Jumat, 10 September 2010

Konsep Fitrah Dalam Islam dan Relevansinya Dengan Aliran Konvergensi

Pendahuluan
Ada satu perkataan yang masih terngiang dalam benak penulis, yaitu yang mengatakan bahwa lebih enak mengatur bebek sekian banayaknya daripada mengatur seorang anak manusia. Sedemikian sulitkah mengatur anak manusia sehingga timbul perkataan seperti ini?. Mungkin perkataan ini ada benarnya, karena mengatur anak manusia yang memiliki faktor-faktor dasar seperti faktor bawaan (dasar), lingkungan dan lainya akan terasa sulit, berbeda halnya dengan bebek yang tidak memilikinya dan mungkin dengan satu isyarat dapat mengikuti apa yang dikehendaki manusia atau pemiliknya. Lalau bagaimana dengan membentuk (prkembangan) anak manusia yang notabenenya lebih luas maknanya dari pada halnya dengan sekedar mengatur?. Dalam makalah ini penulis mencoba memaparkan hal-hal dasar yang terdapat pada seorang anak manusia dalam pandangan Islam dan hubunganya dengan salah satu aliran psikologi perkembangan yaitu aliran Konvergensi.

Pembahasan
a. Konsep Fitrah dalam Islam
Kata fitrah, berasal dari akar kata fa tha ra, fathrun, yang memiliki arti pemisahan, pemecahan, pembelahan dan pematahan. kata bentukan fatharahu, berarti juga menciptakan dan mengadakan. Sedangkan kata bentukan futhira memiliki arti yang sama dengan thubi’a yakni melekatkan, menempelkan dan mencap. Dalam al-Quran disebut, thubi’a Allah ‘ala qulubihim (Allah telah menutup rapat hati mereka) memiliki makna yang sama dengan khatama (mengunci). Dari kata thubi’a inilah kemudian muncul kata thab’un yang merujuk kepada nature, asal muasal, atau kualitas-kualitas bawaan manusia, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tabiat. Dari sinilah, kemudian kata fitrah sinonim dengan sifat-sifat bawaan manusia, sesuatu yang tidak berubah dan telah ada sejak awal, naluri. Hal ini kemudian ditegaskan oleh Nabi, bahwa setiap bayi dilahirkan sesuai fithrah, dan ayahnyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Untuk kemudian, kata fitrah ini sinonim dengan Islam, melegitimasinya sebagai agama yang cocok dengan naluri bawaan manusia, akal. Sebenarnya, pengambilan makna fitrah lewat model tadi adalah bentuk yang lazim di temui dalam kehidupan sehari-hari.
Maka dengan demikian perkembangan seseorang tidak dapat di lepaskan dari “fitrah”nya sebagai manusia. Sebagaimana yang disebutkan di Al -Quran yaitu pada Q.S. Al-Rum (30):30
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم و لكن أكثر الناس لا يعلمون (الروم: 30 )
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecendeungan aslinya), itulah fitrah Allah, yang mana Allah menciptakan manusia mengetahuinya. (Q.S. al Rum [30]:30)
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya manusia memiliki potensi dasar untuk beragama (berkembang) dengan baik dan benar. Sesuai dengan anugrah yang telah diberikan Allah kepada manusia seluruhnya, untuk kemudian berproses didalam lingkunganya. Tetapi dalam proses inilah seseorang memasuki masa yang penting, karena pengaruh yang ada pada frase ini dapat merubah yang baik menjadi buruk dan sebaliknya.
Sebagaimana yang dikatakan nabi Muhammad dalam salah satu haditsnya
كل مولود يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه أو يمجّسانه أو ينصرانه أو يمجّسانه
Artinya:
Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Dari hadits nabi di atas dapat di tarik satu kesimpulan bahwa seorang anak manusia itu seperti sebuah adonan yang bisa di bentuk atau dididik sesuai keinginan yang mendidik. Dan pada dasrnya, seseorang itu layak dibentuk dengan bentuk yang baik dan juga layak dibentuk dengan bentuk yang buruk. Dalam pembentukan inilah lingkungan atau orang tualah yang memegang peranan penting, jadi kehati-hatian dalam mendidik seorang anak tidak boleh dipandang sebelah mata.
b. Konsep Perkembangan Manusia dalam Aliran Konvergensi
Aliran ini dikemukakan pertama kali oleh William Louis Stern seorang Jerman yang lahir di Berlin pada tanggal 29 april 1871. Aliran Konvergensi berpendapat bahwa didalam perkembangan individu baik dasar (bakat dan keturunan) maupun lingkungan, kedua-duanya memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan atau disposisi telah ada pada masing-masing individu, yang kemudian karena pengaruh lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dasar, lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan tidaklah cukup, misalnya: tiap anak manusia yang normal mempunyai bakat untuk berdiri di atas kedua kakinya, akan tetapi bakat sebagai kemungkinan ini tidak akan menjadi aktual (menjadi nyata) jika sekiranya anak manusia itu tidak hidup dalam lingkungan masyarakat manusia. Anak manusia yang semenjak kecilnya di asuh oleh srigala kemungkinan tidak akan dapat berdiri dan berjalan di atas kedua kakainya, mungkin dia akan berjalan di atas tangan dan kakinya (merangkak, seperti srigala).
a. Keturunan
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sifat-sifat atau cirri-ciri pada seorang anak adalah keturunan, jika sifat-sifat atau ciri-ciri tersebut diwariskan atau diturunkan melalui sel-sel kelamin dan generasi yang lain. Jadi sebelum diputuskan sifat atau ciri yang terdapat pada seseorang itu keturunan atau bukan, harus di lihat dari dua faktor yaitu :
1. Persamaan sifat atau ciri-ciri,
2. Ciri atau sifat-sifat ini harus menurun melalui sel kelamin.
Maka dalam menggolongkan itu semua harus berhati-hati dalam memutuskan, apakah itu merupakan keturunan atau bukan. Dengan demikian suatu sifat atau ciri-ciri yang sama antara orang tua dan anaknya, belum dapat diambil kesimpulan bahwa sifat atau ciri-ciri pada anak itu merupakan keturunan. Contohnya, bapak yang malas mempunyai anak yang malas. Ini bukan berarti bahwa kemalasan anak itu adalah keturunan. Mungkin sifat malas pada anak itu disebabkan karena anak itu dengan tidak sadar meniru dari bapaknya, dalam hal ini kaitanya adalah dengan faktor lingkungan.
b. Lingkungan (environment)
Menurut Sartain (seorang psikolog dari Amerika) bahwa apa yang dimaksud dengan lingkungan adalah semua kondisi-kondisi dalam dunia ini yang dalam cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku manusia, pertumbuhan, perkembangan atau life processes manusia, kecuali gen-gen, dan bahkan gen-gen dapat pula dipandang sebagai menyiapkan lingkungan bagi gen yang lain. Menurut Sartain lingkungan dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Lingkungan alam atau luar (external or physical environment)
2. Lingkungan dalam (internal environment)
3. Lingkungan sosial atau masyrakat (social environment).
Yang dimaksud dengan lingkungan alam atau luar adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini selain manusia, seperti rumah, tumbuh-tumbuhan, air, iklim, hewan, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan lingkungan dalam adalah segala sesuatu yang termasuk lingkungan luar. Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan sosial adalah semua orang atau manusia lain yang mempengaruhi suatu individu. Pengaruh lingkungan sosial ada yang secara langsung dan ada yang tidak langsung. Pengaruh yang langsung seperti pergaulan dengan orang lain, keluarga, teman, dan lainnya. Dan pengaruh yang tidak langsung seperti radio, televisi, buku-buku, Koran dan lain-lain.
Tetapi, pengaruh lingkungan saja ternyata juga tidak cukup. Misalnya walaupun fasilitas yang mungkin diperlukan dalam rangka mendukung perkembangan dapat disediakan dengan sebaik-baiknya, tidak dapat menjamin keberhasilan (perkembangan) yang dicita-citakan oleh orang tua atau pendidiknya.
Banyak orang tua yang merasa gagal dalam mengarahkan anak-anaknya, dan tidak sedikit pula pendidik atau guru yang berkeluh kesah tentang muridnya yang tidak mencapai kemajuan yang maksimal meskipun banyak usaha telah dilakukan.
Aliran Konvergensi bisa dikatakan sebagai jembatan antara aliran Nativisme yaitu yang berpendapat bahwa perkembangan individu tergantung pada bakat dan pembawaan, dan aliran Empirisme yaitu yang berpendapat bahwa perkembangan individu tergantung pada bakat atau pembawaan dan pengalaman. Individu yang berkemampuan untuk mengalami dan menghayati adalah pandangan dari aliran Nativisme. Sedangkan individu yang megalami atau menghayati adalah obyek dari aliran Empirisme. Maka bisa dikatakan bahwa, Stern telah menggabungkan dua aliran psikology yang saling bersebrangan.
Selain itu masih ada satu hal yang perlu diketahui disini yaitu soal kematangan. Konsepsi Konvergensi mengatakan bahwa dasar sebagai kemungkinan, dimana jika mendapatkan lingkungan yang sesuai dasar-dasar tersebut akan menjadi nyata atau aktual. Akan tetapi perlu ditambahkan disini, bahwa dasar atau bakat yang telah tersedia itu bisa jadi belum matang, walaupun mendapat lingkungan yang baik untuk perkembangannya, tetapi tidk akan menjadi kenyataan. Misalnya saja bila anak manusia yang normal mempunyai dasar (kemungkinan) untuk dapat berjalan tegak di atas kedua kakinya aknan terasa sia-sia sekiranya jika, diajarkan pada anak yang baru berumur 5 atau 6 bulan untuk berjalan. Demikian pula tiap anak manusia yang normal di bekali kemungkinan untuk dapat berbicara, tetapi walaupun diperlengkapi dengan berbagai fasilitas yang diperlukan, tidak ada seorangpun yang mampu mengajar anak yang baru berumur 4 bulan untuk berbicara.
Maka dasar atau kemampuan bawaan yang ada pada anak jika sudah sampai pada masanya akan menjadi kenyataan jikalau mendapatkan lingkungan yang serasi, yang diperlukan untuk mendukung perkembangan tersebut. Masa matangnya suatu dasar kemampuan ini adalah masa peka yang harus dipergunakan dan dilayani sebaik-baiknya untuk berlangsungnya perkembangan yang baik atau yang dikehendaki.
c. Hubungan Antara Konsep Fitrah dan Teori Konvergensi
Secara ilmiah telah jelas, betapa hukum keturunan berpengaruh dalam memindahkan sifat-sifat orang tua kepada anak melalui gen-gen turunan. Manusia (terutama mereka yang memiliki kemampuan khusus dalam mengenal petunjuk-petunjuk wajah dan bentuk tubuh secara umum) dapat membedakan petunjuk-petunjuk keserupaan anak dan tingkat keserupaanya dengan kedua orang tuanya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh nabi Muhammad S.A.W. yang mensyaratkan kepada kaumnya jikalau ingin menikah harus melihat kepada empat faktor yang salah satunya adalah nasab atau keturuan.
Dari sini tidak dapat dipungkiri bahwa faktor keturunan memainkan peranan penting dalam membentuk karakter dan bukan tidak mungkin berpengaruh pula pada pertumbuhan seorang individu.
Tetapi apabila diperhatikan lebih seksama, ternyata faktor keturunan hanya menempati beberapa persen saja dalam proses pembentukan individu. Contohnya seorang anak yang orang tuanya pintar, tidak lantas anak itu menjadi pintar seperti orang tuanya. Lalu berapa banyak orang shaleh, yang mempunyai anak yang jauh dari ajaran agama. Dan berbagai contoh lainya yang membuktikan bahwa faktor keturunan tidak sepenuhnya menentukan perkembangan seorang individu.
Maka disamping faktor pembawaan (fitrah) masih ada faktor lain yang ikut andil dalam pembentukan seorang individu yaitu faktor lingkungan. Sebagaimana yang telah disinggung diawal, didalam lingkngan inilah seorang individu berproses untuk menentukan dirinya sendiri sebagai akibat dari pengaruh-pengaruh yang ia dapatkan disekelilingnya. Pada proses inilah manusia akan membentuk dirinya sendiri, apakah ia akan menjadi baik, atau apakah ia akan menjadi buruk.
Maka dengan konsepsi seperti ini teori fitrah dalam Islam sejalan dengan salah satu teori perkembangan, yaitu teori konvergensi. Tetapi didalam Islam perkembangan seorang individu akan terasa lebih kompleks lagi, karena didalamnya faktor tauhid memegang peranan penting. Sebagaimana yang disebutkan di Al -Quran yaitu pada Q.S. Al-Rum (30):30
فأقم وجهك للدين حنيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم و لكن أكثر الناس لا يعلمون (الروم: 30 )
Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama dengan selurus-lurusnya (sesuai dengan kecendeungan aslinya), itulah fitrah Allah, yang mana Allah menciptakan manusia mengetahuinya. (Q.S. al Rum [30]:30)
Pada ayat al-Quran diatas terlihat jelas bahwa ketauhidan tidak dapat dilepaskan dari proses perkembangan manusia. Faktor tauhid menjadi nilai plus yang tidak dimiliki oleh semua teori perkembangan kecuali dalam Islam itu sendiri. Dari sini bisa dikatakan tori konvergensi sejalan dengan konsep fitrah dalam Islam, tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan mendasar yaitu unsur tauhid.

Penutup
Dalam al-Quran disebut, thubi’a Allah ‘ala qulubihim (Allah telah menutup rapat hati mereka) memiliki makna yang sama dengan khatama (mengunci). Dari kata thubi’a inilah kemudian muncul kata thab’un yang merujuk kepada nature, asal muasal, atau kualitas-kualitas bawaan manusia, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai tabiat. Dari sinilah, kemudian kata fitrah sinonim dengan sifat-sifat bawaan manusia.Konsep fitrah sejalan dengan salah satu hadits nabi yang mengatakan :
كل مولود يولد على الفطرة, فأبواه يهودانه أو يمجّسانه أو ينصرانه أو يمجّسانه
Artinya:
Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.
Teori fitrah sejalan dengan salah satu teori perkembangan modern yaitu aliran konvergensi yang berpendapat bahwa selain keturunan, lingkungan mempunyai andil dalam proses perkembangan individu.
Walaupun sejalan, antara konsep fitrah dan aliran konvergensi terdapat faktor yang membedakan antara keduanya, yaitu faktor tauhid.


Referensi
Mazhahiri Husain, Pintar Mendidik Anak Jakarta: Lentera, 2002, cet ke 5
Sarwono Saelito Wirawan, Berkenalan dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi Jakarta: Bulan Bintang, 1991
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991
Sumardi Suryobroto, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: Rake Sarasin P.O. BOX 83, 1990
Basuki, M Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2007

2 komentar: