaman belajar
D. OBJEK ASSESSMENT
Pertanyaan pokok sebelum melakukan penilaian adalah apa yang harus dinilai itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus terlebih dahulu melihat kembali fungsi dari assessment, yaitu sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar peerta didik. Menurut Horward kingsley, proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya.
Selain pendapat Horward, masih banyak pendapat-pendat lain mengenai proses dan hasil belajar .Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut akhirnya diperoleh hasil pengklasifikasian secara garis besar, yang diungkapkan oleh Benyamin Bloom. Dimana benyamin membaginya menjadi tiga ranah atau objek, yaitu Kognitif, afktif dan psikomotorik.
1. KOGNITIF
Ranah kognitif berkenaan engan hasil belajar intyelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu :
•pengetahuan (recalling), kemampuan mengingat, misalnya: mengingat nama nabi
•pemahaman (comprehension), kemampuan memahami, misalnya: menyimpulkan suatu paragraf
•aplikasi (application), misalnya :menggunakan suatu informasi untuk memecahkan suatu masalah
•analisis (analysis), misalnya menganalisis suatu bentuk
•sintesis (syntesis), misalnya : menformulasikan hasil ceramah dosen dikelas dengan lingkungan sekitar
•dan evaluasi (evaluation), kemampuan mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.
2. AFEKTIF
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, dsb. Jika dalihat lebih dalam, pelajaran yang diberikan lebih banyak mengarah pada ranah kognitif, meskipun demikian ranah afektif tetap harus menjadi bagian intyegral dalam proses pembelajaran.
Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, yaitu :
•Menerima (receiving) termasuk kesadaran, keinginana untuk menerima stimulus, respon, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
•Menanggapi (responding) reaksi yang diberikan, ketepatan aksi, perasaan,dll.
•Menilai (evaluating) kesadaran menerima apa yang diberikan oleh para pendidik.
•Mengorganisir(organiation) pengembangab norma dan nilai.
•Membentuk watak (characterization) sistem nilai yang terbentuk mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku.
3. PSIKOMOTORIK
Psikomotorik merupakan tindakan seseorang yang dilandasi penjiwaan atas dasar teori yang dipahami dalam suatu mata pelajaran. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik diarahkan untuk menggali beberapa gerakan, ucapan, dan pengamalan keagamaan, seperti
•Gerakan wudlu, shalat
•Ucapan bacaan Al-Qur'an-qur’an dalam shalat
•Ucapan kalimat thayyibah
•Pengamalan, kebiasaan berdzikir, berdoa, maupun membaca Al-Qur'an-qur’an
Adapun tingkatan ketrampilan alam psikomotorik, yaitu :
•Gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar)
•Ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar
•Kemampuan perseptual
•Kemampuan di bidang fisik
•Gerakan-gerakan skill, mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks
•Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi
E. PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)
Penilaian berbasis kelas(PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasikan pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan
PBK merupakan arti penilaian sebagai assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur kebrrhasilan suatu program pendidikan.
Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa sevara individu pada khususnya. Adapun fungsi PBK, yaitu :
1.Memberikan umpan balik bagi sisa mengenaim kemampuan dan kekurangannya
2.Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa
3.Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya
4.Memungkinkan siswa mencapai kometensi yang telah ditentukan
Selain fungsi PBK memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1.Mengetahui kemajuan belajar siswa
2.Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran
3.Menentukan tindak lanjut pembelajaran bagi siswa
4.Membantu siswa untuk memilih bidang pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya
Adpun prinsip-prinsip PBK haruslah sangat diperhatikan, yaitu :
1.Valid, PBK harus mengukur objek obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih
2.Mendidik, PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa
3.Berorientasi pada kompetensi
4.Adil dan objektif
5.Terbuka, PBK Hendaknya dilakukan secara terbuka bagi semua kalangan
6.Berkesinambungan, PBK harus dilakukan secara terus-menerus
7.Menyeluruh, PBK harus menyeluruh dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
8.Bermakna, PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak
DAFTAR PUSTAKA
•Arikunto suharsini, 2005.Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan.Jakarta: Bumi aksara
•Zuhairini,1983.Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam.Surabaya: Usaha nasional
•Majid abdul, 2005.Perencanaan Pembelajaran.Bandung: Rosda karya
•Nasution, 2003.Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar.Jakarta: Bumi aksara
•Hamalik oemar, 2004.Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Bumi aksara
•Sudjana nana, 2005.Penilaian hasil proses belajar mengajar.Bandung: Rosda karya
•Nurkancana wayan, 1986. Evaluasi Pendidikan.Surabaya: Usaha nasional
•Mulyasa,2003.Kurikilum Berbasis Kompetensi.Bandung:Rosda karya
Sesungguhnya, dalam konteks penilaian ada beberapa istilah yang diginakan, yakni pengukuran, assessment, dan evaluasi. Pengukuran atau measurement merupakan suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas sesuatu yang bersifat numerik. Pengukuran lebih lebih bersifat kuantitatif, bahkan merupakan instrumen untuk melakukan penilaian. Sementara pengertian assessment adalah kegiatan mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran atau membanding-bandingkan dan tidak sampai pada taraf pengambilan keputusan.
Sedangkan evaluasi sendiri, secara harfiah dapat diartikan sebagai penilaian, Namun dari sisi terminologis ada beberapa definisi yang dapat dikemukakan, yakni :
1.Suatu proses sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan sesuatu
2.Kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik dan terarah berdasarkan aras tujuan yang jelas
3.Proses penentuan nilai berdasarkan data kuantitatif hasil pengukuran untuk keperluan pengambilan keputusan.
Meskipun memiliki banyak definisi, sebenarnya evaluasi pertama kali dikembangkan oleh Ralph Tayler (1950), yang menyatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Lalu dikembangkan lagi oleh dua orang ahli lain yakni, Cronbach dan Stuff lebeam .
Dilihat dari pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa secara teoritik ketiga istilah tersebut memiliki definisi berbeda. Namun, dalam kegiatan pembelajaran terkadang sulit untuk membedakan dan memisahkan batasan antara ketiganya, dan evaluai pada umumnya diawali dengan kegiatan pengukuran (measurement) dan pembandingan (assessment). Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa, assessment dan evaluasi adalah sama, karena merupakan sistem penilaian hasil belajar.
Dari uraian diatas sudah jelas sekali pengertian assessment, measurement, dan evaluasi. Adapun assessment dalam pembelajaran pendidikan agama islam, yaitu : Suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan didalam pendidikan agama islam.
B. TUJUAN DAN FUNGSI ASSESSMENT
Dalam konteks pelaksanaan pendidikan, evaluasi memiliki beberapa tujuan, antara lain sebagai berikut :
1.Untuk mengetahui kemajuan belajar siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
2.Untuk mengetahui efektifitas metode pembelajaran.
3.Untuk mengetahui kedudukan siswa dalam kelompoknya.
4.Untuk memperoleh masukan atau umpan balik bagi guru dan siswa fdalam rangka perbaikan.
Selain memiliki beberapa tujuan seperti yang disebutkan diatas, assessment atau penelitian memiliki fungsi sebagai alat seleksi, penempatan, diagnostik, formatif, dan sumatif. Guna mengetahui keberhasilan suatu proses dan hasil pembelajaran. Adapu penjelasannya, sebagai berikut :
1.Fungsi selektif, dilaksanakan untuk keperluan seleksi, yaitu menyeleksi calon peserta suatu lembaga pendidikan.
2.Fungsi penempatan, dilaksanakan untuk keperluan penempatan agar setiap orang (peserta didik) dapat mengikutu pendidikan pada jenis atau jenjang pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
3.Fungsi diagnostik, dilaksanakan untuk mengidentifikasikan kesulitan belajar yang dialami peserta didik.
4.Fungsi formatif, dilaksanakan untuk memberikan umpan balik guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan mengadakan remedial atau perbaikan bagi murid.
5.Fungsi sumatif, dilaksanakan untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajar masing-masing murid.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa assessment merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Dengan assessment atau penilaian, guru dapat mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan sosial, sikap dan kepribadian peserta didik.
C. PENDEKATAN, PRINSIP DAN ACUAN ASSESSMENT
Dalam melakukan assessment, harus dilakukan pendekatan. Adapun pendekatan- pendekatan tersebut adalah :
•Menggunakan berbagai teknik.
•Menekankan hasil dengan memperhatikan input dan proses.
•Melihat dari perspektif taksonomi tujuan pendidikan, menilai perkembangan secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sesuai karakteristik mata pelajaran.
•Menerapkan standar kompetensi lulusan.
•Menerapkan sistem penilaian acuan kriteria dan standar pencapaian yang konsisten.
•Menerapkan penilaian otentik untuk menjamin pencapaian kompetensi.
Adapun prinsip-prinsip assessment, yaitu :
•Penilaian merupakan bagian tak terpisahkan dari proses pembelajaran.
•Mencermnkan masalah dunia nyata.
•Menggunakan berbagai ukuran, metode, teknik, dan kriteria sesuai dengan karakteristik dan essensi pengaloaman belajar.
Selain pendekatan dan prinsip dalam assessment, hal yang paling penting yang tidak boleh dilupakan adalah acuan dalam assessment, adalah acuan kriteria. Sebab, kriteria digunakan asumsi bahwa hampir semua orang belajar apapun akan mampu, hanya kecepatan dan waktunya yang berbeda. Asumsi tersebut mengindikasikan perlunya program perbaikan atau remidial. Namun demikian, agar sistem assessment memenuhi prinsip kesahihan dan keandalan, maka harus memperhatikan :
•Aspek menyeluruh
•Berkelanjutan
•Berorientasi pada indikator ketercapaian
•Sesuai dengan pengalaman belajar
D. OBJEK ASSESSMENT
Pertanyaan pokok sebelum melakukan penilaian adalah apa yang harus dinilai itu. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus terlebih dahulu melihat kembali fungsi dari assessment, yaitu sebagai alat untuk mengetahui keberhasilan proses dan hasil belajar peerta didik. Menurut Horward kingsley, proses adalah kegiatan yang dilakukan oleh peserta didik dalam mencapai tujuan pengajaran, sedangkan hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah menerima pengalaman belajarnya.
Selain pendapat Horward, masih banyak pendapat-pendat lain mengenai proses dan hasil belajar .Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut akhirnya diperoleh hasil pengklasifikasian secara garis besar, yang diungkapkan oleh Benyamin Bloom. Dimana benyamin membaginya menjadi tiga ranah atau objek, yaitu Kognitif, afktif dan psikomotorik.
1. KOGNITIF
Ranah kognitif berkenaan engan hasil belajar intyelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu :
•pengetahuan (recalling), kemampuan mengingat, misalnya: mengingat nama nabi
•pemahaman (comprehension), kemampuan memahami, misalnya: menyimpulkan suatu paragraf
•aplikasi (application), misalnya :menggunakan suatu informasi untuk memecahkan suatu masalah
•analisis (analysis), misalnya menganalisis suatu bentuk
•sintesis (syntesis), misalnya : menformulasikan hasil ceramah dosen dikelas dengan lingkungan sekitar
•dan evaluasi (evaluation), kemampuan mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk.
2. AFEKTIF
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Beberapa ahli mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku, seperti perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, dsb. Jika dalihat lebih dalam, pelajaran yang diberikan lebih banyak mengarah pada ranah kognitif, meskipun demikian ranah afektif tetap harus menjadi bagian intyegral dalam proses pembelajaran.
Ada beberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil belajar, yaitu :
•Menerima (receiving) termasuk kesadaran, keinginana untuk menerima stimulus, respon, kontrol dan seleksi gejala atau rangsangan dari luar.
•Menanggapi (responding) reaksi yang diberikan, ketepatan aksi, perasaan,dll.
•Menilai (evaluating) kesadaran menerima apa yang diberikan oleh para pendidik.
•Mengorganisir(organiation) pengembangab norma dan nilai.
•Membentuk watak (characterization) sistem nilai yang terbentuk mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah laku.
3. PSIKOMOTORIK
Psikomotorik merupakan tindakan seseorang yang dilandasi penjiwaan atas dasar teori yang dipahami dalam suatu mata pelajaran. Hasil belajar psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik diarahkan untuk menggali beberapa gerakan, ucapan, dan pengamalan keagamaan, seperti
•Gerakan wudlu, shalat
•Ucapan bacaan Al-Qur'an-qur’an dalam shalat
•Ucapan kalimat thayyibah
•Pengamalan, kebiasaan berdzikir, berdoa, maupun membaca Al-Qur'an-qur’an
Adapun tingkatan ketrampilan alam psikomotorik, yaitu :
•Gerakan refleks (ketrampilan pada gerakan yang tidak sadar)
•Ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar
•Kemampuan perseptual
•Kemampuan di bidang fisik
•Gerakan-gerakan skill, mulai dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks
•Kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi
E. PENILAIAN BERBASIS KELAS (PBK)
Penilaian berbasis kelas(PBK) merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa dengan menerapkan prinsip-prinsip penilaian berkelanjutan, otentik, akurat, dan konsisten dalam kegiatan pembelajaran di bawah kewenangan guru di kelas. PBK mengidentifikasikan pencapaian kompetensi dan hasil belajar yang dikemukakan melalui pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai disertai dengan peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan
PBK merupakan arti penilaian sebagai assessment, yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan pembelajaran. Data atau informasi dari penilaian di kelas ini merupakan salah satu bukti yang digunakan untuk mengukur kebrrhasilan suatu program pendidikan.
Pada pelaksanaan PBK, peranan guru sangat penting dalam menentukan ketepatan jenis penilaian untuk menilai keberhasilan atau kegagalan siswa. PBK yang dilaksanakan oleh guru, harus memberikan makna signifikan bagi orang tua dan masyarakat pada umumnya, dan bagi siswa sevara individu pada khususnya. Adapun fungsi PBK, yaitu :
1.Memberikan umpan balik bagi sisa mengenaim kemampuan dan kekurangannya
2.Memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar siswa
3.Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya
4.Memungkinkan siswa mencapai kometensi yang telah ditentukan
Selain fungsi PBK memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1.Mengetahui kemajuan belajar siswa
2.Mengetahui tingkat efektifitas dan efisiensi berbagai komponen pembelajaran
3.Menentukan tindak lanjut pembelajaran bagi siswa
4.Membantu siswa untuk memilih bidang pendidikan sesuai dengan minat dan bakatnya
Adpun prinsip-prinsip PBK haruslah sangat diperhatikan, yaitu :
1.Valid, PBK harus mengukur objek obyek yang seharusnya diukur dengan menggunakan jenis alat ukur yang tepat atau sahih
2.Mendidik, PBK harus memberikan sumbangan positif pada pencapaian hasil belajar siswa
3.Berorientasi pada kompetensi
4.Adil dan objektif
5.Terbuka, PBK Hendaknya dilakukan secara terbuka bagi semua kalangan
6.Berkesinambungan, PBK harus dilakukan secara terus-menerus
7.Menyeluruh, PBK harus menyeluruh dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
8.Bermakna, PBK diharapkan mempunyai makna yang signifikan bagi semua pihak
DAFTAR PUSTAKA
•Arikunto suharsini, 2005.Dasar-Dasar Evaluasi pendidikan.Jakarta: Bumi aksara
•Zuhairini,1983.Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam.Surabaya: Usaha nasional
•Majid abdul, 2005.Perencanaan Pembelajaran.Bandung: Rosda karya
•Nasution, 2003.Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar.Jakarta: Bumi aksara
•Hamalik oemar, 2004.Perencanaan Pengajaran.Jakarta: Bumi aksara
•Sudjana nana, 2005.Penilaian hasil proses belajar mengajar.Bandung: Rosda karya
•Nurkancana wayan, 1986. Evaluasi Pendidikan.Surabaya: Usaha nasional
•Mulyasa,2003.Kurikilum Berbasis Kompetensi.Bandung:Rosda karya
IKHWAN AL-SHAFA DAN PEMIKIRAN RASIONALNYA DALAM PENDIDIKAN
Kelompok Ikhwan al-Shafa mengklaim dirinya sebagai kelompok non-partisan, objektif, ahli mencintai kebenaran, elit intelektual dan solid-kooperatif. Mereka mengajak masyarakat untuk ikut bergabung ke dalam kelompoknya yang (dengan bergabung) akan menjadi anggota kelompok orang-orang yang mulia, jujur, objektif, bermoral profetik dan bercita-cita luhur. Kelompok Ikhwan, menurut mereka, bukanlah perserikatan pengikut Setan yang hanya bertujuana memperoleh keuntungan material. Karena itu, "Wahai Saudaraku! Jadilah kamu sebagai kelompok orang-orang mukmin yang bahu-membahu untuk beramar makruf nahi munkar".
Sebagian sejarawan kontemporer menyimpulkan bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis yang beranggapan bahwa pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan dan etnik-kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyyah. Mereka berusaha keras menghilangkan ragam perselisihan dan mewadahinya kedalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.
Dalam konteks demikian, dapat kita kemukakan bahwa kelompok ikhwan pada kenyataannya adalah organisasi yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal-revoluisoner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Sebab, mereka sepakat bahwa fenomena kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme politik tidak akan kontinu kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme.
Dalam sejarah Islam kelompok Ikhwan al-Shafa tampil "eksklusif" dengan gerakan reformatif pendidikannya. Karena itu, mereka adalah Ta'limiyyun (bermisi pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuan politiknya. Kecenderungan ta'limiy ini, sangat tampak dalam praktek politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada penjenjangan dakwah (penyebaran misi). Penjenjangan dakwah dan aksinya mengikuti empat pelapisan:
Lapisan pertama, kelompok remaja dan pemuda berkisar usia 15-30 tahun. Kelompok usia ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Mengingat kelompok usia ini berstatus murid, sepantasnya bila mereka mengikuti para guru mereka. Lapisan kedua, kelompok orang dewasa yang berkisar usia 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui "simbol". Lapisan ketiga, kelompok individu yang berkisar usia 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui namus ilahy (Malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai dengan tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan para Nabi. Apabila seseorang mendekati usia 50 tahun-an, ia meningkat ke tingkatan lebih tinggi (keempat peny.) yang memungkinkannya menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para Malaikat terdekat (muqarrabun).
Dalam pola klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi:
1. Al-Abrar al-Ruhama' (yang baik-pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia 15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati, manis kata dan cepat paham.
2. Al-Akhyar al-Ruhama' (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok yang berusia 30 tahun-an. Mereka bercirikan concern terhadap Ikhwan, murah hati, lembut, santun dan pedili pada Ikhwan.
3. Al-Fudla' al-Kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang berusia 40 tahun-an. Mereka ini bercirikan otoritatif, direktif dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun dan rekonstruktif.
4. Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu anggota kelompok yang berusia 50 tahun-an. Mereka ini bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa dan penyaksian langsung kebenaran.
Keistimewaan berikutnya dari kelompok Ikhwan ada pada etos keilmuannya. Mereka tidak membatasi diri hanya dengan satu sumber, melainkan mereka benar-benar mengamalkan advokasi Nabi, "Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya dimanapun ditemukan". Dari sini, mereka mempunyai pandangan yang luas-menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan (ma'rifah). Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan ke dalam empat dimensi:
1. Kita suci yang diturunkan, semisal Taurat, Injil dan Al-Qur'an
2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama' (orang-orang bijak) dan filosof, baik berupa Matematika, Fisika-Kealaman, Sanstra dan Filsafat
3. Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana adanya
4. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).
Selain itu, ada keistimewaan lain yang dimiliki Ikhwan al-Shafa, sebagai suatu keistimewaan yang paling menonjol. Mereka menolak fanatisme, dan berpegang pada kebebasan berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Mereka menyeru kepada para pengikutnya agar tidak mengabaikan satu disiplin keilmuan pun, tidak bersikap antipasti terhadap satu kitab pun, atau bersikap fanatic buta terhadap madzhab tertentu. Dengan penentangan total terhadap fanatisme buta dan penerimaan penuh terhadap keterbukaan dan kebebasan intelektual, mereka mampu mempengaruhi gegerasi kurunnya untuk memahamia keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinamika keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual-sosialnya.
Mereka melihat bahwa dalam keragaman dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama' dan aliran-aliran pemikiran, terkandung banyak manfaat yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat luas. Kenyataan ini erat terkait dengan adanya potensi akal pikir masing-masing manusia yang sedemikian beragam (sehingga menghasilkan produk pemikiran yang variatif), bahkan hanya Allah yang bisa menghitungnya.
Melalui empat keistimewaan, pertama, aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas. Kedua, paradigm "ta'limiy" (pengajaran) dalam agenda politiknya. Ketiga, divesifikasi sumber-sumber pengetahuan. Dan keempat, penolakan fanatisme buta, (peneguhan) paham kebebasan dan apresiasi pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan sosial, kelompok Ikhwan al-Shafa mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam dan memberikan pengaruh positif yang nyata terhadapnya, bahkan para sejarawan kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa:
1. Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad keempat hijriah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang masalah ini.
2. Perintisan program penyusunan karya ensiklopedis pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah populer mereka.
3. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.
TUJUAN PENDIDIKAN MENURUT IKHWAN AL-SHAFA
Merupakan konsekuensi logis, bila karakteristik dasar pemikiran Ikhwan al-Shafa terefleksikan dalam pandangan pendidikannya. Seperti halnya setiap pengkaji pendidikan, Ikhwan mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka member porsi lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan individual. Ikhwan mengkritisi merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat pada masanya.
Ikhwan al-Shafa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, seperti telah dikonsepsi beberapa kalangan. Menurut Ikhwan, ilmu itu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan, yaitu pengenalan diri:
"Ketauhilah wahai saudaraku! –Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita—bahwa tujuan para filsof dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para murid adalah al-suluk (pembentukan karakter diri) dan penitian ke arah penguasaan ilmu-ilmu kealaman (Fisika), sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu kealaman adalah pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan (Teologis) yang menjadi puncak tujuan para filsof dan ilmuan bijak, dan muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman ilmu-ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain; mengingat juga manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma'rifat) terhadap Tuhannya, sementara hal ini hanya bisa diraih bila ia telah mampu mengenali dirinya sendiri, seperti difirmankan oleh Allah, "Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri" (jahl al-nafs), dan seperti apa yang diungkapkan, "Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengenali (ma'rifat) Tuhannya", demikian juga ungkapan," Orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah orang yang paling mengenali Tuhannya", maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan mempelajari ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara penyuciannya; Allah berfirman, "Demi jiwa dan apa yang Dia telah menyempurnakannya. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya".
Perlu diingat, keharusan manusia mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan hanya sebagai sarana perantara menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum. Sebab, tujuan pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan Malaikat yang suci, agar dapat meraih ridla Allah. Hal ini hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang dengan perilaku moral, sehingga ia sanggup mencapai puncak atau harakat kemanusiaan yang mendekati tingkat Malaikat dan mendekatkan diri ke haribaan Allah. Ia akan memperoleh ganjaran pahala yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata, sebagaimana diterangkan Allah, "Jiwa manusia tidak mengetahui apa yang Aku sembunyikan dari mereka berupa kesenangan sejati, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan". Proses kejadian yang dilalui manusia demikian itu berawal dari setetes air mani, kemudian segumpal darah kental yang melekat di dinding rahim, sekerat daging kenyal, janin yang sudah berupa manusia, bayi yang bergerak-gerak, anak kecil yang lincah, remaja yang gesit dan cerdas, orang dewasa yang bijaksana dan berpengalaman, orang tua yang sangat matang dan berkesadaran ketuhanan yang tinggi. Lalu, setelah ia meninggal dunia, jiwanya menjadi "makhluk" samawi yang kekal dan berbahagia dengan tiada putus-putusnya.
KONSEPSI TENTANG MANUSIA
Kelompok Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan ”dualistik" tentang konsep dasar manusia. Menurut Ikhwan sekiranya manusia itu tersusun dari unsure fisik-biologis dan unsure jiwa-rohaniah, maka sejatinya kedua unsur ini memilki perbedaan sifat dan berlawanan kondisinya, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat aksidentalnya. Karena unsure fisik-biologisnya, manusia berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup selama-lamanya. Sedangkan karena unsure jiwa-rohaniahnya, manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan.
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudahan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa bahwa manusia tersusun dari unsure fisik-biologis (jasmaniah) dan unsure jiwa-rohaniah.
Ketahuialah wahai saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata berkaitan dengan unsure fisik-biologis manusia, atau semata-mata berkaitan dengan unsure jiwa-rohaniahnya, melaikan berkaitan dengan totalitas dua unsure itu yang membentuk manusia yang hidup, berpikir dan mati. Kehidupan dan kemampuan berpikir manusia dikarenakan oleh unsur jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya dikarenakan unsur fisik-biologisnya. Demikian juga tidur manusia dekarenakan unsur fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur jiwa-rohaniahnya. Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang melingkupi kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur fisik-biologis, sebagian yang lain berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan, kebijaksanaan, kejujuran dan kebaikan, serta hal positif lainnya berasal dari jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semuanya itu berasal dari "fermentasi" anasir fisik-biologis manusia.
EPISTIMOLOGI IKHWAN AL-SHAFA
Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato yang menyatakan bahwa jiwa "mengetahui" dengan mengingat—ulang apa yang diperolehnya sewaktu berada di alam Ide, sebelum turun ke bumi. Di alam Ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam Ide yang bersifat rohaniah menuju alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam material), sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam Ide).
Berbeda dengan teori pengetahuan Plato, Ikhwan al-Shafa menganggap semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. "Banyak para pakar berpendapat bahwa pengetahuan-pengetahuan itu bertumpu pada premis-premis rasional. Mereka menganggap al-'ilm (aktivitas mengetahui) sebagai pengingat ulang, dengan berpijak pada teori pengetahuan Plato, padahal sebenarnya tidaklah seperti itu. Argumentasi keabsahan pendapat kami adalah, bahwa segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa "dirasiokan".
Sebagian sejarawan kontemporer menyimpulkan bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis yang beranggapan bahwa pangkal perseteruan sosial, politik dan keagamaan terdapat pada keragaman agama, aliran keagamaan dan etnik-kesukuan dalam kekhalifahan Abbasiyyah. Mereka berusaha keras menghilangkan ragam perselisihan dan mewadahinya kedalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disarikan dari semua agama dan aliran yang ada.
Dalam konteks demikian, dapat kita kemukakan bahwa kelompok ikhwan pada kenyataannya adalah organisasi yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal-revoluisoner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Sebab, mereka sepakat bahwa fenomena kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme politik tidak akan kontinu kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka, maka akan sulit terjadi kelaliman, otoritarianisme dan tiranisme.
Dalam sejarah Islam kelompok Ikhwan al-Shafa tampil "eksklusif" dengan gerakan reformatif pendidikannya. Karena itu, mereka adalah Ta'limiyyun (bermisi pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuan politiknya. Kecenderungan ta'limiy ini, sangat tampak dalam praktek politiknya, yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada penjenjangan dakwah (penyebaran misi). Penjenjangan dakwah dan aksinya mengikuti empat pelapisan:
Lapisan pertama, kelompok remaja dan pemuda berkisar usia 15-30 tahun. Kelompok usia ini, pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Mengingat kelompok usia ini berstatus murid, sepantasnya bila mereka mengikuti para guru mereka. Lapisan kedua, kelompok orang dewasa yang berkisar usia 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui "simbol". Lapisan ketiga, kelompok individu yang berkisar usia 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui namus ilahy (Malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai dengan tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan para Nabi. Apabila seseorang mendekati usia 50 tahun-an, ia meningkat ke tingkatan lebih tinggi (keempat peny.) yang memungkinkannya menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para Malaikat terdekat (muqarrabun).
Dalam pola klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi:
1. Al-Abrar al-Ruhama' (yang baik-pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia 15 tahun-an. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati, manis kata dan cepat paham.
2. Al-Akhyar al-Ruhama' (yang terpilih-mulia), yaitu anggota kelompok yang berusia 30 tahun-an. Mereka bercirikan concern terhadap Ikhwan, murah hati, lembut, santun dan pedili pada Ikhwan.
3. Al-Fudla' al-Kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang berusia 40 tahun-an. Mereka ini bercirikan otoritatif, direktif dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun dan rekonstruktif.
4. Al-Balighun Malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu anggota kelompok yang berusia 50 tahun-an. Mereka ini bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa dan penyaksian langsung kebenaran.
Keistimewaan berikutnya dari kelompok Ikhwan ada pada etos keilmuannya. Mereka tidak membatasi diri hanya dengan satu sumber, melainkan mereka benar-benar mengamalkan advokasi Nabi, "Hikmah itu barang hilang orang mukmin, ia akan mengambilnya dimanapun ditemukan". Dari sini, mereka mempunyai pandangan yang luas-menyeluruh tentang sumber-sumber pengetahuan (ma'rifah). Ikhwan al-Shafa membagi sumber pengetahuan ke dalam empat dimensi:
1. Kita suci yang diturunkan, semisal Taurat, Injil dan Al-Qur'an
2. Kitab-kitab yang disusun oleh para hukama' (orang-orang bijak) dan filosof, baik berupa Matematika, Fisika-Kealaman, Sanstra dan Filsafat
3. Alam, yakni bentuk empiris (phenoumenon) segala yang sesuatu sebagaimana adanya
4. Perenungan alam semesta dan tata aturan kosmiknya, atau sering disebut substansi noumenon, ragam dan macamnya, serta kaitan fungsionalnya dengan kenyataan empiris (phenoumenon).
Selain itu, ada keistimewaan lain yang dimiliki Ikhwan al-Shafa, sebagai suatu keistimewaan yang paling menonjol. Mereka menolak fanatisme, dan berpegang pada kebebasan berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Mereka menyeru kepada para pengikutnya agar tidak mengabaikan satu disiplin keilmuan pun, tidak bersikap antipasti terhadap satu kitab pun, atau bersikap fanatic buta terhadap madzhab tertentu. Dengan penentangan total terhadap fanatisme buta dan penerimaan penuh terhadap keterbukaan dan kebebasan intelektual, mereka mampu mempengaruhi gegerasi kurunnya untuk memahamia keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluraritas aliran pemikiran dalam pengembangan dinamika keilmuan dan akselerasi derap langkah kemajuan intelektual-sosialnya.
Mereka melihat bahwa dalam keragaman dan perbedaan pendapat di kalangan para ulama' dan aliran-aliran pemikiran, terkandung banyak manfaat yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat luas. Kenyataan ini erat terkait dengan adanya potensi akal pikir masing-masing manusia yang sedemikian beragam (sehingga menghasilkan produk pemikiran yang variatif), bahkan hanya Allah yang bisa menghitungnya.
Melalui empat keistimewaan, pertama, aplikasi keilmuan atas problema sosial melalui sistem pendidikan yang efektif dan berorientasi pada rekonstruksi keseimbangan ranah intelektual dan moral, dan pembebasan potensi nalar masyarakat luas. Kedua, paradigm "ta'limiy" (pengajaran) dalam agenda politiknya. Ketiga, divesifikasi sumber-sumber pengetahuan. Dan keempat, penolakan fanatisme buta, (peneguhan) paham kebebasan dan apresiasi pluralitas pemikiran sebagai hal produktif bagi dinamika intelektual dan sosial, kelompok Ikhwan al-Shafa mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam dan memberikan pengaruh positif yang nyata terhadapnya, bahkan para sejarawan kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini dalam memacu perkembangan pemikiran Islam, yaitu berupa:
1. Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual di abad keempat hijriah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang masalah ini.
2. Perintisan program penyusunan karya ensiklopedis pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah populer mereka.
3. Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.
TUJUAN PENDIDIKAN MENURUT IKHWAN AL-SHAFA
Merupakan konsekuensi logis, bila karakteristik dasar pemikiran Ikhwan al-Shafa terefleksikan dalam pandangan pendidikannya. Seperti halnya setiap pengkaji pendidikan, Ikhwan mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang ingin direalisasikan melalui aktivitas pendidikan. Secara nyata mereka member porsi lebih terhadap tujuan sosial dibanding tujuan individual. Ikhwan mengkritisi merebaknya pemikiran-pemikiran merusak yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat pada masanya.
Ikhwan al-Shafa mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, seperti telah dikonsepsi beberapa kalangan. Menurut Ikhwan, ilmu itu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan, yaitu pengenalan diri:
"Ketauhilah wahai saudaraku! –Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita—bahwa tujuan para filsof dan pakar mempelajari ilmu-ilmu pasti dan mengajarkannya kepada para murid adalah al-suluk (pembentukan karakter diri) dan penitian ke arah penguasaan ilmu-ilmu kealaman (Fisika), sedangkan tujuan mereka mempelajari ilmu-ilmu kealaman adalah pendakian menuju penguasaan ilmu-ilmu ketuhanan (Teologis) yang menjadi puncak tujuan para filsof dan ilmuan bijak, dan muara dari ragam pengetahuan tentang hakikat. Mengingat tahapan awal pemahaman ilmu-ilmu ketuhanan adalah pengenalan akan substansi jiwa, pengkajian perihal awal kejadiannya sebelum bersatu dengan jasad, penelaahan tentang muara akhirnya setelah berpisah dengan jasad dan tentang perihal pahala yang akan diterima orang-orang yang baik di akhirat, dan hal-hal lain; mengingat juga manusia sangat dituntut untuk mengenali (ma'rifat) terhadap Tuhannya, sementara hal ini hanya bisa diraih bila ia telah mampu mengenali dirinya sendiri, seperti difirmankan oleh Allah, "Dan tidaklah ada orang yang membenci agama Ibrahim, kecuali orang yang tidak mengenali dirinya sendiri" (jahl al-nafs), dan seperti apa yang diungkapkan, "Barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka ia akan mampu mengenali (ma'rifat) Tuhannya", demikian juga ungkapan," Orang yang paling mampu mengenali dirinya sendiri, dialah orang yang paling mengenali Tuhannya", maka setiap orang yang berakal dituntut untuk mencari dan mempelajari ilmu tentang jiwa, pengetahuan tentang substansinya dan cara penyuciannya; Allah berfirman, "Demi jiwa dan apa yang Dia telah menyempurnakannya. Dia telah membekali jiwa keburukan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang mau membersihkan jiwa, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya".
Perlu diingat, keharusan manusia mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan hanya sebagai sarana perantara menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum. Sebab, tujuan pendidikan adalah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan Malaikat yang suci, agar dapat meraih ridla Allah. Hal ini hanya bisa direalisir dengan komitmen seseorang dengan perilaku moral, sehingga ia sanggup mencapai puncak atau harakat kemanusiaan yang mendekati tingkat Malaikat dan mendekatkan diri ke haribaan Allah. Ia akan memperoleh ganjaran pahala yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata, sebagaimana diterangkan Allah, "Jiwa manusia tidak mengetahui apa yang Aku sembunyikan dari mereka berupa kesenangan sejati, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan". Proses kejadian yang dilalui manusia demikian itu berawal dari setetes air mani, kemudian segumpal darah kental yang melekat di dinding rahim, sekerat daging kenyal, janin yang sudah berupa manusia, bayi yang bergerak-gerak, anak kecil yang lincah, remaja yang gesit dan cerdas, orang dewasa yang bijaksana dan berpengalaman, orang tua yang sangat matang dan berkesadaran ketuhanan yang tinggi. Lalu, setelah ia meninggal dunia, jiwanya menjadi "makhluk" samawi yang kekal dan berbahagia dengan tiada putus-putusnya.
KONSEPSI TENTANG MANUSIA
Kelompok Ikhwan al-Shafa mempunyai pandangan ”dualistik" tentang konsep dasar manusia. Menurut Ikhwan sekiranya manusia itu tersusun dari unsure fisik-biologis dan unsure jiwa-rohaniah, maka sejatinya kedua unsur ini memilki perbedaan sifat dan berlawanan kondisinya, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat aksidentalnya. Karena unsure fisik-biologisnya, manusia berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup selama-lamanya. Sedangkan karena unsure jiwa-rohaniahnya, manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan keselamatan di sana. Dengan demikian kondisi kehidupan manusia diwarnai oleh dualitas berlawanan.
Manusia berada dalam tarik-menarik antara persahabatan dan permusuhan, kefakiran dan kecukupan, kemudahan dan ketuaan, takut dan berharap, jujur dan dusta, kebenaran dan kebatilan, ketepatan dan kekeliruan, baik dan buruk, serta dualitas berlawanan dari ucapan dan perilaku moral-etik lainnya. Kesemuanya itu menunjukkan bahwa bahwa manusia tersusun dari unsure fisik-biologis (jasmaniah) dan unsure jiwa-rohaniah.
Ketahuialah wahai saudaraku! Hal-hal yang dikemukakan tersebut tidaklah semata-mata berkaitan dengan unsure fisik-biologis manusia, atau semata-mata berkaitan dengan unsure jiwa-rohaniahnya, melaikan berkaitan dengan totalitas dua unsure itu yang membentuk manusia yang hidup, berpikir dan mati. Kehidupan dan kemampuan berpikir manusia dikarenakan oleh unsur jiwa-rohaniahnya, sedangkan kematiannya dikarenakan unsur fisik-biologisnya. Demikian juga tidur manusia dekarenakan unsur fisik-biologisnya, sadar-jaganya dikarenakan unsur jiwa-rohaniahnya. Singkat kata, segala persoalan dualitas berlawanan yang melingkupi kehidupan manusia, sebagiannya berasal dari unsur fisik-biologis, sebagian yang lain berasal dari unsur jiwa-rohaniah. Itu sebabnya, hal-hal semisal: kecerdasan, pengetahuan, kedermawanan, kebijaksanaan, kejujuran dan kebaikan, serta hal positif lainnya berasal dari jiwa-rohaniah yang jernih, sedangkan kebalikan dari semuanya itu berasal dari "fermentasi" anasir fisik-biologis manusia.
EPISTIMOLOGI IKHWAN AL-SHAFA
Ikhwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda dengan teori pengetahuan Plato yang menyatakan bahwa jiwa "mengetahui" dengan mengingat—ulang apa yang diperolehnya sewaktu berada di alam Ide, sebelum turun ke bumi. Di alam Ide, jiwa mengetahui banyak hal. Pada saat jiwa berpindah dari alam Ide yang bersifat rohaniah menuju alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimilikinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (di alam material), sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam Ide).
Berbeda dengan teori pengetahuan Plato, Ikhwan al-Shafa menganggap semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiah. "Banyak para pakar berpendapat bahwa pengetahuan-pengetahuan itu bertumpu pada premis-premis rasional. Mereka menganggap al-'ilm (aktivitas mengetahui) sebagai pengingat ulang, dengan berpijak pada teori pengetahuan Plato, padahal sebenarnya tidaklah seperti itu. Argumentasi keabsahan pendapat kami adalah, bahwa segala sesuatu yang tidak dijangkau oleh indera, tidak dapat diimajinasikan, dan segala sesuatu yang tidak bisa diimajinasikan, maka tidak bisa "dirasiokan".
Jumat, 10 September 2010
Konsep Fitrah Dalam Islam dan Relevansinya Dengan Aliran Konvergensi
Pendahuluan
Ada satu perkataan yang masih terngiang dalam benak penulis, yaitu yang mengatakan bahwa lebih enak mengatur bebek sekian banayaknya daripada mengatur seorang anak manusia. Sedemikian sulitkah mengatur anak manusia sehingga timbul perkataan seperti ini?. Mungkin perkataan ini ada benarnya, karena mengatur anak manusia yang memiliki faktor-faktor dasar seperti faktor bawaan (dasar), lingkungan dan lainya akan terasa sulit, berbeda halnya dengan bebek yang tidak memilikinya dan mungkin dengan satu isyarat dapat mengikuti apa yang dikehendaki manusia atau pemiliknya. Lalau bagaimana dengan membentuk (prkembangan) anak manusia yang notabenenya lebih luas maknanya dari pada halnya dengan sekedar mengatur?. Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan hal-hal dasar yang terdapat pada seorang anak manusia dalam pandangan Islam dan hubunganya dengan salah satu aliran psikologi perkembangan yaitu aliran Konvergensi.
Pembahasan
a. Konsep Fitrah dalam Islam
Kata fitrah, berasal dari akar kata fa tha ra, fathrun, yang memiliki arti pemisahan, pemecahan, pembelahan dan pematahan. kata bentukan fatharahu, berarti juga menciptakan dan mengadakan. Sedangkan kata bentukan futhira memiliki arti yang sama dengan thubi’a yakni melekatkan, menempelkan dan mencap. Dalam al-Quran disebut, thubi’a Allah ‘ala qulubihim (Allah telah menutup rapat hati mereka) memiliki makna yang sama dengan khatama (mengunci). Dari kata thubi’a inilah kemudian muncul kata thab’un yang merujuk kepada nature, asal muasal, atau kualitas-kualitas bawaan manusia, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tabiat. Dari sinilah, kemudian kata fitrah sinonim dengan sifat-sifat bawaan manusia, sesuatu yang tidak berubah dan telah ada sejak awal, naluri. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Nabi, bahwa setiap bayi dilahirkan sesuai fithrah, dan ayahnyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Untuk kemudian, kata fitrah ini sinonim dengan Islam, melegitimasinya sebagai agama yang cocok dengan naluri bawaan manusia, akal. Sebenarnya, pengambilan makna fitrah lewat model tadi adalah bentuk yang lazim di temui dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dengan demikian perkembangan seseorang tidak dapat di lepaskan dari “fitrah”nya sebagai manusia. Sebagaimana yang disebutkan di Al -Quran yaitu pada Q.S. Al-Rum (30):30
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم و لكن أكثر الناس لا يعلمون (الروم: 30 )
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecendeungan aslinya), itulah fitrah Allah, yang mana Allah menciptakan manusia mengetahuinya. (Q.S. al Rum [30]:30)
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia memiliki potensi dasar untuk beragama (berkembang) dengan baik dan benar. Sesuai dengan anugrah yang telah diberikan Allah kepada manusia seluruhnya, untuk kemudian berproses didalam lingkunganya. Tetapi dalam proses inilah seseorang memasuki masa yang penting, karena pengaruh yang ada pada frase ini dapat merubah yang baik menjadi buruk dan sebaliknya.
Sebagaimana yang dikatakan nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya
كل مولود يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه أو يمجّسانه أو ينصرانه أو يمجّسانه
Artinya:
Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Dari hadits nabi di atas dapat di tarik satu kesimpulan bahwa seorang anak manusia itu seperti sebuah adonan yang bisa di bentuk atau dididik sesuai keinginan yang mendidik. Dan pada dasrnya, seseorang itu layak dibentuk dengan bentuk yang baik dan juga layak dibentuk dengan bentuk yang buruk. Dalam pembentukan inilah lingkungan atau orang tualah yang memegang peranan penting, jadi kehati-hatian dalam mendidik seorang anak tidak boleh dipandang sebelah mata.
b. Konsep Perkembangan Manusia dalam Aliran Konvergensi
Aliran ini dikemukakan pertama kali oleh William Louis Stern seorang Jerman yang lahir di Berlin pada tanggal 29 april 1871. Aliran Konvergensi berpendapat bahwa didalam perkembangan individu baik dasar (bakat dan keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dasar, lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tidaklah cukup, misalnya: tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi aktual (menjadi nyata) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Anak manusia yang semenjak kecilnya di asuh oleh srigala kemungkinan tidak akan dapat berdiri dan berjalan di atas kedua kakainya, mungkin dia akan berjalan di atas tangan dan kakinya (merangkak, seperti srigala).
a. Keturunan
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sifat-sifat atau cirri-ciri pada seorang anak adalah keturunan, jika sifat-sifat atau ciri-ciri tersebut diwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dan generasi yang lain. Jadi sebelum diputuskan sifat atau ciri yang terdapat pada seseorang itu keturunan atau bukan, harus di lihat dari dua faktor yaitu :
1. Persamaan sifat atau ciri-ciri,
2. Ciri atau sifat-sifat ini harus menurun melalui sel kelamin.
Maka dalam menggolongkan itu semua harus berhati-hati dalam memutuskan, apakah itu merupakan keturunan atau bukan. Dengan demikian suatu sifat atau ciri-ciri yang sama antara orang tua dan anaknya, belum dapat diambil kesimpulan bahwa sifat atau ciri-ciri pada anak itu merupakan keturunan. Contohnya, bapak yang malas mempunyai anak yang malas. Ini bukan berarti bahwa kemalasan anak itu adalah keturunan. Mungkin sifat malas pada anak itu disebabkan karena anak itu dengan tidak sadar meniru dari bapaknya, dalam hal ini kaitanya adalah dengan faktor lingkungan.
b. Lingkungan (environment)
Menurut Sartain (seorang psikolog dari Amerika) bahwa apa yang dimaksud dengan lingkungan adalah semua kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku manusia, pertumbuhan, perkembangan atau life processes manusia, kecuali gen-gen, dan bahkan gen-gen dapat pula dipandang sebagai menyiapkan lingkungan bagi gen yang lain. Menurut Sartain lingkungan dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Lingkungan alam atau luar (external or physical environment)
2. Lingkungan dalam (internal environment)
3. Lingkungan sosial atau masyrakat (social environment).
Yang dimaksud dengan lingkungan alam atau luar adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini selain manusia, seperti rumah, tumbuh-tumbuhan, air, iklim, hewan, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang termasuk lingkungan luar. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan sosial adalah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi suatu individu. Pengaruh lingkungan sosial ada yang secara langsung dan ada yang tidak langsung. Pengaruh yang langsung seperti pergaulan dengan orang lain, keluarga, teman, dan lainnya. Dan pengaruh yang tidak langsung seperti radio, televisi, buku-buku, Koran dan lain-lain.
Tetapi, pengaruh lingkungan saja ternyata juga tidak cukup. Misalnya walaupun fasilitas yang mungkin diperlukan dalam rangka mendukung perkembangan dapat disediakan dengan sebaik-baiknya, tidak dapat menjamin keberhasilan (perkembangan) yang dicita-citakan oleh orang tua atau pendidiknya.
Banyak orang tua yang merasa gagal dalam mengarahkan anak-anaknya, dan tidak sedikit pula pendidik atau guru yang berkeluh kesah tentang muridnya yang tidak mencapai kemajuan yang maksimal meskipun banyak usaha telah dilakukan.
Aliran Konvergensi bisa dikatakan sebagai jembatan antara aliran Nativisme yaitu yang berpendapat bahwa perkembangan individu tergantung pada bakat dan pembawaan, dan aliran Empirisme yaitu yang berpendapat bahwa perkembangan individu tergantung pada bakat atau pembawaan dan pengalaman. Individu yang berkemampuan untuk mengalami dan menghayati adalah pandangan dari aliran Nativisme. Sedangkan individu yang megalami atau menghayati adalah obyek dari aliran Empirisme. Maka bisa dikatakan bahwa, Stern telah menggabungkan dua aliran psikology yang saling bersebrangan.
Selain itu masih ada satu hal yang perlu diketahui disini yaitu soal kematangan. Konsepsi Konvergensi mengatakan bahwa dasar sebagai kemungkinan, dimana jika mendapatkan lingkungan yang sesuai dasar-dasar tersebut akan menjadi nyata atau aktual. Akan tetapi perlu ditambahkan disini, bahwa dasar atau bakat yang telah tersedia itu bisa jadi belum matang, walaupun mendapat lingkungan yang baik untuk perkembangannya, tetapi tidk akan menjadi kenyataan. Misalnya saja bila anak manusia yang normal mempunyai dasar (kemungkinan) untuk dapat berjalan tegak di atas kedua kakinya aknan terasa sia-sia sekiranya jika, diajarkan pada anak yang baru berumur 5 atau 6 bulan untuk berjalan. Demikian pula tiap anak manusia yang normal di bekali kemungkinan untuk dapat berbicara, tetapi walaupun diperlengkapi dengan berbagai fasilitas yang diperlukan, tidak ada seorangpun yang mampu mengajar anak yang baru berumur 4 bulan untuk berbicara.
Maka dasar atau kemampuan bawaan yang ada pada anak jika sudah sampai pada masanya akan menjadi kenyataan jikalau mendapatkan lingkungan yang serasi, yang diperlukan untuk mendukung perkembangan tersebut. Masa matangnya suatu dasar kemampuan ini adalah masa peka yang harus dipergunakan dan dilayani sebaik-baiknya untuk berlangsungnya perkembangan yang baik atau yang dikehendaki.
c. Hubungan Antara Konsep Fitrah dan Teori Konvergensi
Secara ilmiah telah jelas, betapa hukum keturunan berpengaruh dalam memindahkan sifat-sifat orang tua kepada anak melalui gen-gen turunan. Manusia (terutama mereka yang memiliki kemampuan khusus dalam mengenal petunjuk-petunjuk wajah dan bentuk tubuh secara umum) dapat membedakan petunjuk-petunjuk keserupaan anak dan tingkat keserupaanya dengan kedua orang tuanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh nabi Muhammad S.A.W. yang mensyaratkan kepada kaumnya jikalau ingin menikah harus melihat kepada empat faktor yang salah satunya adalah nasab atau keturuan.
Dari sini tidak dapat dipungkiri bahwa faktor keturunan memainkan peranan penting dalam membentuk karakter dan bukan tidak mungkin berpengaruh pula pada pertumbuhan seorang individu.
Tetapi apabila diperhatikan lebih seksama, ternyata faktor keturunan hanya menempati beberapa persen saja dalam proses pembentukan individu. Contohnya seorang anak yang orang tuanya pintar, tidak lantas anak itu menjadi pintar seperti orang tuanya. Lalu berapa banyak orang shaleh, yang mempunyai anak yang jauh dari ajaran agama. Dan berbagai contoh lainya yang membuktikan bahwa faktor keturunan tidak sepenuhnya menentukan perkembangan seorang individu.
Maka disamping faktor pembawaan (fitrah) masih ada faktor lain yang ikut andil dalam pembentukan seorang individu yaitu faktor lingkungan. Sebagaimana yang telah disinggung diawal, didalam lingkngan inilah seorang individu berproses untuk menentukan dirinya sendiri sebagai akibat dari pengaruh-pengaruh yang ia dapatkan disekelilingnya. Pada proses inilah manusia akan membentuk dirinya sendiri, apakah ia akan menjadi baik, atau apakah ia akan menjadi buruk.
Maka dengan konsepsi seperti ini teori fitrah dalam Islam sejalan dengan salah satu teori perkembangan, yaitu teori konvergensi. Tetapi didalam Islam perkembangan seorang individu akan terasa lebih kompleks lagi, karena didalamnya faktor tauhid memegang peranan penting. Sebagaimana yang disebutkan di Al -Quran yaitu pada Q.S. Al-Rum (30):30
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم و لكن أكثر الناس لا يعلمون (الروم: 30 )
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecendeungan aslinya), itulah fitrah Allah, yang mana Allah menciptakan manusia mengetahuinya. (Q.S. al Rum [30]:30)
Pada ayat al-Quran diatas terlihat jelas bahwa ketauhidan tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan manusia. Faktor tauhid menjadi nilai plus yang tidak dimiliki oleh semua teori perkembangan kecuali dalam Islam itu sendiri. Dari sini bisa dikatakan tori konvergensi sejalan dengan konsep fitrah dalam Islam, tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan mendasar yaitu unsur tauhid.
Penutup
Dalam al-Quran disebut, thubi’a Allah ‘ala qulubihim (Allah telah menutup rapat hati mereka) memiliki makna yang sama dengan khatama (mengunci). Dari kata thubi’a inilah kemudian muncul kata thab’un yang merujuk kepada nature, asal muasal, atau kualitas-kualitas bawaan manusia, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tabiat. Dari sinilah, kemudian kata fitrah sinonim dengan sifat-sifat bawaan manusia.Konsep fitrah sejalan dengan salah satu hadits nabi yang mengatakan :
كل مولود يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه أو يمجّسانه أو ينصرانه أو يمجّسانه
Artinya:
Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Teori fitrah sejalan dengan salah satu teori perkembangan modern yaitu aliran konvergensi yang berpendapat bahwa selain keturunan, lingkungan mempunyai andil dalam proses perkembangan individu.
Walaupun sejalan, antara konsep fitrah dan aliran konvergensi terdapat faktor yang membedakan antara keduanya, yaitu faktor tauhid.
Referensi
Mazhahiri Husain, Pintar Mendidik Anak Jakarta: Lentera, 2002, cet ke 5
Sarwono Saelito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi Jakarta: Bulan Bintang, 1991
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991
Sumardi Suryobroto, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Rake Sarasin P.O. BOX 83, 1990
Basuki, M Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2007
Ada satu perkataan yang masih terngiang dalam benak penulis, yaitu yang mengatakan bahwa lebih enak mengatur bebek sekian banayaknya daripada mengatur seorang anak manusia. Sedemikian sulitkah mengatur anak manusia sehingga timbul perkataan seperti ini?. Mungkin perkataan ini ada benarnya, karena mengatur anak manusia yang memiliki faktor-faktor dasar seperti faktor bawaan (dasar), lingkungan dan lainya akan terasa sulit, berbeda halnya dengan bebek yang tidak memilikinya dan mungkin dengan satu isyarat dapat mengikuti apa yang dikehendaki manusia atau pemiliknya. Lalau bagaimana dengan membentuk (prkembangan) anak manusia yang notabenenya lebih luas maknanya dari pada halnya dengan sekedar mengatur?. Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan hal-hal dasar yang terdapat pada seorang anak manusia dalam pandangan Islam dan hubunganya dengan salah satu aliran psikologi perkembangan yaitu aliran Konvergensi.
Pembahasan
a. Konsep Fitrah dalam Islam
Kata fitrah, berasal dari akar kata fa tha ra, fathrun, yang memiliki arti pemisahan, pemecahan, pembelahan dan pematahan. kata bentukan fatharahu, berarti juga menciptakan dan mengadakan. Sedangkan kata bentukan futhira memiliki arti yang sama dengan thubi’a yakni melekatkan, menempelkan dan mencap. Dalam al-Quran disebut, thubi’a Allah ‘ala qulubihim (Allah telah menutup rapat hati mereka) memiliki makna yang sama dengan khatama (mengunci). Dari kata thubi’a inilah kemudian muncul kata thab’un yang merujuk kepada nature, asal muasal, atau kualitas-kualitas bawaan manusia, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tabiat. Dari sinilah, kemudian kata fitrah sinonim dengan sifat-sifat bawaan manusia, sesuatu yang tidak berubah dan telah ada sejak awal, naluri. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Nabi, bahwa setiap bayi dilahirkan sesuai fithrah, dan ayahnyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Untuk kemudian, kata fitrah ini sinonim dengan Islam, melegitimasinya sebagai agama yang cocok dengan naluri bawaan manusia, akal. Sebenarnya, pengambilan makna fitrah lewat model tadi adalah bentuk yang lazim di temui dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dengan demikian perkembangan seseorang tidak dapat di lepaskan dari “fitrah”nya sebagai manusia. Sebagaimana yang disebutkan di Al -Quran yaitu pada Q.S. Al-Rum (30):30
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم و لكن أكثر الناس لا يعلمون (الروم: 30 )
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecendeungan aslinya), itulah fitrah Allah, yang mana Allah menciptakan manusia mengetahuinya. (Q.S. al Rum [30]:30)
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia memiliki potensi dasar untuk beragama (berkembang) dengan baik dan benar. Sesuai dengan anugrah yang telah diberikan Allah kepada manusia seluruhnya, untuk kemudian berproses didalam lingkunganya. Tetapi dalam proses inilah seseorang memasuki masa yang penting, karena pengaruh yang ada pada frase ini dapat merubah yang baik menjadi buruk dan sebaliknya.
Sebagaimana yang dikatakan nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya
كل مولود يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه أو يمجّسانه أو ينصرانه أو يمجّسانه
Artinya:
Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Dari hadits nabi di atas dapat di tarik satu kesimpulan bahwa seorang anak manusia itu seperti sebuah adonan yang bisa di bentuk atau dididik sesuai keinginan yang mendidik. Dan pada dasrnya, seseorang itu layak dibentuk dengan bentuk yang baik dan juga layak dibentuk dengan bentuk yang buruk. Dalam pembentukan inilah lingkungan atau orang tualah yang memegang peranan penting, jadi kehati-hatian dalam mendidik seorang anak tidak boleh dipandang sebelah mata.
b. Konsep Perkembangan Manusia dalam Aliran Konvergensi
Aliran ini dikemukakan pertama kali oleh William Louis Stern seorang Jerman yang lahir di Berlin pada tanggal 29 april 1871. Aliran Konvergensi berpendapat bahwa didalam perkembangan individu baik dasar (bakat dan keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dasar, lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tidaklah cukup, misalnya: tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi aktual (menjadi nyata) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Anak manusia yang semenjak kecilnya di asuh oleh srigala kemungkinan tidak akan dapat berdiri dan berjalan di atas kedua kakainya, mungkin dia akan berjalan di atas tangan dan kakinya (merangkak, seperti srigala).
a. Keturunan
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sifat-sifat atau cirri-ciri pada seorang anak adalah keturunan, jika sifat-sifat atau ciri-ciri tersebut diwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dan generasi yang lain. Jadi sebelum diputuskan sifat atau ciri yang terdapat pada seseorang itu keturunan atau bukan, harus di lihat dari dua faktor yaitu :
1. Persamaan sifat atau ciri-ciri,
2. Ciri atau sifat-sifat ini harus menurun melalui sel kelamin.
Maka dalam menggolongkan itu semua harus berhati-hati dalam memutuskan, apakah itu merupakan keturunan atau bukan. Dengan demikian suatu sifat atau ciri-ciri yang sama antara orang tua dan anaknya, belum dapat diambil kesimpulan bahwa sifat atau ciri-ciri pada anak itu merupakan keturunan. Contohnya, bapak yang malas mempunyai anak yang malas. Ini bukan berarti bahwa kemalasan anak itu adalah keturunan. Mungkin sifat malas pada anak itu disebabkan karena anak itu dengan tidak sadar meniru dari bapaknya, dalam hal ini kaitanya adalah dengan faktor lingkungan.
b. Lingkungan (environment)
Menurut Sartain (seorang psikolog dari Amerika) bahwa apa yang dimaksud dengan lingkungan adalah semua kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku manusia, pertumbuhan, perkembangan atau life processes manusia, kecuali gen-gen, dan bahkan gen-gen dapat pula dipandang sebagai menyiapkan lingkungan bagi gen yang lain. Menurut Sartain lingkungan dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Lingkungan alam atau luar (external or physical environment)
2. Lingkungan dalam (internal environment)
3. Lingkungan sosial atau masyrakat (social environment).
Yang dimaksud dengan lingkungan alam atau luar adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini selain manusia, seperti rumah, tumbuh-tumbuhan, air, iklim, hewan, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang termasuk lingkungan luar. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan sosial adalah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi suatu individu. Pengaruh lingkungan sosial ada yang secara langsung dan ada yang tidak langsung. Pengaruh yang langsung seperti pergaulan dengan orang lain, keluarga, teman, dan lainnya. Dan pengaruh yang tidak langsung seperti radio, televisi, buku-buku, Koran dan lain-lain.
Tetapi, pengaruh lingkungan saja ternyata juga tidak cukup. Misalnya walaupun fasilitas yang mungkin diperlukan dalam rangka mendukung perkembangan dapat disediakan dengan sebaik-baiknya, tidak dapat menjamin keberhasilan (perkembangan) yang dicita-citakan oleh orang tua atau pendidiknya.
Banyak orang tua yang merasa gagal dalam mengarahkan anak-anaknya, dan tidak sedikit pula pendidik atau guru yang berkeluh kesah tentang muridnya yang tidak mencapai kemajuan yang maksimal meskipun banyak usaha telah dilakukan.
Aliran Konvergensi bisa dikatakan sebagai jembatan antara aliran Nativisme yaitu yang berpendapat bahwa perkembangan individu tergantung pada bakat dan pembawaan, dan aliran Empirisme yaitu yang berpendapat bahwa perkembangan individu tergantung pada bakat atau pembawaan dan pengalaman. Individu yang berkemampuan untuk mengalami dan menghayati adalah pandangan dari aliran Nativisme. Sedangkan individu yang megalami atau menghayati adalah obyek dari aliran Empirisme. Maka bisa dikatakan bahwa, Stern telah menggabungkan dua aliran psikology yang saling bersebrangan.
Selain itu masih ada satu hal yang perlu diketahui disini yaitu soal kematangan. Konsepsi Konvergensi mengatakan bahwa dasar sebagai kemungkinan, dimana jika mendapatkan lingkungan yang sesuai dasar-dasar tersebut akan menjadi nyata atau aktual. Akan tetapi perlu ditambahkan disini, bahwa dasar atau bakat yang telah tersedia itu bisa jadi belum matang, walaupun mendapat lingkungan yang baik untuk perkembangannya, tetapi tidk akan menjadi kenyataan. Misalnya saja bila anak manusia yang normal mempunyai dasar (kemungkinan) untuk dapat berjalan tegak di atas kedua kakinya aknan terasa sia-sia sekiranya jika, diajarkan pada anak yang baru berumur 5 atau 6 bulan untuk berjalan. Demikian pula tiap anak manusia yang normal di bekali kemungkinan untuk dapat berbicara, tetapi walaupun diperlengkapi dengan berbagai fasilitas yang diperlukan, tidak ada seorangpun yang mampu mengajar anak yang baru berumur 4 bulan untuk berbicara.
Maka dasar atau kemampuan bawaan yang ada pada anak jika sudah sampai pada masanya akan menjadi kenyataan jikalau mendapatkan lingkungan yang serasi, yang diperlukan untuk mendukung perkembangan tersebut. Masa matangnya suatu dasar kemampuan ini adalah masa peka yang harus dipergunakan dan dilayani sebaik-baiknya untuk berlangsungnya perkembangan yang baik atau yang dikehendaki.
c. Hubungan Antara Konsep Fitrah dan Teori Konvergensi
Secara ilmiah telah jelas, betapa hukum keturunan berpengaruh dalam memindahkan sifat-sifat orang tua kepada anak melalui gen-gen turunan. Manusia (terutama mereka yang memiliki kemampuan khusus dalam mengenal petunjuk-petunjuk wajah dan bentuk tubuh secara umum) dapat membedakan petunjuk-petunjuk keserupaan anak dan tingkat keserupaanya dengan kedua orang tuanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh nabi Muhammad S.A.W. yang mensyaratkan kepada kaumnya jikalau ingin menikah harus melihat kepada empat faktor yang salah satunya adalah nasab atau keturuan.
Dari sini tidak dapat dipungkiri bahwa faktor keturunan memainkan peranan penting dalam membentuk karakter dan bukan tidak mungkin berpengaruh pula pada pertumbuhan seorang individu.
Tetapi apabila diperhatikan lebih seksama, ternyata faktor keturunan hanya menempati beberapa persen saja dalam proses pembentukan individu. Contohnya seorang anak yang orang tuanya pintar, tidak lantas anak itu menjadi pintar seperti orang tuanya. Lalu berapa banyak orang shaleh, yang mempunyai anak yang jauh dari ajaran agama. Dan berbagai contoh lainya yang membuktikan bahwa faktor keturunan tidak sepenuhnya menentukan perkembangan seorang individu.
Maka disamping faktor pembawaan (fitrah) masih ada faktor lain yang ikut andil dalam pembentukan seorang individu yaitu faktor lingkungan. Sebagaimana yang telah disinggung diawal, didalam lingkngan inilah seorang individu berproses untuk menentukan dirinya sendiri sebagai akibat dari pengaruh-pengaruh yang ia dapatkan disekelilingnya. Pada proses inilah manusia akan membentuk dirinya sendiri, apakah ia akan menjadi baik, atau apakah ia akan menjadi buruk.
Maka dengan konsepsi seperti ini teori fitrah dalam Islam sejalan dengan salah satu teori perkembangan, yaitu teori konvergensi. Tetapi didalam Islam perkembangan seorang individu akan terasa lebih kompleks lagi, karena didalamnya faktor tauhid memegang peranan penting. Sebagaimana yang disebutkan di Al -Quran yaitu pada Q.S. Al-Rum (30):30
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم و لكن أكثر الناس لا يعلمون (الروم: 30 )
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecendeungan aslinya), itulah fitrah Allah, yang mana Allah menciptakan manusia mengetahuinya. (Q.S. al Rum [30]:30)
Pada ayat al-Quran diatas terlihat jelas bahwa ketauhidan tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan manusia. Faktor tauhid menjadi nilai plus yang tidak dimiliki oleh semua teori perkembangan kecuali dalam Islam itu sendiri. Dari sini bisa dikatakan tori konvergensi sejalan dengan konsep fitrah dalam Islam, tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan mendasar yaitu unsur tauhid.
Penutup
Dalam al-Quran disebut, thubi’a Allah ‘ala qulubihim (Allah telah menutup rapat hati mereka) memiliki makna yang sama dengan khatama (mengunci). Dari kata thubi’a inilah kemudian muncul kata thab’un yang merujuk kepada nature, asal muasal, atau kualitas-kualitas bawaan manusia, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tabiat. Dari sinilah, kemudian kata fitrah sinonim dengan sifat-sifat bawaan manusia.Konsep fitrah sejalan dengan salah satu hadits nabi yang mengatakan :
كل مولود يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه أو يمجّسانه أو ينصرانه أو يمجّسانه
Artinya:
Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Teori fitrah sejalan dengan salah satu teori perkembangan modern yaitu aliran konvergensi yang berpendapat bahwa selain keturunan, lingkungan mempunyai andil dalam proses perkembangan individu.
Walaupun sejalan, antara konsep fitrah dan aliran konvergensi terdapat faktor yang membedakan antara keduanya, yaitu faktor tauhid.
Referensi
Mazhahiri Husain, Pintar Mendidik Anak Jakarta: Lentera, 2002, cet ke 5
Sarwono Saelito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi Jakarta: Bulan Bintang, 1991
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991
Sumardi Suryobroto, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Rake Sarasin P.O. BOX 83, 1990
Basuki, M Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2007
Perencanaan Sistem Pembelajaran - Life Skill
PENDAHULUAN
Dalam sebuah struktur kurikulum berbasis kompetensi tingkat satuan pendidikan, kegiatan pembelajaran termasuk salah satu komponen yang harus ada, selain kurikulum dan hasil belajar,penilaian berbasis kelas, dan pengolahan kurikulum berbasis madrasah. Kegiatan pengolahan pembelajaran merupakan gagasan-gagasan pokok tentang kegiatan pembelajaran yang akan dijadikan sebagai pedoman untuk tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan serta memuat gagasan–gagasan paedagogis dan andragogis untuk mengelola pembelajaran agar berjalan secara efektif dan efesien.oleh karena itu di buatlah beberapa kegiatan untuk mengefektifitaskan pembelajaran sebagaimana berikut: prinsip-prinsip dalam kegiatan pembelajaran, penyediaan pengalaman belajar, pengembangan keterampilan hidup siswa, pengelolahan kelas, pengelolahan siswa, pengelolahan pembelajaran, pengolahan isi/materi pembelajaran, pengolahan sumber belajar.
Seiring dengan pemberian pengalaman belajar kepada siswa ,tak kalah pentingnya dalam pembelajaran berbasis kompetensi pada tingkat satuan pendidikan dalam pemberian kecakapan hidup kepada siswa atau lebih dikenal dengan sebutan “ life skill ”. life skill merupakan pemberian keterampilan-keterampilan kepada siswa untuk dapat menjalankan kehidupan baik sebagai mahluk sosial, mahluk individu, maupun sebagai mahluk tuhan.
PENGERTIAN LIFE SKILL
Menurut 2 organisasi terbesar di dunia pengertian life skill sebagaimana berikut:
The World Health Organization has defined life skills as “ the abilities for adaptive and positive behavior that enable individuals to deal effectively with the demands and challenges of everyday life”.
The UNICEF defines life skills as “ a behavior change or behavior development approach designed to address a balance of three areas: Knowledge, attitude and skills”.
TUJUAN PEMBERIAN DAN PENGEMBANGAN LIFE SKILL
Dalam hal ini pemberian dan pengembangan pada siswa mempuyai maksud dan tujuan sebagaimana berikut:
1. Memfungsikan pendidikan sebagai fitrahnya,
2. Memberi peluang kepada lembaga pelaksana pendidikan agar dapat mengembangkan pembelajaran secara fleksibel, dan bisa memanfaatkan sumber daya pendidikan yang ada dimasyarakat.
3. Memberikan bekal tamatan dengan kecakapan hidup agar kelak mampu dan bisa menghadapi permasalahan yang ada dalam kehidupan.
Jelas bahwa dari uraian diatas pemberian dan pengenbangan kepada siswa diperlukan agar siswa mampu dan sukses dalam menjalani kehidupan dengan dibekali berbagai keterampilan-keterampilan hidup, agar anak bisa mengarungi bahtera kehidupan setelah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan dan terjun ke masyarakat serta terlibat di dalamnya.
Secara umum kecakapan hidup dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Kecakapan hidup umum adalah kecakapan hidup yang dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat
2. Kecakapan hidup khusus adalah kecakapan yang dibutuhkan secara khusus dalam bidang akademis dan kemampuan dalam melakukan dan menyelesaikan suatu pekerjaan
Kecakapan hidup umum
Kecakapan hidup umum dibagi menjadi:
1. Kesadaran diri
Kecakapan hidup yang berkaitan dengan kemampuan potensi hidup sebagai mahluk tuhan,ini semua meliputi: a.kesadaran sebagai mahluk tuhan b.sadar akan potensi diri c.sadar sebagai mahluk sosial d.sadar sebagai mahluk lingkungan
2. Kecakapan berfikir
Kecakapan hidup yang menggunakan akal pikiran dalam menggali, mengola serta memanfaatkan informasi dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Kecakapan komunikasi
Kecakapan hidup yang berkaitan dengan keterampilan mengolah dan menyampaikan pesan kepada pihak yang di ajak berkomunikasi.yang meliputi (a) keterampilan mengemas dan meramu pesan yang di sampaikan (b) keterampilan menggunakan alat atau media untuk disampaikan (c) keterampilan menyakinkan pesan atau informasi, bahwa pesan dan infotmasi tersebut penting disampaikan.
4. Kecakapan bekerjasama
Kecakapan hidup individu agar dapat bekerjasama dan diterima oleh orang lain ataupun kelompok kecil maupun besar dalam suatu kegiatan
Kecakapan hidup khusus
Kecakapan hidup khusus dibagi menjadi:
1. Kecakapan akademik
Kemampuan berfikir secara ilmiah yang mana meliputi: (a) identifikasi variable (b) merumuskan hipotesis (c) melaksanakan penelitian
2. Kecakapan vocasional
Kecakapan yang terkait dengan keterampilan suatu pekerjaan yang ditekuni, yang mana meliputi: (a) kecakapan memanfaatkan teknologi, (b) mengelola sumber daya, (c) bekerjasama dengan orang lain, (d) memanfaatkan informasi, (e) mengelola system, (f) berwirausaha, (g) kecakapan kejuruan, (h) memilih dan mengembangkan karir, (i) menjaga harmoni dengan lingkungan
Dalam sebuah struktur kurikulum berbasis kompetensi tingkat satuan pendidikan, kegiatan pembelajaran termasuk salah satu komponen yang harus ada, selain kurikulum dan hasil belajar,penilaian berbasis kelas, dan pengolahan kurikulum berbasis madrasah. Kegiatan pengolahan pembelajaran merupakan gagasan-gagasan pokok tentang kegiatan pembelajaran yang akan dijadikan sebagai pedoman untuk tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan serta memuat gagasan–gagasan paedagogis dan andragogis untuk mengelola pembelajaran agar berjalan secara efektif dan efesien.oleh karena itu di buatlah beberapa kegiatan untuk mengefektifitaskan pembelajaran sebagaimana berikut: prinsip-prinsip dalam kegiatan pembelajaran, penyediaan pengalaman belajar, pengembangan keterampilan hidup siswa, pengelolahan kelas, pengelolahan siswa, pengelolahan pembelajaran, pengolahan isi/materi pembelajaran, pengolahan sumber belajar.
Seiring dengan pemberian pengalaman belajar kepada siswa ,tak kalah pentingnya dalam pembelajaran berbasis kompetensi pada tingkat satuan pendidikan dalam pemberian kecakapan hidup kepada siswa atau lebih dikenal dengan sebutan “ life skill ”. life skill merupakan pemberian keterampilan-keterampilan kepada siswa untuk dapat menjalankan kehidupan baik sebagai mahluk sosial, mahluk individu, maupun sebagai mahluk tuhan.
PENGERTIAN LIFE SKILL
Menurut 2 organisasi terbesar di dunia pengertian life skill sebagaimana berikut:
The World Health Organization has defined life skills as “ the abilities for adaptive and positive behavior that enable individuals to deal effectively with the demands and challenges of everyday life”.
The UNICEF defines life skills as “ a behavior change or behavior development approach designed to address a balance of three areas: Knowledge, attitude and skills”.
TUJUAN PEMBERIAN DAN PENGEMBANGAN LIFE SKILL
Dalam hal ini pemberian dan pengembangan pada siswa mempuyai maksud dan tujuan sebagaimana berikut:
1. Memfungsikan pendidikan sebagai fitrahnya,
2. Memberi peluang kepada lembaga pelaksana pendidikan agar dapat mengembangkan pembelajaran secara fleksibel, dan bisa memanfaatkan sumber daya pendidikan yang ada dimasyarakat.
3. Memberikan bekal tamatan dengan kecakapan hidup agar kelak mampu dan bisa menghadapi permasalahan yang ada dalam kehidupan.
Jelas bahwa dari uraian diatas pemberian dan pengenbangan kepada siswa diperlukan agar siswa mampu dan sukses dalam menjalani kehidupan dengan dibekali berbagai keterampilan-keterampilan hidup, agar anak bisa mengarungi bahtera kehidupan setelah menyelesaikan suatu jenjang pendidikan dan terjun ke masyarakat serta terlibat di dalamnya.
Secara umum kecakapan hidup dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Kecakapan hidup umum adalah kecakapan hidup yang dibutuhkan di tengah-tengah masyarakat
2. Kecakapan hidup khusus adalah kecakapan yang dibutuhkan secara khusus dalam bidang akademis dan kemampuan dalam melakukan dan menyelesaikan suatu pekerjaan
Kecakapan hidup umum
Kecakapan hidup umum dibagi menjadi:
1. Kesadaran diri
Kecakapan hidup yang berkaitan dengan kemampuan potensi hidup sebagai mahluk tuhan,ini semua meliputi: a.kesadaran sebagai mahluk tuhan b.sadar akan potensi diri c.sadar sebagai mahluk sosial d.sadar sebagai mahluk lingkungan
2. Kecakapan berfikir
Kecakapan hidup yang menggunakan akal pikiran dalam menggali, mengola serta memanfaatkan informasi dalam rangka menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Kecakapan komunikasi
Kecakapan hidup yang berkaitan dengan keterampilan mengolah dan menyampaikan pesan kepada pihak yang di ajak berkomunikasi.yang meliputi (a) keterampilan mengemas dan meramu pesan yang di sampaikan (b) keterampilan menggunakan alat atau media untuk disampaikan (c) keterampilan menyakinkan pesan atau informasi, bahwa pesan dan infotmasi tersebut penting disampaikan.
4. Kecakapan bekerjasama
Kecakapan hidup individu agar dapat bekerjasama dan diterima oleh orang lain ataupun kelompok kecil maupun besar dalam suatu kegiatan
Kecakapan hidup khusus
Kecakapan hidup khusus dibagi menjadi:
1. Kecakapan akademik
Kemampuan berfikir secara ilmiah yang mana meliputi: (a) identifikasi variable (b) merumuskan hipotesis (c) melaksanakan penelitian
2. Kecakapan vocasional
Kecakapan yang terkait dengan keterampilan suatu pekerjaan yang ditekuni, yang mana meliputi: (a) kecakapan memanfaatkan teknologi, (b) mengelola sumber daya, (c) bekerjasama dengan orang lain, (d) memanfaatkan informasi, (e) mengelola system, (f) berwirausaha, (g) kecakapan kejuruan, (h) memilih dan mengembangkan karir, (i) menjaga harmoni dengan lingkungan
SISTEM PENILAIAN DAN RENCANA TINDAK LANJUT
Berbicara mengenai sistem penilaian yang merupakan suatu aktifitas yang menunjang serta mendukung dalam proses perkembangan suatu lembaga pendidikan, dengan adanya akan lebih terukur sampai dimana kegiatan pendidikan itu berjalan dengan baik, proses penilaian bisa menyediakan fakta- fakta dan membawa kesimpulan yang mungkin membawa perubahan maksud- maksud, putusan- putusan, dan rencana- rencana yang lebih baik dan sumbangan- sumbangan yang lebih efektif dari para anggota organisasi dalam melaksanakan rencana- rencana.
Jadi dengan menggunakan proses penilaian itu efektifitas seluruh organisasi dan tiap- tiap bagiannya bisa ditentukan. Maka makalah ini akan membahas tentang penilaian, rencana tindak lanjut yang diupayakan, prinsip- prinsip penilaian kelas, fungsi dan tujuan penilaian, manfaat dan keunggulan penilaian kelas, serta cara- cara menindak lanjuti dalam permasalahan yang dilakukan murid maupun terhadap siswa yang berprestasi.
Konsep penilaian & rencana tindak lanjut
Sebelum melangkah lebih jauh terlebih dahulu kita memahami maksud dari penilaian itu sendiri, apa konsep penilaian dan apa itu rencana tindak lanjut ?
Penilaian adalah unsur yang sangat penting dari keseluruhan proses administrasi, yang dimaksud yaitu proses yang menentukan betapa baik program- program atau kegiatan- kegiatan sedang mencapai maksud- maksud yang telah ditetapkan, yang tidak lain untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan pada akhir suatu periode, untuk menjamin cara bekerja yang efektif dan efisien, untuk memperoleh fakta- fakta tentang kesukaran- kesukaran serta menghindarkan situasi yang dapat merusak, dan untuk memajukan kesanggupan para guru dan orang tua murid dalam mengembangkan organisasi sekolah .
Evaluasi merupakan pengukuran ketercapaian program pendidikan, perencanaan suatu program substansi pendidikan termasuk kurikulum dan pelaksanaannya, pengadaan dan peningkatan kemampuan guru, pengelolaan pendidikan, dan reformasi pendidikan secara keseluruhan.
Pada kurikulum berbasis kompetensi, komponen penilaiannya dikenal dengan penilaian berbasis kelas didalamnya terdapat proses pengumpulan, laporan,dan penggunaan informasi tentang belajar siswa yang di peroleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan untuk kerja atau prestasi siswa dalam mengerjakan tugas tugas terkait. Proses penilaia mecakup pengumpulan sejumlah bukti-bukti yang menunjukan hasil pencapaian hasil belajar. Penilaian berbasis kelas menggunakan pengertian penilaian sebagai ‘assesment’ yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan belajar mengajar. atau informasi dari penilaian berbasis kelas merupakan salah satu bukti yang dapat di gunakan untuk mengukur keberhasilan suatu program pendidikan.
• Fungsi & tujuan penilaian
• Prinsip penilaian kelas & prosedur penilaian
• Masalah-masalah murid & penyelesaiannya
• Bantuan yang dilakukan untuk mengatasi murid yang bermasalah & dorongan terhadap murid yang berprestasi.
Rencana Tindak Lanjut ( RTL)/ Langkah- langkah yang dilakukan
Maksud proses penilaian adalah untuk meningkatkan efektifitas organisasi, maka perlu untuk mencoba suatu penilaian umum tentang seluruh perbuatan organisasi dengan beberapa langkah sebagai berikut :
1. Langkah pertama dalam proses penilaian adalah pilihan dan perumusan apa yang hendak dinilai.
2. Langkah kedua yang sangat penting dalam proses penilaian ialah penetapan kriteria untuk mempertimbangkan apapun yang akan dinilai itu.
3. Langkah ketiga ialah penetapan tentang data macam apa yang benar- benar berhubungan dengan kriteria itu dan bagaimana data itu bisa dikumpulkan.
4. Langkah keempat dan terakhir ialah penetapan tentang data dalam kata- kata kriteria yan telah ditetapkan. Berikut merupakan cara- cara melakukan penilaian : Penilaian Melalui Portofolio (Portfolio), Penilaian Melalui Unjuk Kerja (Performance), Penilaian Melalui Penugasan (Proyek/Project), Penilaian Melalui Hasil kerja (Produk/Product), Penilaian Melalui Tes Tertulis (Paper & Pen)
Prinsip penilaian kelas
Untuk melengkapi tulisan lain mengenai Penilaian Kelas yakni manfaat dan fungsi penilaian kelas, dan kriteria penilaian kelas, berikut uraian tentang prinsip penilaian kelas.
Dalam melaksanakan penilaian, guru seyogjanya:
a. Memandang penilaian dan kegiatan pembelajaran secara terpadu, sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses pembelajaran.
b. Mengembangkan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata.
c. Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin diri.
d. Melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.
e. Mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
f. Mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
g. Menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.
h. Melakukan Penilaian kelas secara berkesinambungan terhadap semua Stándar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
i. Mengadakan ulangan harian bila sudah menyelesaikan satu atau beberapa indikator. Dengan demikian tidak perlu menunggu menyelesaikan 1 KD, karena ruang lingkupnya besar.
Pelaksanaan ulangan harian dapat dilakukan dengan penilaian tertulis, penilaian lisan, penilaian unjuk kerja, atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi atau kompetensi yang dinilai. Ulangan tengah semester dilakukan bila telah menyelesaikan beberapa kompetensi dasar dipertengahan semester, sedangkan ulangan akhir semester dilakukan setelah menyelesaikan semua kompetensi dasar semester bersangkutan. Ulangan kenaikan kelas dilakukan pada akhir semester genap dengan menilai semua kompetensi dasar semester ganjil dan genap, dengan penekanan pada kompetensi dasar semester genap. Guru menetapkan tingkat pencapaian kompetensi peserta didik berdasarkan hasil belajarnya pada kurun waktu tertentu (akhir semester atau akhir tahun).
Menurut Drs, Ngalim Purwanto, Dkk , untuk melaksanakan evaluasi dalam pendidikan dengan sebaik- baiknya, setiap guru hendaknya mengetahui prinsip- prinsip sebagai berikut :
1. prinsip integritas (keseluruhan). Dalam prinsip ini untuk pelaksanaannya diperlukan bermacam- macam teknik, yang dinilai bukan hanya kecerdasan atau hasil pelajaran melainkan seluruh pribadinya.
2. Prinsip kontinuitas, karena pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu, maka hasil yang diperoleh di suatu waktu harus dihubungan dengan hasil- hasil penilaianpada waktu sebelumnya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang perkembangan anak didik.
3. Prinsip objektifitas, tiap penilaian harus diusahakan dilakukan seobjektif- seobjektifnya. Dalam hal ini perasaan si penilai harus dijauhkan, tidak boleh mempengaruhi penilaian, juga situasi yang dialami sipenilai jangan hendaknya mempengaruhi evaluasi yang dijalankan. Penilaian yang objektif adalah penilaian yang didasarkan semata- mata atas kenyataan yang sebenarnya.
4. Prinsip koperatif, bahwa setiap penilaian hendaknya dilakukan bersama- sama oleh semua guru yang bersangkutan. Prinsip ini sangat erat hubungannya dengan ketiga prinsip diatas.
Agar penilaian objektif, guru harus berupaya secara optimal untuk (1) memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja peserta didik dan tingkah laku dari sejumlah penilaian, (2) membuat keputusan yang adil tentang penguasaan kompetensi peserta didik dengan mempertimbangkan hasil kerja (karya) mereka, Tujuan dan Fungsi Penilaian Hasil Belajar
Tujuan Penilaian Kelas
• Penilaian kelas dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar siswa, guna menetapkan sampai sejauhmana siswa telah menguasai kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
• Penelurusan yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana.
• Pengecekan yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didikdalam proses pembelajaran.
• Pencarian yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran.
• Penyimpulan yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum.
Fungsi Penilaian
Penilaian kelas yang disusun secara berencana dan sistematis oleh guru memiliki fungsi motivasi, belajar tuntas, efektifitas pengajaran dan umpanbalik. Kemudian fungsi yang lainnya juga :
• Sebagai alat untuk menetapkan penguasaan siswa terhadap kompetensi.
• Sebagai bimbingan,
• Sebagai alat diagnosis,
• Sebagai alat prediksi
• Sebagai grading,
• Sebagai alat seleksi,
Menurut Dr. Suharsimi Arikunto mengenai tujuan dan fungsi penilaian ada beberapa hal :
1. Penilaian berfungsi selektif, dengan cara mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya.
2. Penilaian berfungsi diagnostik, dengan mengadakan diagnosa kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya. Maka dengan demikian guru akan lebih mudah cara untuk mengatasi kelemahan dan lebih mengembangkan pribadi siswa.
3. Penilaian berfungsi sebagai penempatan, dapat menentukan dengan pasti dimana seorang siswa harus ditempatkan.
4. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan, dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program berhasil diterapkan. Keberhasilan faktor ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor guru, metode mengajar, kurikulum, sarana dan sistem administrasi.
Kalau kita telusuri mengenai segi manfaat dan keunggulan penilaian kelas yang merupakan factor yang mendukung proses pendidikan, dilihat dari segi Manfaat penilaian kelas, yaitu: Sebagai umpan balik bagi siswa agar mengetahui kemampuan dan kekurangannya, Untuk memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami siswa, Sebagai umpan balik bagi guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar, Sebagai informasi kepada orang tua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan.
Kemudian kalau dari segi Keunggulan penilaian kelas, yaitu: memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya, Prestasi belajar siswa terutama tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok, tetapi dengan prestasi atau kemampuan yang dimiliki sebelumnya, Pengumpulan informasi dilakukan dengan berbagai cara, Siswa tidak sekedar dilatih memilih jawaban yang tersedia, tetapi lebih dituntut menanggapi dan memecahkan masalah, siswa diberi kesempatan memperbaiki prestasi belajarnya, Penilaian tidak hanya dilaksanakan setelah proses belajar-mengajar (PBM) tetapi dapat dilaksanakan ketika PBM sedang berlangsung (penilaian proses), Kriteria penilaian karya siswa dapat dibahas guru dengan para siswa sebelum karya itu dikerjakan sehingga secara tidak langsung terdorong agar berusaha mencapai harapan (expectations) (standar yang dituntut) guru.
Menurut Tim MKDK IKIP Semarang ada lima hal yang melatarbelakangi perlunya layanan bimbingan di sekolah yakni: masalah perkembangan individu, masalah perbedaan individual, masalah kebutuhan individu, masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku, dan masalah belajar
Dalam hal ini sebagai Guru harus membimbing dalam perbedaan dan permasalahan, tiap individu maupun kelompok. Sardiman menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:
1. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
2. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
3. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
4. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
5. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
6. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
7. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar. . 8. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Masalah-masalah siswa
Masalah-masalah siswa yaitu: Suatu kondisi tertentu yang dialami oleh seseoarang muridf dan menghambat kelancaran prosaa belajarnya.kondisi tertentu dapat berkeneen dengan keadaan dirinya, yaitu berupa kelemahan-kelemahan yang dimilikinya dan juga dapat berkenaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh murid yang terbelakang saja, tetapi juga dapat menimpa murid yang pandai atau yang cerdas.
Masalah-masalah belajar pada dasarnya dapat digolongkan atas ( kognitif/ intelektual dan afektif/ perilaku ), yaitu :
1. Sangat cepat dalam belajar, yaitu murid-murid yang tampaknya memiliki bakat akademik yang cukup tinggi, memiliki IQ 130 atau lebih, dan memerlukan tugas-tugas khusus yang terencana.
2. Keterlambatan akademik, yaitu murid yang tampaknya memiliki intelegensi normal tetapi tidsk dapat memanfaatkannya secara baik.
3. Lambat belajar, yaitu murid yang tampaknya memiliki kemampuan yang kurang memadai. Mereka memiliki IQ 70-90 sehingga perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan bantuan khusus.
4. Penempatan kelas, yaitu murid-murid yang umur, kemampuan, ukuran, dan minat-minat social yang terlalu besar atau terlalu kecil untuk kelas yang ditempatinya.
5. Kurang motif dalam belajar, yaitu untuk murid-murid yang kurang semangat dalam belajar, mereka tampak jerah dan malas.
6. Sikap dan kebiasaan buruk, yaitu murid-murid yang kegiatan atau perubuatannya berlawanan atau tidak sesuai dengan seharusnya seperti suka marah, menunda-nunda tugas, belajar pada saat akan ujian saja
7. Kehadiran di madrasah, yatu murid-murid yang sering tidak hadir atau yang menderita sakit dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga kehilangan sebagian besar kegiatan belajaranya.
Murid-murid seperti di atas perlu mendapatkan bantuan dari guru mereka dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan balajar mereka secara baik dan terarah. Pada gilirannya mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan dalam pengajaran, Setelah guru mengetahui siapa murid yang bermasalah dalam belajar dan jenis masalah yang dialaminya, selanjutnya guru perlu mengungkapkanya mengapa masalah itu terjadi, untuk mengungkapnya, guru harus membantu bagaimana mengatasi masalah yang dialami muridnya dalam belajar, salah satunya dengan menyuruh siswa agar rajin belajar di rumah.
Menurut Abdul Majid dalam bukunya adanya empat pola tingkah laku yang sering Nampak di sekolah , antara lain:
1. Pola aktif konstruktif, yaitu pola tingkah laku yang ekstrim, ambisius untuk menjadi untuk menjadi super star di kelasnya dan berusaha membantu guru dengan sepenuh hati.
2. Pola aktif destruktif, yaitu pola tingkah laku yang diwujudkan dalam bentuk banyolan (gurauan), suka marah, kasar dan memberontak.
3. Pola pasif konstruktif, yaitu pola yang menunjukkan kepada satu bentuk tingkah laku yang lamban dengan maksud supaya selalu dibantu dan mengharapkan perhatian.
4. Pola pasif destruktif, yaitu pola tingkah laku yang menunjukkan kemalasan (sifat malas) dan keras kepala.
Namun usaha pemecahan masalah siswa dalam pengelolahan siswa merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam rangka penyediaan kondisi yang optimal agar proses belajar mengajar berjalan efektif. Adapun tindakan yang seharusnya dilakukan oleh guru dibagi menjadi dua, yaitu: usaha yang bersifat pencegahan dan usaha yang bersifat penyembuhan .
Mengenai usaha yang bersifat pencegahan, dengan cara :
1. Guru selalu memiliki waktu untuk semua perilaku anak didik, baik yang mempunyai perilaku positif maupun negatif (menunjukkan sikap tanggap, terlibat secara fisik maupun mental).
2. Guru harus mampu membagi perhatian kepada semua peserta didik, baik verbal maupun non- verbal.
3. Memusatkan perhatian kelompok kepada tugas- tugasnya dari waktu ke waktu.
4. Memberi petunjuk- petunjuk yang jelas.
5. Menegur, bila menunjukkan perilaku yang mengganggu atau menyimpang.
6. Memberikan penguatan, perilaku peserta didik baik positif maupun negatif .
Adapun usaha yang bersifat penyembuhan (kuratif), langkah- langkahnya menurut Johar Permana sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi Masalah, untuk mengetahui atau mengenal masalah- masalah pengelolaan kelas yang timbul dalam kelas.
2. Menganalis masalah, menganalis jenis penyimpangannya kemudian menentukan alternatif penanggulangannya.
3. Menilai alternatif- alternatif pemecahan, menilai dan memilih pemecahan masalah yang dianggap tepat dalam menanggulangi masalah.
4. Mendapatkan balikan, guru melaksanakan monitoring untuk menilai pelaksanaan dari alternatif pemecahan yang dipilih untuk menjadikan anak didik tahu, sadar, semata- mata hal itu untuk perbaikan, baik peserta didik maupun madrasah.
Terdapat pendapat lain mengenai Cara mengatasi sebab-sebab terjadinya masalah ada 2 tahap yang harus dilalui, yaitu:
1. Menentukan lokasi atau letak masalah
2. Memperkirakan sebab-sebab terjadinya masalah belajar
Tahap penentuan letak masalah merupakan tahap penentuan dimana sebenarnya masalah itu terjadi. Yang bertujuan untuk merubah tingkah laku murid sesuai yang diharapkan. Setelah guru mengetahui letak masalah yang sesungguhnya, guru dapat memperkirakan sebab-sebab yang dialami murid dalam belajar. Menentukan sebab-sebab ini sangatlah sukar karena masalah belajar itu sangat kompleks.
Hal ini mengandung pengertian masalah belajar dapat timbul oleh berbagai sebab yabg berlainan, contohnya: masalah belajar yang dialami oleh dua orang murid belum tentu disebabkan oleh faktor yang sama. Misalnya: dua orang murid tidak bisa membaca tulisan gurunya. Murid yang satu mungkin disebabkan menderita penglihatan vyang jauh dan yang lainnya disebabkan karena tidak menguasai tata bahasa yabg benar. Keduanya, dari sebab yang sama dapat timbul masalah yang berlainan. Sering kali pada kondisi masalah yang sama dapat dimiliki oleh seorang murid atau lebih menimbulkan masalah yang berlainan pada masing-masing individu. Uraian diatas memaparkan secara teknis langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengungkapkan sebab-sebab terjadinya masalah yang dialami oleh murid.
Beberapa metode yang dilakukan Hussain Mazhariri untuk mengatasi masalah- masalah yang negatif, yaitu : bersikap tidak membedakan, perhatian dan pengarahan yang baik, menanamkan taqwa dalam jiwa, berlindung kepada Allah .
Menilai prestasi siswa
Menilai perilaku murid mulai di kelas dan dimulai oleh guru kelas. Guru mempunyai du maksud pokok untuk penilaian, yaitu : untuk mengetahui betapa baik bahan pelajaran telah diajarkan dan untuk mengetahui betapa baik bahan pelajaran telah dipelajari. Test belajar prestasi ialah alat yang banyak dipakai untuk pengukuran ini .
Satria Hadi Lubis14 urgensi memotivasi untuk tetap berprestasi, yaitu: selalu bersemangat, tekun dalam bekerja dan belajar, tidak tergantung pada motivasi dari orang lain, selalu berinisiatif dan kreatif, produktif dalam bekerja dan belajar, tercapainya tujuan yang diinginkan, meraih tujuan dengan lebih cepat, optimis terhadap masa depan, menikmati hidup dan belajar, terhindar dari kesepian, terhindar dari rasa jenuh, menunaikan kewajiban syar’I, melaksanakan sunnah Rosul, memperoleh kesuksesan dunia akhirat .
Kesimpulan
Dengan demikian proses yang menentukan betapa baik program- program atau kegiatan- kegiatan sedang mencapai maksud- maksud yang telah ditetapkan, yang bertujuan untuk menjamin cara bekerja yang efektif dan efisien, untuk memperoleh fakta- fakta tentang kesukaran- kesukaran serta menghindarkan situasi yang dapat merusak, dan untuk memajukan kesanggupan para guru dan orang tua murid dalam mengembangkan organisasi sekolah dengan berbagai tindak lanjut yang beragam.
Serta tak lupa mengetahui tujuan dan fungsi dari penilaian itu sendiri dengan maksud untuk memudahkan dalam penilaian yang berupaya untuk pengoptimalan dan pengefektifan proses pendidikan di sekolah. Dengan mengetahui permasalahan- permasalahan yang terjadi pada siswa akan lebih mudah mengetahui penyimpangan- penyimpangan yang terjadi khususnya pada siswa untuk perbaikan individu maupun pihak sekolah dengan berbagai dorongan yang beragam.
Jadi dengan menggunakan proses penilaian itu efektifitas seluruh organisasi dan tiap- tiap bagiannya bisa ditentukan. Maka makalah ini akan membahas tentang penilaian, rencana tindak lanjut yang diupayakan, prinsip- prinsip penilaian kelas, fungsi dan tujuan penilaian, manfaat dan keunggulan penilaian kelas, serta cara- cara menindak lanjuti dalam permasalahan yang dilakukan murid maupun terhadap siswa yang berprestasi.
Konsep penilaian & rencana tindak lanjut
Sebelum melangkah lebih jauh terlebih dahulu kita memahami maksud dari penilaian itu sendiri, apa konsep penilaian dan apa itu rencana tindak lanjut ?
Penilaian adalah unsur yang sangat penting dari keseluruhan proses administrasi, yang dimaksud yaitu proses yang menentukan betapa baik program- program atau kegiatan- kegiatan sedang mencapai maksud- maksud yang telah ditetapkan, yang tidak lain untuk memperoleh dasar bagi pertimbangan pada akhir suatu periode, untuk menjamin cara bekerja yang efektif dan efisien, untuk memperoleh fakta- fakta tentang kesukaran- kesukaran serta menghindarkan situasi yang dapat merusak, dan untuk memajukan kesanggupan para guru dan orang tua murid dalam mengembangkan organisasi sekolah .
Evaluasi merupakan pengukuran ketercapaian program pendidikan, perencanaan suatu program substansi pendidikan termasuk kurikulum dan pelaksanaannya, pengadaan dan peningkatan kemampuan guru, pengelolaan pendidikan, dan reformasi pendidikan secara keseluruhan.
Pada kurikulum berbasis kompetensi, komponen penilaiannya dikenal dengan penilaian berbasis kelas didalamnya terdapat proses pengumpulan, laporan,dan penggunaan informasi tentang belajar siswa yang di peroleh melalui pengukuran untuk menganalisis atau menjelaskan untuk kerja atau prestasi siswa dalam mengerjakan tugas tugas terkait. Proses penilaia mecakup pengumpulan sejumlah bukti-bukti yang menunjukan hasil pencapaian hasil belajar. Penilaian berbasis kelas menggunakan pengertian penilaian sebagai ‘assesment’ yaitu kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dan mengefektifkan informasi tentang hasil belajar siswa pada tingkat kelas selama dan setelah kegiatan belajar mengajar. atau informasi dari penilaian berbasis kelas merupakan salah satu bukti yang dapat di gunakan untuk mengukur keberhasilan suatu program pendidikan.
• Fungsi & tujuan penilaian
• Prinsip penilaian kelas & prosedur penilaian
• Masalah-masalah murid & penyelesaiannya
• Bantuan yang dilakukan untuk mengatasi murid yang bermasalah & dorongan terhadap murid yang berprestasi.
Rencana Tindak Lanjut ( RTL)/ Langkah- langkah yang dilakukan
Maksud proses penilaian adalah untuk meningkatkan efektifitas organisasi, maka perlu untuk mencoba suatu penilaian umum tentang seluruh perbuatan organisasi dengan beberapa langkah sebagai berikut :
1. Langkah pertama dalam proses penilaian adalah pilihan dan perumusan apa yang hendak dinilai.
2. Langkah kedua yang sangat penting dalam proses penilaian ialah penetapan kriteria untuk mempertimbangkan apapun yang akan dinilai itu.
3. Langkah ketiga ialah penetapan tentang data macam apa yang benar- benar berhubungan dengan kriteria itu dan bagaimana data itu bisa dikumpulkan.
4. Langkah keempat dan terakhir ialah penetapan tentang data dalam kata- kata kriteria yan telah ditetapkan. Berikut merupakan cara- cara melakukan penilaian : Penilaian Melalui Portofolio (Portfolio), Penilaian Melalui Unjuk Kerja (Performance), Penilaian Melalui Penugasan (Proyek/Project), Penilaian Melalui Hasil kerja (Produk/Product), Penilaian Melalui Tes Tertulis (Paper & Pen)
Prinsip penilaian kelas
Untuk melengkapi tulisan lain mengenai Penilaian Kelas yakni manfaat dan fungsi penilaian kelas, dan kriteria penilaian kelas, berikut uraian tentang prinsip penilaian kelas.
Dalam melaksanakan penilaian, guru seyogjanya:
a. Memandang penilaian dan kegiatan pembelajaran secara terpadu, sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan proses pembelajaran.
b. Mengembangkan tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata.
c. Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat penilaian sebagai cermin diri.
d. Melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pembelajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar peserta didik.
e. Mempertimbangkan berbagai kebutuhan khusus peserta didik.
f. Mengembangkan dan menyediakan sistem pencatatan yang bervariasi dalam pengamatan kegiatan belajar peserta didik.
g. Menggunakan cara dan alat penilaian yang bervariasi. Penilaian kelas dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, produk, portofolio, unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran sehari-hari sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.
h. Melakukan Penilaian kelas secara berkesinambungan terhadap semua Stándar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas.
i. Mengadakan ulangan harian bila sudah menyelesaikan satu atau beberapa indikator. Dengan demikian tidak perlu menunggu menyelesaikan 1 KD, karena ruang lingkupnya besar.
Pelaksanaan ulangan harian dapat dilakukan dengan penilaian tertulis, penilaian lisan, penilaian unjuk kerja, atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi atau kompetensi yang dinilai. Ulangan tengah semester dilakukan bila telah menyelesaikan beberapa kompetensi dasar dipertengahan semester, sedangkan ulangan akhir semester dilakukan setelah menyelesaikan semua kompetensi dasar semester bersangkutan. Ulangan kenaikan kelas dilakukan pada akhir semester genap dengan menilai semua kompetensi dasar semester ganjil dan genap, dengan penekanan pada kompetensi dasar semester genap. Guru menetapkan tingkat pencapaian kompetensi peserta didik berdasarkan hasil belajarnya pada kurun waktu tertentu (akhir semester atau akhir tahun).
Menurut Drs, Ngalim Purwanto, Dkk , untuk melaksanakan evaluasi dalam pendidikan dengan sebaik- baiknya, setiap guru hendaknya mengetahui prinsip- prinsip sebagai berikut :
1. prinsip integritas (keseluruhan). Dalam prinsip ini untuk pelaksanaannya diperlukan bermacam- macam teknik, yang dinilai bukan hanya kecerdasan atau hasil pelajaran melainkan seluruh pribadinya.
2. Prinsip kontinuitas, karena pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu, maka hasil yang diperoleh di suatu waktu harus dihubungan dengan hasil- hasil penilaianpada waktu sebelumnya, sehingga dengan demikian dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang perkembangan anak didik.
3. Prinsip objektifitas, tiap penilaian harus diusahakan dilakukan seobjektif- seobjektifnya. Dalam hal ini perasaan si penilai harus dijauhkan, tidak boleh mempengaruhi penilaian, juga situasi yang dialami sipenilai jangan hendaknya mempengaruhi evaluasi yang dijalankan. Penilaian yang objektif adalah penilaian yang didasarkan semata- mata atas kenyataan yang sebenarnya.
4. Prinsip koperatif, bahwa setiap penilaian hendaknya dilakukan bersama- sama oleh semua guru yang bersangkutan. Prinsip ini sangat erat hubungannya dengan ketiga prinsip diatas.
Agar penilaian objektif, guru harus berupaya secara optimal untuk (1) memanfaatkan berbagai bukti hasil kerja peserta didik dan tingkah laku dari sejumlah penilaian, (2) membuat keputusan yang adil tentang penguasaan kompetensi peserta didik dengan mempertimbangkan hasil kerja (karya) mereka, Tujuan dan Fungsi Penilaian Hasil Belajar
Tujuan Penilaian Kelas
• Penilaian kelas dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan belajar siswa, guna menetapkan sampai sejauhmana siswa telah menguasai kompetensi yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
• Penelurusan yaitu untuk menelusuri agar proses pembelajaran anak didik tetap sesuai dengan rencana.
• Pengecekan yaitu untuk mengecek adakah kelemahan-kelemahan yang dialami anak didikdalam proses pembelajaran.
• Pencarian yaitu untuk mencari dan menemukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya kelemahan dan kesalahan dalam proses pembelajaran.
• Penyimpulan yaitu untuk menyimpulkan apakah anak didik telah menguasai seluruh kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum atau belum.
Fungsi Penilaian
Penilaian kelas yang disusun secara berencana dan sistematis oleh guru memiliki fungsi motivasi, belajar tuntas, efektifitas pengajaran dan umpanbalik. Kemudian fungsi yang lainnya juga :
• Sebagai alat untuk menetapkan penguasaan siswa terhadap kompetensi.
• Sebagai bimbingan,
• Sebagai alat diagnosis,
• Sebagai alat prediksi
• Sebagai grading,
• Sebagai alat seleksi,
Menurut Dr. Suharsimi Arikunto mengenai tujuan dan fungsi penilaian ada beberapa hal :
1. Penilaian berfungsi selektif, dengan cara mengadakan seleksi atau penilaian terhadap siswanya.
2. Penilaian berfungsi diagnostik, dengan mengadakan diagnosa kepada siswa tentang kebaikan dan kelemahannya. Maka dengan demikian guru akan lebih mudah cara untuk mengatasi kelemahan dan lebih mengembangkan pribadi siswa.
3. Penilaian berfungsi sebagai penempatan, dapat menentukan dengan pasti dimana seorang siswa harus ditempatkan.
4. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan, dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana program berhasil diterapkan. Keberhasilan faktor ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu faktor guru, metode mengajar, kurikulum, sarana dan sistem administrasi.
Kalau kita telusuri mengenai segi manfaat dan keunggulan penilaian kelas yang merupakan factor yang mendukung proses pendidikan, dilihat dari segi Manfaat penilaian kelas, yaitu: Sebagai umpan balik bagi siswa agar mengetahui kemampuan dan kekurangannya, Untuk memantau kemajuan dan mendiagnosis kesulitan belajar yang dialami siswa, Sebagai umpan balik bagi guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar, Sebagai informasi kepada orang tua dan komite sekolah tentang efektivitas pendidikan.
Kemudian kalau dari segi Keunggulan penilaian kelas, yaitu: memungkinkan adanya kesempatan yang terbaik bagi siswa untuk menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya, Prestasi belajar siswa terutama tidak dibandingkan dengan prestasi kelompok, tetapi dengan prestasi atau kemampuan yang dimiliki sebelumnya, Pengumpulan informasi dilakukan dengan berbagai cara, Siswa tidak sekedar dilatih memilih jawaban yang tersedia, tetapi lebih dituntut menanggapi dan memecahkan masalah, siswa diberi kesempatan memperbaiki prestasi belajarnya, Penilaian tidak hanya dilaksanakan setelah proses belajar-mengajar (PBM) tetapi dapat dilaksanakan ketika PBM sedang berlangsung (penilaian proses), Kriteria penilaian karya siswa dapat dibahas guru dengan para siswa sebelum karya itu dikerjakan sehingga secara tidak langsung terdorong agar berusaha mencapai harapan (expectations) (standar yang dituntut) guru.
Menurut Tim MKDK IKIP Semarang ada lima hal yang melatarbelakangi perlunya layanan bimbingan di sekolah yakni: masalah perkembangan individu, masalah perbedaan individual, masalah kebutuhan individu, masalah penyesuaian diri dan kelainan tingkah laku, dan masalah belajar
Dalam hal ini sebagai Guru harus membimbing dalam perbedaan dan permasalahan, tiap individu maupun kelompok. Sardiman menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan BK, yaitu:
1. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi kegiatan akademik maupun umum.
2. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal pelajaran dan lain-lain.
3. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di dalam proses belajar-mengajar.
4. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
5. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
6. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan dan pengetahuan.
7. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses belajar-mengajar. . 8. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Masalah-masalah siswa
Masalah-masalah siswa yaitu: Suatu kondisi tertentu yang dialami oleh seseoarang muridf dan menghambat kelancaran prosaa belajarnya.kondisi tertentu dapat berkeneen dengan keadaan dirinya, yaitu berupa kelemahan-kelemahan yang dimilikinya dan juga dapat berkenaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh murid yang terbelakang saja, tetapi juga dapat menimpa murid yang pandai atau yang cerdas.
Masalah-masalah belajar pada dasarnya dapat digolongkan atas ( kognitif/ intelektual dan afektif/ perilaku ), yaitu :
1. Sangat cepat dalam belajar, yaitu murid-murid yang tampaknya memiliki bakat akademik yang cukup tinggi, memiliki IQ 130 atau lebih, dan memerlukan tugas-tugas khusus yang terencana.
2. Keterlambatan akademik, yaitu murid yang tampaknya memiliki intelegensi normal tetapi tidsk dapat memanfaatkannya secara baik.
3. Lambat belajar, yaitu murid yang tampaknya memiliki kemampuan yang kurang memadai. Mereka memiliki IQ 70-90 sehingga perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan bantuan khusus.
4. Penempatan kelas, yaitu murid-murid yang umur, kemampuan, ukuran, dan minat-minat social yang terlalu besar atau terlalu kecil untuk kelas yang ditempatinya.
5. Kurang motif dalam belajar, yaitu untuk murid-murid yang kurang semangat dalam belajar, mereka tampak jerah dan malas.
6. Sikap dan kebiasaan buruk, yaitu murid-murid yang kegiatan atau perubuatannya berlawanan atau tidak sesuai dengan seharusnya seperti suka marah, menunda-nunda tugas, belajar pada saat akan ujian saja
7. Kehadiran di madrasah, yatu murid-murid yang sering tidak hadir atau yang menderita sakit dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga kehilangan sebagian besar kegiatan belajaranya.
Murid-murid seperti di atas perlu mendapatkan bantuan dari guru mereka dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan balajar mereka secara baik dan terarah. Pada gilirannya mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan dalam pengajaran, Setelah guru mengetahui siapa murid yang bermasalah dalam belajar dan jenis masalah yang dialaminya, selanjutnya guru perlu mengungkapkanya mengapa masalah itu terjadi, untuk mengungkapnya, guru harus membantu bagaimana mengatasi masalah yang dialami muridnya dalam belajar, salah satunya dengan menyuruh siswa agar rajin belajar di rumah.
Menurut Abdul Majid dalam bukunya adanya empat pola tingkah laku yang sering Nampak di sekolah , antara lain:
1. Pola aktif konstruktif, yaitu pola tingkah laku yang ekstrim, ambisius untuk menjadi untuk menjadi super star di kelasnya dan berusaha membantu guru dengan sepenuh hati.
2. Pola aktif destruktif, yaitu pola tingkah laku yang diwujudkan dalam bentuk banyolan (gurauan), suka marah, kasar dan memberontak.
3. Pola pasif konstruktif, yaitu pola yang menunjukkan kepada satu bentuk tingkah laku yang lamban dengan maksud supaya selalu dibantu dan mengharapkan perhatian.
4. Pola pasif destruktif, yaitu pola tingkah laku yang menunjukkan kemalasan (sifat malas) dan keras kepala.
Namun usaha pemecahan masalah siswa dalam pengelolahan siswa merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam rangka penyediaan kondisi yang optimal agar proses belajar mengajar berjalan efektif. Adapun tindakan yang seharusnya dilakukan oleh guru dibagi menjadi dua, yaitu: usaha yang bersifat pencegahan dan usaha yang bersifat penyembuhan .
Mengenai usaha yang bersifat pencegahan, dengan cara :
1. Guru selalu memiliki waktu untuk semua perilaku anak didik, baik yang mempunyai perilaku positif maupun negatif (menunjukkan sikap tanggap, terlibat secara fisik maupun mental).
2. Guru harus mampu membagi perhatian kepada semua peserta didik, baik verbal maupun non- verbal.
3. Memusatkan perhatian kelompok kepada tugas- tugasnya dari waktu ke waktu.
4. Memberi petunjuk- petunjuk yang jelas.
5. Menegur, bila menunjukkan perilaku yang mengganggu atau menyimpang.
6. Memberikan penguatan, perilaku peserta didik baik positif maupun negatif .
Adapun usaha yang bersifat penyembuhan (kuratif), langkah- langkahnya menurut Johar Permana sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi Masalah, untuk mengetahui atau mengenal masalah- masalah pengelolaan kelas yang timbul dalam kelas.
2. Menganalis masalah, menganalis jenis penyimpangannya kemudian menentukan alternatif penanggulangannya.
3. Menilai alternatif- alternatif pemecahan, menilai dan memilih pemecahan masalah yang dianggap tepat dalam menanggulangi masalah.
4. Mendapatkan balikan, guru melaksanakan monitoring untuk menilai pelaksanaan dari alternatif pemecahan yang dipilih untuk menjadikan anak didik tahu, sadar, semata- mata hal itu untuk perbaikan, baik peserta didik maupun madrasah.
Terdapat pendapat lain mengenai Cara mengatasi sebab-sebab terjadinya masalah ada 2 tahap yang harus dilalui, yaitu:
1. Menentukan lokasi atau letak masalah
2. Memperkirakan sebab-sebab terjadinya masalah belajar
Tahap penentuan letak masalah merupakan tahap penentuan dimana sebenarnya masalah itu terjadi. Yang bertujuan untuk merubah tingkah laku murid sesuai yang diharapkan. Setelah guru mengetahui letak masalah yang sesungguhnya, guru dapat memperkirakan sebab-sebab yang dialami murid dalam belajar. Menentukan sebab-sebab ini sangatlah sukar karena masalah belajar itu sangat kompleks.
Hal ini mengandung pengertian masalah belajar dapat timbul oleh berbagai sebab yabg berlainan, contohnya: masalah belajar yang dialami oleh dua orang murid belum tentu disebabkan oleh faktor yang sama. Misalnya: dua orang murid tidak bisa membaca tulisan gurunya. Murid yang satu mungkin disebabkan menderita penglihatan vyang jauh dan yang lainnya disebabkan karena tidak menguasai tata bahasa yabg benar. Keduanya, dari sebab yang sama dapat timbul masalah yang berlainan. Sering kali pada kondisi masalah yang sama dapat dimiliki oleh seorang murid atau lebih menimbulkan masalah yang berlainan pada masing-masing individu. Uraian diatas memaparkan secara teknis langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mengungkapkan sebab-sebab terjadinya masalah yang dialami oleh murid.
Beberapa metode yang dilakukan Hussain Mazhariri untuk mengatasi masalah- masalah yang negatif, yaitu : bersikap tidak membedakan, perhatian dan pengarahan yang baik, menanamkan taqwa dalam jiwa, berlindung kepada Allah .
Menilai prestasi siswa
Menilai perilaku murid mulai di kelas dan dimulai oleh guru kelas. Guru mempunyai du maksud pokok untuk penilaian, yaitu : untuk mengetahui betapa baik bahan pelajaran telah diajarkan dan untuk mengetahui betapa baik bahan pelajaran telah dipelajari. Test belajar prestasi ialah alat yang banyak dipakai untuk pengukuran ini .
Satria Hadi Lubis14 urgensi memotivasi untuk tetap berprestasi, yaitu: selalu bersemangat, tekun dalam bekerja dan belajar, tidak tergantung pada motivasi dari orang lain, selalu berinisiatif dan kreatif, produktif dalam bekerja dan belajar, tercapainya tujuan yang diinginkan, meraih tujuan dengan lebih cepat, optimis terhadap masa depan, menikmati hidup dan belajar, terhindar dari kesepian, terhindar dari rasa jenuh, menunaikan kewajiban syar’I, melaksanakan sunnah Rosul, memperoleh kesuksesan dunia akhirat .
Kesimpulan
Dengan demikian proses yang menentukan betapa baik program- program atau kegiatan- kegiatan sedang mencapai maksud- maksud yang telah ditetapkan, yang bertujuan untuk menjamin cara bekerja yang efektif dan efisien, untuk memperoleh fakta- fakta tentang kesukaran- kesukaran serta menghindarkan situasi yang dapat merusak, dan untuk memajukan kesanggupan para guru dan orang tua murid dalam mengembangkan organisasi sekolah dengan berbagai tindak lanjut yang beragam.
Serta tak lupa mengetahui tujuan dan fungsi dari penilaian itu sendiri dengan maksud untuk memudahkan dalam penilaian yang berupaya untuk pengoptimalan dan pengefektifan proses pendidikan di sekolah. Dengan mengetahui permasalahan- permasalahan yang terjadi pada siswa akan lebih mudah mengetahui penyimpangan- penyimpangan yang terjadi khususnya pada siswa untuk perbaikan individu maupun pihak sekolah dengan berbagai dorongan yang beragam.
Manfaat Logika
Paling kurang ada empat kegunaan logika: pertama, membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berfikir secara rasional, kritis, lurus, tepat, tertib, metodis, dan koheren; kedua, meningkatkan kemampuan berfikir secara abstrak, cermat, objektif; ketiga, menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berfikir secara tajam dan mandiri; keempat, meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kekeliruan serta kesesatan.
Bagi ilmu pengetahuan, logika merupakan keharusan. Tidak ada ilmu penegtahhuan yang tidak didasarkan pada logika. Ilmmu penegetahuan tanpa logika tidak akan mencapai kebenaran ilmiah. Sebagaimana dikemukakan oleh bapak logika Aristoteles, logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, barang siapa yang mempelajari logika, sesungguhnya ia telah menggenggam master key untuk membuka semua pintu masuk keberbagai disiplin ilmu pengetahuan.
dalam kajian epistomelogi, pengetahuan disebut benar jika ia diperoleh melalui cara-cara yang bertanggung jawab dan menunujukkan adanya kesesuaian dengan kenyataan. Yang dimaksud dengan cara yang bertanggung jawab adalah cara yang secara formal bisa diterima oleh akal sehat. Sedang yang dimaksud dengan sesuai dengan keadaan pengetahuan yang secara materiil bisa dibuktikan pada kenyataan.
Dalam proses pengetahuan itu, logika berperan pad posisi yang pertama, yaitu sebagai “jalan” atau cara yang sehat untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Maka logika merupakan hukum atau peratuaran normal, yang dengan melaluinya akan diperoleh pengetahuan yang benar. Disebut “akan diperoleh” karena belum tentu benar-benar akan diperoleh. itulah sebabnya, dengan mengikuti “jalan”nya, logika “menjanjikan” hanya akan diperoleh pengetahuan yang “tepat”.
Bagi ilmu pengetahuan, logika merupakan keharusan. Tidak ada ilmu penegtahhuan yang tidak didasarkan pada logika. Ilmmu penegetahuan tanpa logika tidak akan mencapai kebenaran ilmiah. Sebagaimana dikemukakan oleh bapak logika Aristoteles, logika benar-benar merupakan alat bagi seluruh ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, barang siapa yang mempelajari logika, sesungguhnya ia telah menggenggam master key untuk membuka semua pintu masuk keberbagai disiplin ilmu pengetahuan.
dalam kajian epistomelogi, pengetahuan disebut benar jika ia diperoleh melalui cara-cara yang bertanggung jawab dan menunujukkan adanya kesesuaian dengan kenyataan. Yang dimaksud dengan cara yang bertanggung jawab adalah cara yang secara formal bisa diterima oleh akal sehat. Sedang yang dimaksud dengan sesuai dengan keadaan pengetahuan yang secara materiil bisa dibuktikan pada kenyataan.
Dalam proses pengetahuan itu, logika berperan pad posisi yang pertama, yaitu sebagai “jalan” atau cara yang sehat untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Maka logika merupakan hukum atau peratuaran normal, yang dengan melaluinya akan diperoleh pengetahuan yang benar. Disebut “akan diperoleh” karena belum tentu benar-benar akan diperoleh. itulah sebabnya, dengan mengikuti “jalan”nya, logika “menjanjikan” hanya akan diperoleh pengetahuan yang “tepat”.
Langganan:
Postingan (Atom)