Jumat, 10 September 2010

Sejarah Logika

Sesungguhnya, sejak Thales (624-548 SM), filsuf Yunani pertama, meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan ceritera-ceritera isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta, sejak saat itulah ia meletakkan dasar-dasar berpikir logis. Bahkan, ketika Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (prinsip atau asas pertama) alam semesta, ia telah memperkenalkan logika induktif. Ia mengatakan begitu dengan alasan bahwa air adalah jiwa segala sesuatu, misalnya air jiwa tumbuhan, darah jiwa hewan dan manusia, uap dan es adalah air maka penalaran induktifnya adalah
Air adalah jiwa tumbuhan
Air adalah jiwa hewan
Air adalah jiwa manusia
Air jugalah uap
Air jugalah es

Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, ayng berarti, air adalah alam semesta (arkhe).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak Thales, logika telah mulai berkembang. Semua filsuf sesudah Thales pun telah berperan serta dalam pengembangan logikaa meskipun istilah logika belum dikenal. Filsuf yang pertamakali menjadikan logika sebagai ilmu adalah Aristoteles sehingga dapat disebut sebagai logika scientia, meskipun ia sendiri belum menggunakan istilah logika sebagai nama ilmu tersebut. Dan logika logika disebut, antara lain adalah analitika, yang secara khusus meneliti berbagai argumentai yang berangkat dari proposisi yang masih diragukan kebenarannya. Inti dari logika Aristoteles ialah silogisme. Dan silogisme itulah yang sesungguhnya merupakan penemuan murni Aristoteles dan yang terbesar dalam logika.
Istilah logika pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM) , pelopor kaum Stoa. Kaum Stoa itulah yang mengembangkan bentuk-bentuk argumen disyungtif dan hipotetis. Puncak kejayaan kaum Stoa ialah katika Chrysippus (280-207 SM) menjadi pimpinan mereka (pimpinan ketiga dan terbesar) sehingga lahirlah istilah “tanpa chrysippus, Stoa tidak akan pernah ada” Chrysippus mengembangkan logika menjadi bentuk-bentuk penalaran yang sistematis.
Kemudian dua orang doctor medis, Galenus (130-200 M) dan Sextus Empiricus (sekitar 200 M) mengembangkan ligika dengan menerapkan metode geometri. Porphyrius (232-305) murid dan editor karya tulis Plotinus, membuat suatu pengantar (eisagoge) pada categoriae Aristoteles.
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Dizaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan dan diberi nama Ilmu Mantiq.
Di antara ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu Mantiq adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali, Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad gelapnya malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap terlalu memuja akal. Di antara ulama-ulama besar islam seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin ibnu Taimiyah, Syadzuddin at-Taftsajani malah mengharamkan mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan cendikiawan Muslim membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai penyempurna dalam menginterpretasikan hadits dan al-Qur’an.
Abad kedua belas atau ketiga belas, kaya tulis dibidang logika yang masih digunakan ialah Categoriae dan De interpretation Aristoteles serta Eisagoge Porthyrius. Pada abad ketiga belas sampai lima belas, muncullah logika modern dengan tokoh-tokohnya antara lain Petrus Hispanus (1210-1278), Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232-1315), dan William Ockham (1285-1349).
Kendatipun logika modern telah dikembangkan, logika Aristoteles tetap digunakan dan dikembangkan secara murni. Logika Aristoteles diteruskan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan logika induktif, sedangkan Gottfried Wilhem Leibniz (1646-1716), George Boole (1815-1864), John Venn (1834-1923) dan Gottlob Frege (1848-1925) dikenal sebagai para pelopor logika simbolik. Kemudian logika simbolik dilengkapi oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914) dengan menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda dan melahirkan dalil yang disebut dalil peirce (peirce’s law). Logika simbolik mencapai puncaknya lewat karya Alfred North Whitehead (1861-1947) dan Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) berjudul Principia Mathematica, dan logika simbolik ini diteruskan oleh Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Rudolf Carnap (1891-1970), Kurt Godel (1906-1978).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar